Nun jauh di atas langit sana, terbuka kitab lauh mahfus, tempat segala informasi tersimpan. Tapi di sini, ada media massa.
Pusat segala informasi menyebar.
Ini abad 21, segalanya begitu pesat
berubah karena sebuah informasi.
Ada penelitian dari antropolog Amerika, Edmund Carpenter namanya. Melaluinya, kita bisa tahu sebuah
kebudayaan bisa hilang oleh karena alatalat canggih berupa semisal radio ataupun televisi.
Di Sio, suatu daerah Irian di timut
jauh, suatu budaya pelanpelan tersapu. Adat yang dijunjung sebagai simbolsimbol
kebudayaan hilang. Carpenter menuli s itu dengan cermat: "Ketika kami
kembali ke Sio, aku tidak lagi mengenal tempat itu. Beberapa rumah telah
dibangun lain. Mereka sekarang berpakaian seperti orang Eropa dan perilaku
mereka juga berubah. Mereka bereaksi lain. Sebagian mereka menghilang,
berangkat ke pusat pemerintahan. Mereka telah tercerabut secara brutal dari
pengalaman kesukuan mereka dan berubah menjadi individu yang lepas satu sama
lain, terasing, frustasi dan tidak lagi menjadi bagian dunia mereka sebelumnya.
Teknologi telah mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan mereka."
Ada keprihatinan dalam ucapan Carpenter, tapi juga sebenarnya adalah ketakutan atas hilangnya yang primordial. Sebelum
laporan itu dapat ia tuliskan, beberapa waktu sebelumnya ia datang
memperkenalkan alatalat teknologi yang menghubungkan orangorang dengan
perubahan di luar. Tape, camera, proyektor beberapa alat yang dibawanya. Dan
selama ia tinggalkan tempat itu, dan kemudian datang kembali, maka tahulah ia
betapa berubahnya orangorang dengan alat elektronik yang dipunyai.
Keprihatinannya itu ia tulis dengan
katakata "tercerabut secara brutal dari pengalaman kesukuannya," dan
barangkali ketakutannya ia ungkapkan dalam katakatanya "teknologi telah
mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan mereka." Dua hal ini memang
perlu dikhawatirkan, sebab di luar sana, kebudayaankebudayaan besar telah
banyak menghabisi apa yang kita sebut budaya lokal.
Di Sio itu telah terjadi dan
Carpenter menulisnya. Tapi di sekitar kita, tak perlu seorang Carpenter untuk
mengatakan bahwa semakin hari ada yang semakin alienatif dari identitas
kultural kita.
Marx menyebut alienasi melalui
titikkoordinatnya pada produkproduk di dalam sistem ekonomi. Manusia terasing
dari ciptaannya sendiri sehingga ia menjadi mahluk yang jauh dari ciptaannya.
Begitu juga manusia dapat terasing dari lingkungan sosialnya dengan hilangnya solidarity
time yang semakin minim. Sehingga dari produk ciptaannya dan juga dari
lingkungan hidupnya, manusia jadi mahluk yang tercerabut dari nilai
kemanusiaannya.
Tapi, dari kasus Carpenter
sebenarnya berbeda. Juga di sekeliling kita. Tak ada yang berjarak dari
produkproduk ciptaan manusia. Teknologi sudah seperti inti dalam setiap
aktifitas kita. Alatalat canggih begitu sering kita temui dan akrab dengannya.
Juga tak ada yang terasing dari lingkungannya, sebab tak ada ruang sedikit pun
yang kosong dari bentuk komunikasi. Media komunikasi justru sudah masuk sampai
pada ruang yang privativ dan menghubungkan kesendirian dengan keramaian dunia
virtual. Artinya, tak ada yang kosong dari produk ciptaan dan komunikasi. Tak
ada yang lepas dari teknologi.
Tapi justru disitulah masalahnya.
Carpenter sendiri menulisnya dengan nada yang miris "teknologi telah
mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan," Yang teralienasi bukan sebab
terpaut jarak antara manusia dengan ciptaannya, tetapi keakraban yang intim
dengannya justru makin menjadikan kita tersingkirkan dari pusat kemanusiaan.
Dengan kata yang lain, keterasingan kita sesungguhnya adalah hilangnya
identitas kultural tempat kita menemukan diri yang yang sebenarnya.
Teknologi komunikasi memang sumber
soal. Dan informasi yang dikandung di dalamnya bisa berarti dua hal:
imprealisme dan kebisuan.
Horkheimer menyebut imperialisme
dengan industri budaya. Melalui yang ia sebut kapitalisme kebudayaan itu, suatu
agenda massal tengah berjalan membangun suatu sistem tunggal. Yang tunggal itu
dalam soal selera kebudayaan adalah jenis selera massal yang membuat modal
dapat terus berputar. Di era sekarang, selera sudah tentu bukan lagi urusan
pribadi yang terlepas dari bagian informasi massal. Di dalam informasi yang diproduksi,
bukan cuma selera, cara berpikir pun sudah jadi cetak biru logika pasar. Dan
dari sanalah bermula identitas yang lenyap dibalik tayangan yang dipermak
media. Seluruhnya adalah cermin dunia barat.
Sebab itulah Herbert Marcuse menyebutnya one dimensional man, yakni tipe kepribadian yang tunggal atas kesamaan cara pandang dan selera yang dicipta. Maka, dengan cara itu mekanisme penyegaraman bekerja untuk mengadopsi satu identitas yang dominan. Di saat itulah yang lokal hilang tersapu budayabudaya raksasa. Di saat itulah kebisuan budaya sebenarnya terjadi, sebab lidah kebudayaan kita lebih peka segala yang berbau “luar.”
Sebab itulah Herbert Marcuse menyebutnya one dimensional man, yakni tipe kepribadian yang tunggal atas kesamaan cara pandang dan selera yang dicipta. Maka, dengan cara itu mekanisme penyegaraman bekerja untuk mengadopsi satu identitas yang dominan. Di saat itulah yang lokal hilang tersapu budayabudaya raksasa. Di saat itulah kebisuan budaya sebenarnya terjadi, sebab lidah kebudayaan kita lebih peka segala yang berbau “luar.”
Maka itulah ada yang mesti
prihatin. Kebudayaan memang suatu yang tak selamanya pejal dan tetap.
Juga identitas kultural yang dari sana kita bisa menerka asalusul suatu origin.
Sebab kita akhirnya bisa menyesal di saat identitas yang origin justru adalah
suatu yang sudah semenjak awal tercuri dari lingkungan kita. Seperti orangorang
Sio yang yang lepas satu sama lain, terasing, frustasi dari lingkungan
kolektivnya. “Mereka telah tercerabut secara brutal dari pengalaman kesukuan
mereka,” Sebut Antropolog Amerika itu.
Ini memang abad 21, segalanya
begitu pesat berubah karena sebuah informasi.