Langsung ke konten utama

Postingan

pantofel

Hari ini saya bakal ikut malam ramah tamah. Acara makanmakan buat calon wisudawan tempat saya sekolah pascasarjana. Sedari sore saya sudah harus di Hotel Clarion, tempat acara dihelat. Tentu ini bukan sekadar acara makanmakan belaka. Sudah pasti ada acara pidatopidatoan. Dari rektor, dekan sekolah pascasarjana, atau juga dari ketua prodi sekalian. Kalau perlu ada sesi testimoni dari perwakilan calon wisudawan. Dan seabrek agenda acara yang saya tak tahu juntrungannya. Sepanjang kuliah, ini pertama kalinya saya harus ikut kegiatan macam beginian. Dulu kala, tujuh tahun di strata satu, saya ogah ikutikutan. Pasalnya, saat itu yang penting saya dapat ijazah. Tak pikir buat acaraacaran ramah tamah. Waktu itu dapat menyelesaikan kuliah saja syukur bukan main. Buat saya, sudah cukup tujuh tahun ramah tamah dengan kampus. Jadi, tak ada urusan dengan Belanda! Akibatnya, kala itu saya hanya ikut acara wisudaan. Pakai toga, ikut barisan, dan masuk gedung. Selesai perkara. Setelah ...

Rumah

Pada akhirnya rumah menjadi hal yang penting. Jelang tutup ramadan orangorang mulai menautkan segalanya pada tempat asal usul bermula. Dari tempat di mana pelbagai cerita dimulai. Di titik ini rumah menjadi ikatan yang primordial. Rumah dengan sendirinya adalah kampung halaman, rumah adalah tradisi, dan rumah adalah tempat segala identitas azali dibentuk. Urbanisasasi yang begitu mencolok membuat rumah kian terasing. Dengan sendirinya asal usul jadi kenangan. Orangorang pergi mencari mukim baru. Membangun kehidupan. Membentuk diri baru. Kemudian pelanpelan akhirnya kota jadi sarang segalanya. Di kota segalanya jadi mungkin. Orangorang bekerja. Orangorang bersekolah. Orangorang jadi lebih lebih manusiawi. Tapi tidak semua yang manusiawi menjadi betulbetul manusia. Di kota, orangorang disulap berbagai hal. Imajinasi manusia santun seketika menjelma manusia kota yang soliteris; sendiri dalam keramaian masingmasing. Menjadi mahluk yang menyukai diri sendiri. Saat itu...

mercon

Petasan meletus di manamana. Tidak di sekitar masjid, tidak di pinggir jalan. Hampir semua tempat bunyi letusan bekejaran. Bila magrib tiba anakanak sudah siap berhamburan di pekarangan masjid. Turut meramaikan malammalam ramadan. Bergerombolan membunyikan petasan. Sekali bakar bikin kaget siapa saja. Sebelumnya mereka berbaris di saf paling belakang. Ikut sholat sembari mengerjai kawannya yang lain. Jika imam berkata amin, koor panjang pasti ikut: aaamiiiin. Sebelum imam tuntas mengucap salam, mereka sudah berlari mirip semut disiram minyak tanah. Bikin ramai masjid. Sandal jamaah dinjak. Bikin berhamburan. Berlari menuju jalan raya. Petasan sudah di tangan. Korek tinggal setengah. Tapi lumayan masih bisa dipakai satu malam. Bila habis besok tinggal beli. Jalan sudah ramai. Cari waktu yang tepat. Butuh momen yang pas. Korek dinyalakan. Duaar! Satu petasan menggema. Bunyinya bikin jengkel satu masjid. Yang menarik jika petasan punya bunyi yang dahsyat. Kalau buny...

