Bakso.
Itu makanan kesukaan saya. Ini jarang diketahui. Hanya orangorang tertentu yang
tahu. Juga sangat sedikit dari mereka sering saya ajak makan bersama. Traktir.
Kala
masih sekolah menengah, kala sore biasanya saya sudah standby di lorong
belakang rumah. Biasa, menunggu tukang bakso langganan lewat.
Kebiasaan
ini juga dilakukan temanteman sepermainan. Lengkap dengan mangkuk masingmasing.
Kalau
makan bakso, kala itu harus dicampur mie instan. Namanya mie Sakura. Sekarang
mie ini sudah punah. Dulu harganya lima ratus rupiah. Murah.
Entah
mengapa bakso gerobakan mas langganan nikmat dicampur mie Sakura. Keyakinan
kami saat itu karena mie Sakura punya bumbu yang khas. Minyak sayurnya yang
maknyos. Kuning kental.
Bakso
semakin nikmat bukan saja karena bumbu mie Sakura. Tapi bumbu rahasia yang
dibikin mas seperti adonan kue itu. Warnanya cokelat menyerupai tai sapi
kering. Jika dicampur bumbu ini saya bisa bertahan siang malam menghabiskan
satu gerobak.
Yang
saya sukai dari bakso sebenarnya adalah kuahnya. Saya tak peduli daging apa
yang dipakai bikin pentol bakso. Entah kanji atau daging tikus saya tak peduli.
Kalau sudah berbentuk bulat rasarasanya semuanya sama saja. Hanya kuahnyalah
yang sebenarnya menentukan.
Makanya
jika saya mendapati warung bakso di manapun, kuahnyalah yang saya nilai pertama
kali. Itu juga yang jadi nilai plus bakso gerobakan langganan. Selain harganya
murah. Kuahnya yang bikin ketagihan.
Kebiasaan
menunggu tukang bakso juga sering dilakukan siang hari. Jadi bisa dibilang
hampir duakali saya membeli bakso dalam sehari. Itu jika ada cukup duit.
Seperti
obat sakit kepala kebiasaan saya ini hampir rutin. Tapi, kalau sore sepulang
main sepak bola saya tidak membeli bakso, maka saya sudah tunaikan di siang
bolong sepulang sekolah.
Bila
saya ingin naik level dari bakso gerobakan menjadi bakso warungan, itu gampang.
Di depan rumah berdiri gagah warung bakso. Kebetulan mbak penjual bakso ini
tetangga saya. Nah, di warung inilah saya menaikkan derajat kelas dari pembeli
bakso jalanan menjadi pembeli berduit.
Walaupun
agak mahal dibanding gerobakan, bakso tetangga saya ini juga sedap rasanya.
Tentu kuahnya yang bikin demikian. Ini bukan macammacam. Saya serius!
Dari
saya SMP sampai sekarang, tetangga saya ini sudah hapal kuah bagaimana yang
cocok dengan lidah pembelinya. Soal bakso jangan bilang, tetangga saya ini
salah satu masternya. Buktinya sampai sekarang masih bertahan.
Soal
pentol bakso, tetangga saya lebih terjamin. Kalau bakso gerobakan sering
dominan dicampur kanji, mbak saya ini memang menggunakan daging. Barangsiapa
doyan makan bakso pasti tahu perbedaan teksture mana bakso daging mana tepung
kanji belaka.
Kalau
mas gerobakan punya bumbu ulegkan khas, bakso tetangga saya punya sambalnya
yang aduhai. Ini yang menambah rasanya jadi spesial. Saya yang menyukai makanan
pedaspedis jadi doyan.
Biasanya
jika di rumah makanan habis, bakso tetangga saya ini pilihannya. Dengan modal
sembilan ribu semangkuk bakso gurih sudah bisa dibungkus pulang.
Terakhir
kali saya ke warung bakso tetangga, harganya sudah sampai limabelas ribu perak.
Itu tahun lalu. Kalau tidak salah ingat jika itu pakai telur. Kalau bakso biasa
kisaran sebelas atau duabelas ribu saja. Rasanya masih sama seperti biasa.
Biasa
saya terkenang sendiri soal rasa bakso ini. Akibatnya jika sempat pulang
kampung saya pasti menziarahinya. Hitunghitung mengakrabkan kembali dengan
mbaknya.
Juga
dengan anakanaknya. Bahkan anaknya yang paling tua adalah teman SMP saya.
Apalagi dengan adiknya yang paling bungsu. Terakhir melihatnya dia sudah besar.
Jadi
kuat dugaan saya, selera soal bakso selama ini ditentukan kebiasaan saya dulu.
Makanya sampai sekarang saya masih doyan makan bakso.
Di
Makassar, saya punya tiga warung bakso kesukaan. Bukan warung besar. Tapi
rasanya nempel.
Biasanya
saya bisa tahan seharian hanya menyantap bakso. Sepulang dari kampus bila
kebelet saya pasti singgah di salah satunya. Makan sepuasnya dengan dua lontong
seharga seribu perak. Kenyang.
Pernah
suatu kali saya dibuat sedih. Pasalnya salah satu warung langganan saya tutup.
Padahal saat itu saya mulai suka dengan rasa kuahnya. Sering kali juga saya
menyinggahinya. Tapi apa daya sekarang tempatnya berubah jadi ruko. Sial.
Nikmat
tuhan pasti tergantikan. Saya menemukan tempat bakso yang lain. Jika dihitung
semuanya tetap tiga tempat. Saya bebas memilih jika mau.
Saya
tahu di Makassar banyak penjual bakso. Tapi hanya ketiga tempat inilah saya
mengabdikan lidah saya. Hanya kepada merekalah saya rela sami'na wa ata'na.
Bulan
ramadan seperti biasanya di kampung halaman bakso kepunyaan tetangga bakal
ramai. Maklum tempatnya salah satu yang banyak disukai orangorang. Bila pasca
berbuka halamannya sudah dipenuhi kendaraan. Bahkan sampai ke bahu jalan.
Rindu
dengan baksonya, tadi, pasca berbuka saya singgah di salah satu warung
langganan saya. Sudah tentu bakso yang saya pesan. Namun aneh rasarasanya saya
kurang menikmatinya. Rasanya ada yang beda.
Kali
ini saya curiga akibat puasa. Memang puasa total mengubah selera makan saya.
Mulai dari kemarin saya kurang menikmati makanan apapun. Termasuk bakso kali
ini.
Besok
saya merencanakan makan bakso lagi. Tapi kali ini saya mau dengan keadaan yang
dipersiapkan. Dalam keadaan yang paling sempurna. Tiga empat jam pasca berbuka.
Biar nikmat.
Mudahmudahan
besok saya bisa menikmati bakso langganan saya. Meresapinya hingga tetes kuah
terakhir. Kemudian ditutup dengan frestea rasa madu. Rasa minuman kesukaan saya
selama ini. Baiklah, doakan saya ya kawankawan.