Ketika akal menemukan
dirinya bangkit, dunia tampak terang. Yang semula samar dan terselubung dibalik
tirai mitos, jadi transparan. Dunia akhirnya terkuak dengan pengetahuan yang
menjadi jembatan. Kant, di era renaisans menyebutnya pencerahan.
Tapi dengan semangat
pencerahan, Kant juga membangun kritik terhadap nalar pencerahan yang superior.
Kritisismenya akhirnya menyingkap cacat inheren dalam akal. Ternyata akal, yang
begitu superior membuka terang, tak selamanya jadi bohlam yang sempurna. Akal
yang selalu ingin menjelaskan lengkap fenomena, ternyata juga retak. Yang
ditangkap hanyalah lapisan fenomena yang tampak dengan cahayanya yang redup.
Akal ternyata tak mampu menangkap noumena; das ding an sich,
inti kenyataan yang sesungguhnya.
Sebab itulah Kant tak
percaya suatu yang metafisis seperti subtansi bendabenda. Akal tak bisa
menjangkau itu. Akal justru adalah jembatan atas keyakinan Kant yang agonistik
itu. Tiada yang metafisis dibalik daya akal. Yang murni dalam metafisika
ternyata adalah sesuatu yang sebenarnya tak bisa dibuktikan. Lewat etika
transedental Kant, metafisika untuk kali kedua dibungkam.
Tapi itu Kant. Dengan
agnotismenya. Dengan kecurigaan akal murninya.
Yang berbeda datang dari
filsuf Iran kontemporer, Murthada Muthahhari. Dalam ceramahnya yang dibukukan
dengan nama Mas'aleye Syenokh, Kant dikritik. Dan dalam
kritikannya itu, bukan saja Kant, seluruh pandangan yang skeptik terhadap
kemungkinan epistemologi dikritiknya.
Muthahhari sebenarnya tidak
tepat jika disebut filsuf per se. Sebab tidak seperti filsuf umumnya yang
memang menyelisih dari otoritas teks agama. Itulah mengapa dalam ceramahnya itu
ia memulai perbincangannya dengan soalsoal epistemologi dari al quran. Di
sinilah beda itu tampak.
Dan beda itu sebenarnya
memang adalah sesuatu yang disengaja Muthahhari. Soal epistemologinya adalah
suatu rancang bangun yang ia susun untuk membuktikan rapuhnya pemikiran asing.
Dalam skema itu, "asing"
adalah berarti produk pikiran yang mencerminkan semangat sekuler. Ini berarti
maksud Muthahhari merupakan ungkapan yang merujuk pada tempat yang jauh di
sana, yakni suatu masa di mana sekularisasi adalah semangat yang massal
disambut suka cita. "Asing" adalah penanda suatu produk pikiran yang
tumbuh saat yang sakral disingkirkan. Dengan kata lain, pemikiran yang tidak
tumbuh dengan semangat yang mengafirmasi theos. Dengan Itulah, kritisisme
Muthahhari berarti punya maksud tak ringan: membuktikan kokohnya pemikiran
islam.
Dan dari cara pandang yang
quranik, Muthahhari menyebut epistemologi yang dibincangkannya adalah
epistemologi islam. Lalu dari ceramah mas'aleye syenokh, suatu
pandangan khas islam dibentangkannya. Islam sebagai suatu cara pandang,
akhirnya jadi suatu paradigma.
Sebenarnya, ceramah yang ia
sampaikan di tahun 1970 itu adalah ceramah yang juga politis. Ceramah yang juga
punya arti emansipasi. Sebab dalam ceramah tentang pengetahuan yang dibincang
saat itu, punya maksud membangun kesadaran politis.
Karena itulah
ceramahceramahnya dilarang. Rezim saat itu melihat Murthahhari sebagai ancaman
politik, sebab di tahuntahun yang genting saat itu, suatu perkumpulan dianggap
subversif. Saat itu, Iran memang mengalami gejolak politik, dan Murthada salah
satu orang yang memicunya.
Di masamasa yang genting
itu, sebenarnya Muthahhari tidak sendiri. Ceramahceramahnya adalah bagian dari
skenario besar yang kala itu dirancang: revolusi. Dan dari sebagian yang lain,
yang diisi oleh tokoh muda Iran, juga punya andil: Ali Syariati.
Lewat mereka berdualah di
tahuntahun itu, di bawah suatu rejim yang menggeliat dengan kekuasaan yang
tanpa batas, pembangunan paradigma revolusi disusun. Seluruhnya dibincang
dengan tafsir politik agar punya makna yang kongkrit. Islam dengan lidah dua
orang itu akhirnya jadi ajaran yang tidak sematamata metafisis, tetapi menjadi
lebih runcing, menjadi lebih kritis.
Akhirnya dari
ceramahceramahnya itu, Muthahhari mengawalinya dari quran. Sebab quran, kita
tahu adalah eksistensi pengetahuan hakiki yang mengatasi sejarah. Alquran
sebagai satuan epistemologi adalah pengetahuan yang tidak dibentuk sejarah yang
penuh perubahan. Justru pengetahuan alquranlah, pengetahuan yang membentuk
sejarah.
Dengan itulah Muthahhari
menepis keraguan agnotisme epistemik Kant dan pemikiran asing lainnya. Sebab
manusia punya kemampuan untuk menangkap realitas yang hakiki. Seperti alquran
yang lahir dari peristiwa epistemologi Muhammad berabadabad yang lalu. Maka tak
ada yang tak mungkin, ketika akal mendapati dirinya bangkit. Kerika itulah
dunia nampak terang.