Hari ini hari kepunyaan
perempuan. 8 Maret, dengan serentak, perempuan tetiba ditempatkan pada suatu
titik yang agung. International womens day memang punya gema seruan yang
lantang.
Perempuan dalam 8 Maret
adalah suara emansipatif untuk merebut posisi yang sewajarnya dalam sejarah.
Hari ini pasti banyak yang kembali menengok jenis kelamin yang berabadabad
disingkirkan dari pentas cosmos. Hari ini, entah itu pria juga wanita, bersuara
dalam satu intonasi yang kuat: hidup perempuan.
Yang sewajarnya dalam
sejarah bagi perempuan, sebenaranya adalah deret peristiwa kelam yang tak
pernah stabil untuk kukuh pada relasi yang sejajar.
Di mulai dalam sejarah
pengetahuan, perempuan sudah selalu dipandang sebagai mahluk yang tak lengkap.
Di Yunani purba, filsuffilsuf yang galibnya adalah kaum lakilaki sudah
mengukuhkan pandangan semacam itu. Perempuan seperti mahluk yang keluar dari
lintasan cosmos yang semestinya. Itulah mengapa, perempuan dianggap pelengkap
dari susunan hirarki tatanan alam yang maskulin.
Dalam agama, yang kelam
bagi perempuan sudah jadi titik yang tak bisa digugat. Titik itu sudah
merupakan kepastian yang semakin mapan dilegitimasi oleh teks. Bahkan semenjak
awal penciptaan, perempuan adalah sumber tulah. Bahkan kehidupan manusia adalah
ulah perempuan yang menyebabkan penderitaan jadi tak berkesudahan.
Tapi sejarah adalah putaran
waktu yang tak pernah stagnan. Sejarah adalah kompeksitas waktu dan ruang yang
saling mengisi. Di dalamnya peristiwa terbentuk. Di dalamnya selalu ada yang
kumulatif. Dari keterbelakangan perempuan, waktu dipelajari dan ruang
dijinakkan. Yang asing dikenali. Perempuan yang terbelakang akhirnya sadar
bahwa dunia yang dihuni adalah tempat bersama untuk diisi.
Ini berarti domestifikasi
yang dialami perempuan mulai digugat. Rumah yang dipandang domestik ditarik
secara sosiologis dan politik untuk dijabarkan menjadi yang publik. Apa yang
biasanya tersembunyi dibalik pintupintu rumah akhirnya diperbincangkan.
Penindasan perempuan yang dirasakan bukan lagi harus diendapkan dalam kuburan
jiwa, tapi harus diangkat ketitik terang perdebatan.
Situasi itu sebenarnya
awalnya didorong dari industrialisasi yang begitu besar merombak tatanan
masyarakat feodal. Kehadiran tatanan yang menarik pekerjapekerja untuk keluar
rumah, akhirnya menempatkan perempuan pada tempat domestik.
A Vindication of the Right
of Woman, merekam suasana itu dengan terkurungnya perempuan borjuis di dalam
rumah tanpa pekerjaan. Di abad 18, perempuan kelas menengah yang sudah menikah
dengan para profesional dan pengusaha yang kaya, merasakan betul bagaimana
aturan "perumahan," jadi sebab keterbelakangan perempuan.
Artinya, kekayaan yang
dimiliki perempuanperempuan kelas menengah justru berdampak negatif terhadap
keadaan yang mereka alami. Itulah sebabnya kekayaan yang melimpah, membuat
perempuan borjuis abad 18, diibaratkan "penganggur yang tak
produktif." Mary Wollstonecraft menggambaran itu dengan analog burung
cantik yang dikurung dalam sangkar.
Tapi, yang dalam sangkar,
menurut Wollstonecfraft harus keluar dari situasi yang memenjarakan. Di waktu
itu, Rosseau punya karya Emile tentang pendidikan. Di dalamnya betapa perempuan
ditundukkan oleh opresi nalar yang hanya dimiliki lakilaki. Bagi Rosseau,
lakilaki yang rasional adalah tepat untuk perempuan yang emosional. Dan
perempuan yang emosional dalam pendidikan harus dididik dengan kepatuhan,
kesabaran, kelenturan dan ketulusan.
Itulah mengapa
Wollstonescraft bersuara: perempuan juga harus terdidik dengan semangat yang
sama dengan lakilaki. Yakni dengan merayakan nalar. Perempuan bukanlah mahluk
determinis yang disekap emosi, tapi juga mahluk yang punya daya pikir untuk
maju. Wollstonecraft menyebut itu dengan agen nalar yang memiliki tujuan untuk
menentukan nasibnya sendiri tanpa tekanan superioritas intelektual lakilaki.
Melalui itulah, perempuan
di abadaabad itu keluar dari domestifikasi dan melalui pendidikan mendorong
katup tungku yang menekan eksistensi perempuan. Akhirnya perempuan keluar
berpolitik menuntut hakhak publiknya. Bersuara atas opresi yang dialami.
Organorgan pun terbentuk. Dan mereka berjuang.
Perjuangan perempuan dipentas sejarah akhirnya menjadi purnaragam. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membaca sejarah penindasan perempuan dan titik koordinat di mana dimulai sebuah perjuangan. Dari liberalisme hingga sosialisme, eksistensialisme hingga marxist, radikal hingga posmodernisme, juga ekofeminisme dan feminisme multikulturalisme adalah bentuk bagaimana suara yang dalam sejarah peradaban hanya mengisi kawasan pinggiran, kini justru menjadi pusat.
Perjuangan perempuan dipentas sejarah akhirnya menjadi purnaragam. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membaca sejarah penindasan perempuan dan titik koordinat di mana dimulai sebuah perjuangan. Dari liberalisme hingga sosialisme, eksistensialisme hingga marxist, radikal hingga posmodernisme, juga ekofeminisme dan feminisme multikulturalisme adalah bentuk bagaimana suara yang dalam sejarah peradaban hanya mengisi kawasan pinggiran, kini justru menjadi pusat.
Dan hari ini 8 Maret. Hari
perempuan sedunia. Pusat itu kembali menggema hampir disetiap sudut dunia.
Tapi, juga dihari ini,
ketika tulisan ini dibuat, sebenarnya gema perempuan yang ramai disuarakan di
luar sana tak selamanya juga bisa dipandang bersih dari kutukan sejarahnya,
yakni masih dipandang suara yang remeh temeh. Barangkali sebab itulah,
perjuangan yang didirikan dalam sejarah tak pernah jadi suara yang bertahan
lama. Gema biar bagaimanapun lantang akan hilang tersapu bentang ruang. Sebab,
perempuanperempuan yang berjuang pasti tahu, ruang tak selebar daun kelor. Di
tempattempat yang lain, perempuan justru jadi bisu. Gema yang gaung barangkali
tak bisa menjangkau yang jauh.
Untuk itu, bukan gema yang
harus besar, barangkali suatu rencana besar. Orangorang besar biasa menyebutnya
revolusi. Tapi bagaimana itu mungkin?