Langsung ke konten utama

madah empatpuluhsembilan

Ketika akal menemukan dirinya bangkit, dunia tampak terang. Yang semula samar dan terselubung dibalik tirai mitos, jadi transparan. Dunia akhirnya terkuak dengan pengetahuan yang menjadi jembatan. Kant, di era renaisans menyebutnya pencerahan.

Tapi dengan semangat pencerahan, Kant juga membangun kritik terhadap nalar pencerahan yang superior. Kritisismenya akhirnya menyingkap cacat inheren dalam akal. Ternyata akal, yang begitu superior membuka terang, tak selamanya jadi bohlam yang sempurna. Akal yang selalu ingin menjelaskan lengkap fenomena, ternyata juga retak. Yang ditangkap hanyalah lapisan fenomena yang tampak dengan cahayanya yang redup. Akal ternyata tak mampu menangkap noumenadas ding an sich, inti kenyataan yang sesungguhnya.

Sebab itulah Kant tak percaya suatu yang metafisis seperti subtansi bendabenda. Akal tak bisa menjangkau itu. Akal justru adalah jembatan atas keyakinan Kant yang agonistik itu. Tiada yang metafisis dibalik daya akal. Yang murni dalam metafisika ternyata adalah sesuatu yang sebenarnya tak bisa dibuktikan. Lewat etika transedental Kant, metafisika untuk kali kedua dibungkam.

Tapi itu Kant. Dengan agnotismenya. Dengan kecurigaan akal murninya.

Yang berbeda datang dari filsuf Iran kontemporer, Murthada Muthahhari. Dalam ceramahnya yang dibukukan dengan nama Mas'aleye Syenokh, Kant dikritik. Dan dalam  kritikannya itu, bukan saja Kant, seluruh pandangan yang skeptik terhadap kemungkinan epistemologi dikritiknya.

Muthahhari sebenarnya tidak tepat jika disebut filsuf per se. Sebab tidak seperti filsuf umumnya yang memang menyelisih dari otoritas teks agama. Itulah mengapa dalam ceramahnya itu ia memulai perbincangannya dengan soalsoal epistemologi dari al quran. Di sinilah beda itu tampak.

Dan beda itu sebenarnya memang adalah sesuatu yang disengaja Muthahhari. Soal epistemologinya adalah suatu rancang bangun yang ia susun untuk membuktikan rapuhnya pemikiran asing.

Dalam skema itu, "asing" adalah berarti produk pikiran yang mencerminkan semangat sekuler. Ini berarti maksud Muthahhari merupakan ungkapan yang merujuk pada tempat yang jauh di sana, yakni suatu masa di mana sekularisasi adalah semangat yang massal disambut suka cita. "Asing" adalah penanda suatu produk pikiran yang tumbuh saat yang sakral disingkirkan. Dengan kata lain, pemikiran yang tidak tumbuh dengan semangat yang mengafirmasi theos. Dengan Itulah, kritisisme Muthahhari berarti punya maksud tak ringan: membuktikan kokohnya pemikiran islam.

Dan dari cara pandang yang quranik, Muthahhari menyebut epistemologi yang dibincangkannya adalah epistemologi islam. Lalu dari ceramah mas'aleye syenokh, suatu pandangan khas islam dibentangkannya. Islam sebagai suatu cara pandang, akhirnya jadi suatu paradigma.

Sebenarnya, ceramah yang ia sampaikan di tahun 1970 itu adalah ceramah yang juga politis. Ceramah yang juga punya arti emansipasi. Sebab dalam ceramah tentang pengetahuan yang dibincang saat itu, punya maksud membangun kesadaran politis.

Karena itulah ceramahceramahnya dilarang. Rezim saat itu melihat Murthahhari sebagai ancaman politik, sebab di tahuntahun yang genting saat itu, suatu perkumpulan dianggap subversif. Saat itu, Iran memang mengalami gejolak politik, dan Murthada salah satu orang yang memicunya.

Di masamasa yang genting itu, sebenarnya Muthahhari tidak sendiri. Ceramahceramahnya adalah bagian dari skenario besar yang kala itu dirancang: revolusi. Dan dari sebagian yang lain, yang diisi oleh tokoh muda Iran, juga punya andil: Ali Syariati.

Lewat mereka berdualah di tahuntahun itu, di bawah suatu rejim yang menggeliat dengan kekuasaan yang tanpa batas, pembangunan paradigma revolusi disusun. Seluruhnya dibincang dengan tafsir politik agar punya makna yang kongkrit. Islam dengan lidah dua orang itu akhirnya jadi ajaran yang tidak sematamata metafisis, tetapi menjadi lebih runcing, menjadi lebih kritis.

Dengan paradigma kritis itulah Muthahhari menyebut islam sebagai pandangan yang optimis. Yakni suatu paradigma yang meyakini perlu dan adanya kenyataan yang objektif. Keyakinan ini disebutnya "kemungkinan epistemologi": suatu pendakuan bahwa manusia bisa dan sanggup memiliki pengetahuan yang hakiki.

Akhirnya dari ceramahceramahnya itu, Muthahhari mengawalinya dari quran. Sebab quran, kita tahu adalah eksistensi pengetahuan hakiki yang mengatasi sejarah. Alquran sebagai satuan epistemologi adalah pengetahuan yang tidak dibentuk sejarah yang penuh perubahan. Justru pengetahuan alquranlah, pengetahuan yang membentuk sejarah.

Dengan itulah Muthahhari menepis keraguan agnotisme epistemik Kant dan pemikiran asing lainnya. Sebab manusia punya kemampuan untuk menangkap realitas yang hakiki. Seperti alquran yang lahir dari peristiwa epistemologi Muhammad berabadabad yang lalu. Maka tak ada yang tak mungkin, ketika akal mendapati dirinya bangkit. Kerika itulah dunia nampak terang.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...