Langsung ke konten utama

Postingan

madah limapuluhsatu

Tahun 1984, suatu tempat di Jerman Timur. Rumah Dreyman disusupi. Hampir setiap sudut rumahnya penuh kabelkabel tersembunyi di balik dinding. Di vas bunga, di balik pintu, terminal listrik, belakang lemari, di bawah tempat tidur, bahkan di dalam kamar mandi. Praktis setiap sudut jadi suatu proyek pengintaian. Ruang tempat tinggal Dreyman jadi pusat perhatian negara. Di bawah pengintaian, Dreyman jadi manusia yang transparan. Gerak geriknya jadi bahan amatan dari objek kekuasaan. Tapi ia tak tahu. Sementara di suatu sudut rumah, di mana kabelkabel itu berpusat, empat sampai lima monitor tak pernah padam. Alat rekam suara juga tak berhenti menangkap setiap bunyi. Dan seseorang dengan taat mengawasi gerakgerik Dreyman dari ruang kotak itu. Mencatat setiap detil yang mencurigakan. Memasukkannya dalam laporanlaporan setiap hal yang dialami Dreyman. Pria yang taat itu akhirnya mulai mempelajari Dreyman dengan membangun jadwal aktivitasnya. Dengan telaten, setiap gerak, juga setia...

Airmatadarah dalam Tekad

Saya sebenarnya tak mengerti betul sastra, apalagi puisi. Puisi, yang kental dengan simbolisme itu seringkali membuat saya bingung. Sebab, dengan material katakatanya yang simbolis juga metafor tak pernah stabil merujuk pada satu pengertian yang pasti. Puisi, dengan gaya penuturan yang demikian, akhirnya hanya menjadi katakata yang pias makna di hadapan saya. Puisi, dengan katakatanya yang metafor, sepengetahuan saya adalah cara untuk menangkap kenyataan yang tanpa tirai. Dengan kata, puisi ingin merekam apaapa yang murni. Puisi, jika disebut sebagai potret kemurnian, adalah media yang mengungkapkan katakata menjadi baitbait yang gamit. Tapi justru kata tanpa tirai bisa bikin kenyataan jadi asing. Sastrawan menurut saya adalah orang yang punya semacam kemampuan membuat bahasa jadi lain. Katakata di tangan sastrawan menjadi bahan yang dilucuti dari penggunaan yang sudah umum. Di tangan sastrawan, katakata dibersihkan dari ruang tuturan umum yang sering membuat kata jadi banal...

madah limapuluh

ADA kisah tentang Pak Hamid yang   risau. Atau sebenarnya ia takut. Sebelumnya datang kabar nun jauh dari Papua. Anak bungsunya bakal menikah. Dari tempatnya yang jauh dari anaknya tinggal, tidak terbersit bahagia di mukanya. Yang ada justru tanda suatu soal berat. Anaknya akan menikahi perempuan berbeda agama. Usut punya usut, dari pengalaman anaknya yang lain, setiap pasca menikah dengan pasangan beda iman, anaknya pindah keyakinan. Sebab itulah air mukanya jadi murung. Kabar yang ia terima seperti air jebol merusak apa saja. Anaknya yang dibesarkannya bertahun-tahun kini jadi orang yang bikin hatinya gulana. Membikin hatinya runyam. Bagi sebahagian orang agama adalah pilihan. Tapi bagi Pak Hamid, yang namanya agama tidak mesti diganggu gugat. Ia setua tradisi turun temurun. Itulah sebab, agama jadi soal penting. Bertahun-tahun anaknya dididik sesuai agama tradisi, walaupun memang istrinya seorang muallaf. Tapi malang, justru di saat akan membangun rumah tangga, ana...