motor

Sudah hampir sebulan motor saya mirip rongsokan. Tergeletak begitu saja. Apa pasal jika tungkai persenelennya dol. Sekarang jika kemanamana saya menggunakan motor kepunyaan Fajar, adik saya. Kebetulan belakangan dia lebih banyak di rumah. Nongkrong seharian penuh. Apalagi jelang hari keempat puasa dia pulang kampung. Praktis saya jadi penguasa tunggal motor matik bermerk Honda Beat itu. Selama menggunakan motor matik, besokbesok saya juga ingin punya motor yang sama. Pasalnya motor matik tidak ribet. Tinggal menarik gas saya sudah berada di tengah jalan. Tapi bicara nilai sejarah, motor saya banyak kesannya. Yamaha Jupiter tahun 2005 itu sulit tergantikan. Hampir sepanjang usia saya di ibu kota Makassar selalu menggunakan motor berwarna biru putih ini. Dulu kala pertama kali masih kinclong saya sudah memacunya sampai Polewali. Setelah itu tak terhitung berapa kabupaten di Sulawesi selatan yang pernah dipacunya. Pernah juga motor saya dibikin ceper. Maklum dimodif...

Puasa Abad 21

Sigmund Freud Bapak Psikoanalisa KIWARI, ramadan bukan lagi paras yang santun. Wajah ramadan abad 21 adalah paras yang agresif.  Hampir setiap momen ramadan menjelma kekuatan yang akumulatif: hasrat, modal, rasa sentimen, dan juga tentu ibadah. Akibatnya, mendadak ramadan menjadi panggung perlombaan. Banyak orangorang berubah peran. Bermain drama. Yang unik, kekuatan spiritualitas yang dikandung ramadan berjalan paralel dengan semangat instingtif manusia. Jika agama pada dasarnya adalah daya dorong kemanusiaan, saat ramadan malah bergerak ambivalen.  Di balik spiritualitas puasa, bergerak pula daya naluriah yang destruktif. Patut dipersoalkan sejauh mana semangat ramadan menyesap memengaruhi sikap libidinal manusia. Jika meneropong keadaan sehariari, sikap manusia yang berganti peran hanya sampai kepada tataran normatif belaka. Orangorang boleh saja berpuasa, tapi itu bukan perjuangan mengelola sisi terdalam manusia. Apalagi di abad kontemporer, ham...

catatan kelas menulis PI, pekan 20

Kelas literasi pekan 20 berjalan apa adanya. Tanpa dua mekanisme seperti biasanya. Karena sebagian kedatangan kawankawan tanpa membawa tulisan. Hanya Putri Reski saja yang membawa tulisan. Walaupun begitu, kelas pekan ini tetap dianggap berjalan seperti harapanharapan sebelumnya. Tulisan Putri mengambil tema parenting. Di situ dia menyoal sikapsikap orang dewasa dalam memperlakukan anak. Digambarkannya dalam hal mendidik anak sama berarti dengan mendidik sejak awal diri calon orang tua. Pengertian ini diambilnya dari hadis nabi: “didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir.” Bicara anakanak berarti butuh pemahaman khusus. Apalagi soal bagaimana mendidiknya. Kiwari, anakanak begitu rentan dengan dunia orang dewasa. Hampir semua keperluan anakanak diintrepetasikan berdasarkan kesadaran orang dewasa. Padahal antara dunia anakanak dan kesadaran orang dewasa memiliki jarak yang jauh soal bagaimana memposisikan anakanak berdasarkan kebutuhannya. Tak jarang dalam soal kepengasuha...

bakso

Bakso. Itu makanan kesukaan saya. Ini jarang diketahui. Hanya orangorang tertentu yang tahu. Juga sangat sedikit dari mereka sering saya ajak makan bersama. Traktir. Kala masih sekolah menengah, kala sore biasanya saya sudah standby di lorong belakang rumah. Biasa, menunggu tukang bakso langganan lewat. Kebiasaan ini juga dilakukan temanteman sepermainan. Lengkap dengan mangkuk masingmasing. Kalau makan bakso, kala itu harus dicampur mie instan. Namanya mie Sakura. Sekarang mie ini sudah punah. Dulu harganya lima ratus rupiah. Murah. Entah mengapa bakso gerobakan mas langganan nikmat dicampur mie Sakura. Keyakinan kami saat itu karena mie Sakura punya bumbu yang khas. Minyak sayurnya yang maknyos. Kuning kental. Bakso semakin nikmat bukan saja karena bumbu mie Sakura. Tapi bumbu rahasia yang dibikin mas seperti adonan kue itu. Warnanya cokelat menyerupai tai sapi kering. Jika dicampur bumbu ini saya bisa bertahan siang malam menghabiskan satu gerobak. Yang sa...