Konon dari waktu senggang muncul
kebudayaan. Konon dari inti kesunyian menerbitkan wahyu bagi para nabi. Juga konon, kerja, di zaman sekarang
adalah penanda kemanusiaan yang ambruk.
Kerja sebenarnya adalah suatu yang
luhur. Bila Hegel membilangkannya sebagai proses idealisasi ruh yang bergerak
tanpa pamrih dalam tubuh, Marx, orang yang mencelanya itu, meyakininya sebagai
modus eksistensi ril manusia. Hegel dan juga Marx melihat kerja sebagai bentuk to becoming:
cara manusia berada.
Tapi cara to becoming,
bagaimana kerja di zaman ini sudah jadi sesuatu yang ambruk. Orang dipaksa
untuk bekerja. Itulah mengapa dari yang terpaksa menimbulkan alienasi Sebab
kebebasan tercerabut persis seperti baut yang membuat suatu perangkat jadi
hancur. Kebebasan yang jadi tanda keutuhan, dalam sistem kerja yang dipaksa
itulah yang jadi soal.
Akhirnya manusia, dengan kerja yang
terpaksa jadi dekaden. Manusia, justru bukan menjadi mahluk yang luhur,
melainkan hancur dalam sistem yang di cela sejarah: kapitalisme. Di dalamnya,
yang sebelumnya luhur jadi lebur dan menguap jadi kapital yang berlipat ganda.
Manusia menjadi asing dalam kerja. Industri jadi sistem kukuh yang untung.
Joseph Pieper melihat kerja yang
sudah tak.luhur itu seperti sistem agama. Menurutnya, di alam modern, terutama
kaum urban yang didorong untuk dapat terus bekerja, kerja per se telah
dikultuskan. "Kerja sudah seperti doa" sebutnya. Artinya, kerja
begitu dimutlakkan dalam zaman yang didorong oleh sistem yang penuh daya saing.
Dan di dunia itu, kerja sudah
identik dengan cara yang teknis. Akhirnya kerja jadi kehilangan keluhuran.
Kerja menjadi kehilangan sakralitasnya sebagai pemenuhan eksistensi jiwa
manusia. Sebab kerja berarti usaha yang rutin, otomatis dan mekanis, maka kerja
kehilangan salah satu fungsi sosialnya yang ditandai dengan cengkrama dan waktu
kolektif.
Itulah mengapa krisis eksistensi
terjadi. Kerja jadi penjara eksistensi. Kerja jadi rutin yang mencuri kesadaran
manusia.
Kehilangan yang luhur akibat kerja
yang rutin dan yang sesak di jantung krisis eksistensi, bagi Pieper bisa
ditampik dengan cara menghidupkan waktu senggang.
Di Yunani purba, waktu senggang
ditandai dengan suatu yang luhur: theorea. Theorea yang dari
sana terma teori dilahirkan, sebenarnya adalah suatu sikap "melihat"
dan "memandang" suatu yang tetap dalam cosmos.
Cosmos, yang tetap bagi alam berpikir Yunani purba selalu dipandang sebagai zat yang tetap, abadi dan tak tersentuh perubahan. Dari Thales hingga Socrates punya nama yang macammacam untuk menyebut itu. Theorea, dengan aktivitasnya yang "memandang" cosmos dengan sendirinya akan mengaktifkan nous. Proses pengaktifan nous inilah yang disebut berpikir. Nous (akal) selalu paralel dengan nous cosmos yang tetap.
Cosmos, yang tetap bagi alam berpikir Yunani purba selalu dipandang sebagai zat yang tetap, abadi dan tak tersentuh perubahan. Dari Thales hingga Socrates punya nama yang macammacam untuk menyebut itu. Theorea, dengan aktivitasnya yang "memandang" cosmos dengan sendirinya akan mengaktifkan nous. Proses pengaktifan nous inilah yang disebut berpikir. Nous (akal) selalu paralel dengan nous cosmos yang tetap.