madah empatpuluhsembilan

Ketika akal menemukan dirinya bangkit, dunia tampak terang. Yang semula samar dan terselubung dibalik tirai mitos, jadi transparan. Dunia akhirnya terkuak dengan pengetahuan yang menjadi jembatan. Kant, di era renaisans menyebutnya pencerahan. Tapi dengan semangat pencerahan, Kant juga membangun kritik terhadap nalar pencerahan yang superior. Kritisismenya akhirnya menyingkap cacat inheren dalam akal. Ternyata akal, yang begitu superior membuka terang, tak selamanya jadi bohlam yang sempurna. Akal yang selalu ingin menjelaskan lengkap fenomena, ternyata juga retak. Yang ditangkap hanyalah lapisan fenomena yang tampak dengan cahayanya yang redup. Akal ternyata tak mampu menangkap  noumena ;  das ding an sich , inti kenyataan yang sesungguhnya. Sebab itulah Kant tak percaya suatu yang metafisis seperti subtansi bendabenda. Akal tak bisa menjangkau itu. Akal justru adalah jembatan atas keyakinan Kant yang agonistik itu. Tiada yang metafisis dibalik daya akal. Yang murn...

madah empatpuluhdelapan

Konon dari waktu senggang muncul kebudayaan. Konon dari inti kesunyian menerbitkan wahyu bagi para nabi. Juga konon, kerja, di zaman sekarang adalah penanda kemanusiaan yang ambruk. Kerja sebenarnya adalah suatu yang luhur. Bila Hegel membilangkannya sebagai proses idealisasi ruh yang bergerak tanpa pamrih dalam tubuh, Marx, orang yang mencelanya itu, meyakininya sebagai modus eksistensi ril manusia. Hegel dan juga Marx melihat kerja sebagai bentuk   to becoming : cara manusia berada. Tapi cara   to becoming , bagaimana kerja di zaman ini sudah jadi sesuatu yang ambruk. Orang dipaksa untuk bekerja. Itulah mengapa dari yang terpaksa menimbulkan alienasi Sebab kebebasan tercerabut persis seperti baut yang membuat suatu perangkat jadi hancur. Kebebasan yang jadi tanda keutuhan, dalam sistem kerja yang dipaksa itulah yang jadi soal. Akhirnya manusia, dengan kerja yang terpaksa jadi dekaden. Manusia, justru bukan menjadi mahluk yang luhur, melainkan hancur dalam sis...

madah empatpuluhtujuh

Hari ini hari kepunyaan perempuan. 8 Maret, dengan serentak, perempuan tetiba ditempatkan pada suatu titik yang agung. International womens day memang punya gema seruan yang lantang. Perempuan dalam 8 Maret adalah suara emansipatif untuk merebut posisi yang sewajarnya dalam sejarah. Hari ini pasti banyak yang kembali menengok jenis kelamin yang berabadabad disingkirkan dari pentas cosmos. Hari ini, entah itu pria juga wanita, bersuara dalam satu intonasi yang kuat: hidup perempuan. Yang sewajarnya dalam sejarah bagi perempuan, sebenaranya adalah deret peristiwa kelam yang tak pernah stabil untuk kukuh pada relasi yang sejajar. Di mulai dalam sejarah pengetahuan, perempuan sudah selalu dipandang sebagai mahluk yang tak lengkap. Di Yunani purba, filsuffilsuf yang galibnya adalah kaum lakilaki sudah mengukuhkan pandangan semacam itu. Perempuan seperti mahluk yang keluar dari lintasan cosmos yang semestinya. Itulah mengapa, perempuan dianggap pelengkap dari susunan hirarki t...

madah empatpuluhenam

Nun jauh di atas langit sana, terbuka kitab lauh mahfus , tempat segala informasi tersimpan. Tapi di sini, ada media massa. Pusat segala informasi menyebar. Ini abad 21, segalanya begitu pesat berubah karena sebuah informasi. Ada penelitian dari antropolog Amerika, Edmund Carpenter namanya. Melaluinya, kita bisa tahu sebuah kebudayaan bisa hilang oleh karena alatalat canggih berupa semisal radio ataupun televisi. Di Sio, suatu daerah Irian di timut jauh, suatu budaya pelanpelan tersapu. Adat yang dijunjung sebagai simbolsimbol kebudayaan hilang. Carpenter menuli s itu dengan cermat: "Ketika kami kembali ke Sio, aku tidak lagi mengenal tempat itu. Beberapa rumah telah dibangun lain. Mereka sekarang berpakaian seperti orang Eropa dan perilaku mereka juga berubah. Mereka bereaksi lain. Sebagian mereka menghilang, berangkat ke pusat pemerintahan. Mereka telah tercerabut secara brutal dari pengalaman kesukuan mereka dan berubah menjadi individu yang lepas satu sama lain,...