Petasan
meletus di manamana. Tidak di sekitar masjid, tidak di pinggir jalan. Hampir
semua tempat bunyi letusan bekejaran.
Bila
magrib tiba anakanak sudah siap berhamburan di pekarangan masjid. Turut
meramaikan malammalam ramadan. Bergerombolan membunyikan petasan. Sekali bakar
bikin kaget siapa saja.
Sebelumnya
mereka berbaris di saf paling belakang. Ikut sholat sembari mengerjai kawannya
yang lain. Jika imam berkata amin, koor panjang pasti ikut: aaamiiiin.
Sebelum
imam tuntas mengucap salam, mereka sudah berlari mirip semut disiram minyak
tanah. Bikin ramai masjid. Sandal jamaah dinjak. Bikin berhamburan. Berlari
menuju jalan raya.
Petasan
sudah di tangan. Korek tinggal setengah. Tapi lumayan masih bisa dipakai satu
malam. Bila habis besok tinggal beli. Jalan sudah ramai. Cari waktu yang tepat.
Butuh momen yang pas. Korek dinyalakan. Duaar! Satu petasan menggema. Bunyinya
bikin jengkel satu masjid.
Yang
menarik jika petasan punya bunyi yang dahsyat. Kalau bunyinya kecil dianggap
belum pas. Apalagi bikin puas. Karena itu butuh petasan yang besar. Bunyinya
juga pasti besar.
Bagi
anakanak, petasan wajib dipunyai kala ramadan tiba. Pasalnya tidak semarak
tanpa petasan. Tempat yang paling sering dibikin arena bermain, ya di
pekarangan masjid. Kalau bosan, ya di pinggirpinggir jalan.
Bagi
ibuibu, petasan bikin kempis dompet. Anakanak merengek minta dibelikan petasan.
Jika tidak bakal ngambek. Karena itu mau tak mau harus dibelikan. Namanya juga
anakanak.
Anakanak
yang lebih besar tak perlu minta uang. Banyak cara mendapatkan uang buat beli
petasan. Kerja paru waktu di pasarpasar, malamnya sudah sekantung petasan.
Kalau belum cukup jadi tukang parkir. Sepuluh duapuluh motor, petasan sudah
pasti dibawa pulang.
Di
atas mimbar tukang khotbah megapmegap. Nafasnya memburu. Suaranya kalah saing.
Di luar satu petasan meledak. Satu gang di buat jantungan.
Jamaah
kurang fokus. Pikiran jadi kacau. Antara suara petasan dengan khotbah katib.
Sayupsayup satu hadis sudah dikutip. Tapi apa lacur sudah gagal fokus. Lewat
lagi satu pesan mulia.
Jelang
khotbah mengucap tutup, sebagaian yang lain sudah memacu motor. Mondarmandir
dari satu gang ke gang lain. Bunyi knalpot meraungraung. Bikin bensin habis.
Yang penting bisa cari muka sama gadisgadis gang sebelah.
Dalam
masjid ibuibu paruh baya, juga bapakbapak dibuat kaget. Bikin sholat tidak
tenang. Tibatiba, satu lagi petasan meledak. Bikin jantung tinggal setengah.
Hampir mati berdiri.
Pengendara
terlebih lagi. Di buat kesal. Belum lama berbuka puasa, petasan sudah seperti
perang, bunyi sana bunyi sini. Kadang bikin tidak fokus berkendara. Letusannya
buat degdegan.
Anakanak
yang lebih kecil cukup kembang api saja. Modal lima ribu perak pohonpohon dibuat
menyala. Meletupletup mirip api las, berpendarpendar. Di bawahnya dengan riang
bertepuktepuk tangan. Melompatlompat riang gembira.
Sementara
itu yang repot pasti pak polisi. Matanya harus awas. Saat berjaga di sekitar
masjid anakanak sulit dikontrol. Lengah sedikit jalan bisa macet. Di saat yang
sama bunyi petasan meledakledak. Tratatak! Tratatak! Tratatak! Doorr!
Tapi
apa boleh dibilang. Sudah dari dulu begitu. Petasan sudah jadi ritual. Anak pak
polisi di rumah juga main petasan. Bahkan semasa remaja, pak polisi juga main
petasan. Kalau sudah begitu, ya mau apa lagi.
Makanya
walaupun dilarang, petasan bak jamur di musim hujan. Pedagang petasan mendadak
eksis. Dari kios pinggir gang sampai toko eceran. Mulai jenis Petasan Air
Mancur, Kupukupu, Roket, Petasan Korek, dan juga petasan yang bunyinya beruntun
itu: Buretek.
Suka
atau tidak senang, petasan sudah mendarah daging. Di memori kolektif
orangorang, petasan penanda kegembiraan. Apalagi bagi anakanak. Makanya di satu
hal, melarang petasan sama berarti melarang anakanak bergembira.
Malam
jadi ramai juga dengan bakso keliling. Setelah meledakan petasan, anakanak
berkerumun. Beli pentolan. Kecapnya jatuh kemanamana. Apalagi saosnya. Tukang
baksonya tak bisa berbuat banyak.
Setelah
habis makan pentolan bakso, masih ada penjual manisan. Kalau yang ini bikin
lidah jadi kesemutan. Manismanis asam.
Sekira
jam sebelas malam, halaman mesjid jadi lenggang. Satu dua petasan masih
meledak. Di depan tv ibuibu menggerutu. Apalagi bapakbapak, shalat witirnya
jadi terganggu. Anakanak masih berlarian berkumpul. Petasan tinggal setengah.
Anakanak
pulang. Petasan separuh disimpan di laci lemari. Disembunyikan. Nanti disita
ibu. Masih ada waktu subuh. Sudah sahur mesjid dibuat ramai. Petasan meledak
lagi. Sampai pagi, menunggu buka puasa.
Petasan
meletus di manamana. Tidak di sekitar masjid, tidak di pinggir jalan.