Puasa Abad 21


Sigmund Freud
Bapak Psikoanalisa

KIWARI, ramadan bukan lagi paras yang santun. Wajah ramadan abad 21 adalah paras yang agresif.  Hampir setiap momen ramadan menjelma kekuatan yang akumulatif: hasrat, modal, rasa sentimen, dan juga tentu ibadah.

Akibatnya, mendadak ramadan menjadi panggung perlombaan. Banyak orangorang berubah peran. Bermain drama.

Yang unik, kekuatan spiritualitas yang dikandung ramadan berjalan paralel dengan semangat instingtif manusia. Jika agama pada dasarnya adalah daya dorong kemanusiaan, saat ramadan malah bergerak ambivalen.  Di balik spiritualitas puasa, bergerak pula daya naluriah yang destruktif.

Patut dipersoalkan sejauh mana semangat ramadan menyesap memengaruhi sikap libidinal manusia. Jika meneropong keadaan sehariari, sikap manusia yang berganti peran hanya sampai kepada tataran normatif belaka. Orangorang boleh saja berpuasa, tapi itu bukan perjuangan mengelola sisi terdalam manusia.

Apalagi di abad kontemporer, hampir semua dimensi kebudayaan adalah penjelmaan tatanan yang digerakkan modal. Mari menyimak bagaimana di awal bulan ramadan, produkproduk kebudayaan yang bernuansa agamais digelar secara seremonial. Mulai dari etika berpenampilan sampai etika beribadah tak lepas dari spirit konsumerisme.

Akibatnya ramadan yang harusnya santun jadi semarak perayaan produkproduk jual beli. Tak bisa ditolak, kenyataan ramadan hanyalah media tukar antara semangat beragama dengan suka cita pencitraan.

Juga mesti disesalkan, ramadan seperti daya ungkit tekanantekanan sosial yang selama ini sulit diatur. Masyarakat yang hiperkonsumtif, malah bukan mengurangi daya beli sebagai bagian dari amal berpuasa. Puasa akhirnya hanya berfungsi sebagai katup sementara dari naluri rendah yang meledak pasca ditekan selama seharian penuh.

Dari aspek etis, ketaqwaan yang menjadi tujuan berpuasa hanyalah suara cempreng di atas mimbarmimbar mesjid. Taqwa yang berarti memelihara, menjaga, dan melindungi tak memiliki sumbangsih sosiologis apaapa jika melihat fenomena kekinian. Nampaknya, taqwa yang dipahami sebagian orang bukanlah semangat keagamaan yang menjaga sesama, bukanlah sikap yang mau melindungi sesama, malah bertindak dengan perilaku kekerasan.

Syahdan, taqwa yang agresif adalah kecemasan yang menjadi bagian dari mekanisme pertahanan ego. Akibat kecemasan yang sulit dibendung, selain agresif, ego menjadi represif menggantikan gangguangangguan yang dialaminya. Maka jangan heran, ego yang represif berubah wujud menjadi cara penyaluran yang tidak sehat berupa tindakan merusak.

Ramadan yang disikapi demikian janganjangan adalah gejala infantil. Suatu sikap kekanakkanakan. Yakni suatu pola etika yang digerakkan oleh tatanan yang mudah guyah. Bukan iman yang seharusnya mengayomi. Malah adalah ketakutan yang menjadijadi jika suatau permintaan tidak dapat terpenuhi.

Maka bisa jadi itu memang betul. Apalagi jika gejala ini ditautkan dalam pemahaman yang dibangun Sigmund Freud. Manusia, jika dia beragama hanyalah mekanisme  diri yang ingin selalu dipuaskan. Seperti anak kecil yang ingin dipenuhi seluruh kemauannya. Agama hanyalah saluran hasrat yang dialihfungsikan untuk menormalisasi dorongandorongan instingtifnya.

Menariknya, bagi Freud , manusia memiliki dua kekuatan yang dominan. Pertama adalah insting kehidupan yang mendorong manusia mencari cara agar tetap bertahan dalam tekanantekanan yang dihadapinya. Kedua adalaha insting kematian yang termanifestasi dari perilaku merusak akibat tekanan Id yang sulit dibendung.

Ramadan jika dibilang sebagai jalan ruhani seharusnya mampu mengkoordinasikan dua insting bawaan manusia di bawah terang kesadaran ilahiah. Jika tidak demikian, barangkali ada yang salah selama ini dari cara orangorang berpuasa. Janganjangan puasa hanya diartikan dalam pengertian lahiriah saja. Puasa hanyalah cara orangorang menahan lapar dan haus belaka.

Singkat cerita, apabila ramadan hanya menangkal naluri instingtif manusia, dan tidak mampu mengubahnya menjadi energi positif yang insani, maka bisa ditebak pasca sebulan penuh berpuasa, kita hanyamendapatkan kesiasiaan.