Sebab itulah berpikir berarti
mencari ketetapan yang sama dengan ketetapan alam. Aristoteles menyebutnya
dengan kaidah kesesuaian partikular akal manusia dengan alam universitas cosmos. Singkatnya,
berpikir selalu adalah usaha untuk menyeleraskan yang ada dalam nous dengan cosmos.
Habermas melihat aktivitas theorea itu dalam
peradaban Yunani dengan sendirinya bermaksud praxis.
Saat nous yang mencari kesamaan dengan tatanan cosmos, peristiwa mimesis adalah konsekuensi untuk menyelaraskan manusia yang memandang dengan cosmos yang dipandang. Mimesis dalam praktiknya adalah proses peniruan terhadap apa yang tetap, abadi dan tak berubah dalam cosmos sebagai tujuan. Proses peniruan inilah yang sebenarnya diturunkan dalam sikapsikap etik moral.
Saat nous yang mencari kesamaan dengan tatanan cosmos, peristiwa mimesis adalah konsekuensi untuk menyelaraskan manusia yang memandang dengan cosmos yang dipandang. Mimesis dalam praktiknya adalah proses peniruan terhadap apa yang tetap, abadi dan tak berubah dalam cosmos sebagai tujuan. Proses peniruan inilah yang sebenarnya diturunkan dalam sikapsikap etik moral.
Pieper menyebut itu sebagai keadaan
yang kontemplatif. Di dalam keadaan itu manusia kembali dapat keluar dari
penjara rutin untuk bersentuhan denga totalitas realitas. Di saat itulah, bagi
Pieper terbentuk suatu relasi yang fundamental antara manusia dengan kenyataan
yang melingkupinya. Di sinilah waktu yang total berarti pembebasan.
Waktu senggang yang dimerdekakan dengan nuansa yang kontemplatif, adalah cara Socrates mengajak masyarakat Athena dengan maksud menjaga nous agar terus hidup. Sebab ia tahu, nous yang mati adalah kesiasian yang mubasir. Waktu yang bernuansa liberatif dan diisi dengan pemenuhan edukatif inilah yang menjadi asal sekolah.
Waktu senggang yang dimerdekakan dengan nuansa yang kontemplatif, adalah cara Socrates mengajak masyarakat Athena dengan maksud menjaga nous agar terus hidup. Sebab ia tahu, nous yang mati adalah kesiasian yang mubasir. Waktu yang bernuansa liberatif dan diisi dengan pemenuhan edukatif inilah yang menjadi asal sekolah.
Sekolah awalnya suatu tindak
kemerdekaan dengan memproduksi waktu menjadi produktif. Sekolah adalah peluang
untuk mencandra cosmos dengan berpikir
yang kontemplatif. Dari sini, sekolah adalah medan nalar untuk beroperasi
dengan baik. Dan dari aktivitas inilah peradaban muncul.
Tapi seperti juga kerja yang
merenggut kebebasan, sekolah di zaman sekarang bisa jadi adalah tempat
kebebasan dibantai. Di sana, juga barangkali tempat kekuasaan bereksperimen
dengan kebijakankebijakannya. Sekolah akhirnya laboratorium tempat
kepatuhan dicipta dan mangut jadi rutin. Akhirnya sekolah seperti kata suatu
buku, adalah candu masyarakat.
Di sini bukan saja agama jadi
candu, melainkan juga sekolah. Akhirnya di saat sekarang ada dua hal yang jadi
ambruk; kerja dan sekolah. Kerja sebagai rutin yang mencuri kebebasan dan
sekolah yang mencuri pendidikan.
Tapi, anehnya yang dicuri itu malah
tak jadi soal genting. Barangkali memang ini karena sekolah kita dulu sudah dari awal mencuri pengetahuan kita. Jadi tak ada yang dianggap
masalah apalagi hilang.