Langsung ke konten utama

Catatan KLPI Pekan 43

Catatan kali ini tidak panjang. Hanya menyinggung niat Ilyas membukukan cerpen-cerpennya. Ilyas memang rajin membuat cerpen. Ilyas memang banyak mengikuti  perlombaan penulisan cerpen. Beberapa buku antologinya sudah terbit. Beberapa sudah dia sumbangkan ke Paradigma Institute. 

Sebelumnya sudah ada yang seperti Ilyas. Berniat menerbitkan buku. Tapi sampai sekarang belum aktuil. Mungkin banyak kendala. Modal, misalnya. 

Hajir pernah bilang, seandainya ada yang berbaik hati memberikan suntikan dana, dia siap menerbitkan tulisannya menjadi buku. Tentu yang Hajir maksud berupa esai-esai yang tersimpan di blognya.  

Menerbitkan buku sebenarnya resolusi yang diniatkan sejak KLPI bagian 2 dibuka. Ini adalah program kolektif. Caranya setiap minggu kawan-kawan menyicil tulisan lewat setiap pertemuan. Satu bulan empat minggu, empat karya tulis. Empat karya tulis dikalikan duabelas bulan, empatpuluh delapan karya tulis.

Itu bisa bertambah duakali lipat jika kawan-kawan KLPI memiliki semangat semacam Ilyas. Mampu menyelesaikan naskah minimal 2 selama seminggu. 

Selain Ilyas, Ishak juga memiliki semangat yang sama. Ketika pertama kali ikut bergabung di KLPI, Ishak sangat rajin memosting tulisannya via dunia maya. Saat itu semua di KLPI bersepakat; Ishak sedang belajar mati-matian.

Hasilnya, selang beberapa bulan, karya tulis Ishak mejeng di beberapa media cetak. Juga beberapa tulisannya diterbitkan di beberapa media online. Sekarang Ishak diberikan amanah mengelolah salah satu website dari bersama teman-temannya di tanah Ambon.

Imbas giat belajar, kawan-kawan KLPI pasti masih ingat ketika pertama kalinya tulisan Vivi nangkring di media cetak ternama Sulawesi. Poin penting saat itu, walaupun Vivi masih terbilang baru di KLPI, dengan tulisannya yang terbit di media cetak, menjadi bukti siapapun yang belajar giat akan menuai hasil kemudian.

Masih banyak kawan-kawan di KLPI yang seperti tiga orang di atas. Syarif misalnya, dan juga pernah ada Salman yang sekarang domisili di Kalimantan, adalah prototype orang-orang yang mau mengasah dan mengembangkan keahlian menulisnya. Satu dua tulisan hingga mungkin puluhan telah mereka hapus dan tulis kembali, bergelut dengan kekurangan dan berkeinginan kuat mengubah diri menjadi pribadi pembelajar.

Seperti Salman yang telah dahulu pamit dari KLPI, Syarif secara diam-diam juga sudah berada di Seram, kampung halamannya. Tanpa ingin membuat situasi menjadi “termehek-mehek,” Syarif pergi dengan bekal yang sudah dikeruknya banyak-banyak selama di KLPI. Di Seram, tinggal menunggu waktu, apakah Syarif membuat dentuman di sana?

Begitulah, hampir setahun ini banyak yang bertahan dan juga tidak sedikit yang pergi. Tapi, KLPI harus tetap berjalan. Ibarat “perahu” Nietzsche, sudah berlabu dan membakar dermaga di belakangnya. Tidak ada jalan pulang.

Pekan kemarin, memang tidak banyak yang datang lagi. Tapi, seperti yang dikonfirmasi Jusnawati, visi dan misi KLPI-lah yang penting. Kehadiran boleh saja absen dari kelas, tapi di manapun itu visi dan misi KLPI harus tetap digelorakan.

Apa visi dan misi KLPI? Mungkin banyak yang sudah lupa, tapi sederhana, KLPI hanya mau membangun tradisi literasi dan menyadarkan masyarakat betapa pentingnya kesadaran literasi. Lumayan muluk. Namun kalau tidak muluk, untuk apa cita-cita mesti ada?

Cita-cita di atas hanya bisa direalisasi jika kawan-kawan KLPI melengkapi dirinya dengan perangkat pengetahuan yang mapan soal literasi. Apa itu literasi? Apa hubungannya dengan kesadaran masyarakat? Relevankah gerakan literasi dengan tipikal masyarakat kekinian? Bagaimanakah menggunakan media sosial sebagai sarana gerakan literasi? Masih pentingkah tradisi literasi dibangun via komunitas? Dsb adalah pertanyaan yang sudah fix di dalam pemahaman kawan-kawan KLPI.

Satu hal penting dari visi dan misi KLPI terhadap kawan-kawan adalah seberapa strategiskah waktu luang yang ada selama ini untuk membangun praktik-praktik literasi. Indikator praktik literasi bukan saja aktivitas tulis menulis belaka, juga bukan sekadar membaca referensi sebanyak-banyaknya. Dari segi ekonomi, misalnya, seberapa persenkah uang kawan-kawan peruntukkan membeli buku, mengikuti seminar, diskusi publik dan semacamnya. Seberapa seringkah kawan-kawan memperbanyak kopian selebaran yang berbau pencerahan di kampus-kampus. Dan, relakah kawan-kawan menyisihkan beberapa persen persediaan uang harian demi sumbangan di bidang baca-tulis?

Tapi, indikator yang paling sederhana adalah sudahkah kawan-kawan memiliki bank literasi? Semacam blog pribadi yang dikelola dengan ketat?

Jika semua itu belum sempat dilakukan, yakin dan percaya semua kemampuan menulis kawan-kawan masih sebatas angan-angan belaka.

Pekan 43 merupakan pekan terakhir 2016. Perlu juga disampaikan di sini, KLPI perlu “gelombang kecil” di awal tahun nanti. Semacam kegiatan kolektif untuk menyimpul kembali capaian-capaian yang sudah dan akan direalisasikan nanti. Tentu, ini tidak lahir dari sekadar perbincangan satu dua orang. KLPI adalah kita.

Selamat merayakan pergantian tahun.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...