Langsung ke konten utama

madah duapuluhtiga

Konon, di Yunani purba, tubuh merupakan wakil kebaikan dan keuletan. Ia adalah penanda supremasi manusia. Olimpiade, misalnya,  yang dilakukan selama empat tahun sekali di lereng Gunung Olimpus, merupakan pemujaan terhadap tubuh yang ideal. 

Bahkan dalam filsafat, Aristippus, teman Socrates, mengidealkan tubuh sebagai ajaran etika. "Kesenangan tubuh jauh lebih baik dari kesenangan jiwa." Di Yunani sepertinya, tiada jiwa yang ideal tanpa tubuh yang ideal.

Itulah  ada adagium yang akrab; mens sana in corpore sano, di balik tubuh yang kuat, ada jiwa yang sehat. Di balik seratserat otot yang padu, terdapat jiwa yang utuh.

Namun itu di Yunani, suatu masa ketika tubuh ditempatkan sebagai ekspresi atas yang ideal, yang dipuja dan dipuji. Sesuatu yang sempurna.

Bagi sebagian orang ada keyakinan tubuh adalah medium kejahatan. Tubuh sudah terlanjur dianggap musuh kemurnian. Tubuh adalah ruang yang gelap dan tak harus dicandra. Dari itu, tubuh dijauhi. Dari itu, tubuh diasingkan.

Di Yunani sendiri, sebelumnya ada Platon. Ia berpendapat tubuh adalah kuburan jiwa. Jiwa diandaikannya sebagai entitas ideal yang murni, yang disebutnya hidup dalam archetype. Di sana adalah kebebasan sejati, jiwa hidup bebas dan tiada batas. Namun jiwa mengalami keturunan dan terperangkap dalam tubuh. Jiwa, yang semula hidup bebas akhirnya terpenjara dan terkurung. Dan tubuh adalah dunia yang gelap bagi jiwa; bayangbayang.

Maka itu tubuh dipandang nisbi dan membelenggu. Tanda nisbi pada tubuh, yakni sesuatu yang mengalami spasial. Tanda pembelengguan pada  tubuh, yakni ia meruang dan itu berarti ada jarak dan terbatas. Oleh sebab itulah, tubuh tak memberikan kebebasan. Oleh sebab itulah jiwa mesti dibebaskan. 

Platon memang memiliki pandangan yang tak sepenuhnya mewakili keyakinan umum Yunani. Pandangannya yang diimplisitkan dalam filsafatnya tak juga dapat dikatakan adalah produk kehidupan Yunani. 

Namun Platon tak bisa lepas dari tubuh sebagai modus keyakinannya dieksplisitkan. Sebut saja tumos, salah satu bagian tubuh yang ia sebutkan dalam menjelaskan arete sebagai jalan keutamaan. Tubuh nampaknya, dalam pikiran Platon adalah apa yang disebut Socrates sebagai perangkap jiwa; kelemahan yang terus menerus memotong, mengganggu, memecahmecah dan menghalangi manusia dari kebenaran.

Barangkali sebab itulah tubuh dianggap bertentangan dengan kehendak jiwa. Barangkali inilah maksudnya; yang utama bagi Platon adalah jiwa. Yang ideal bagi Platon adalah unsur yang tak dapat dibagi; sesuatu yang tak berkekurangan; sesuatu yang disebut ultim. Atau apa yang disebut yang real. 

Maka itu yang lain hanyalah bayangbayang; yang lain adalah semu; yang lain adalah palsu; dan yang lain adalah pantulan dari yang substansi. Jika yang lain sudah seperti pantulan, barangkali wajar saja yang lain akhirnya sesuatu yang tak layak diutamakan.

Dengan demikianlah tubuh dilabeli dan diberikan arti yang defenitif; sesuatu yang rendah dan tak berarti. Juga dalam agama, tubuh adalah elemen yang tak selamanya bersih dari sumbersumber petaka. Tubuh dalam agama, sama dengan arti pengutamaan atas jiwa. Tubuh dalam agama, sama berarti adalah bagian yang ditundukkan atas superioritas jiwa.

Tapi ada sebuah keyakinan; firman telah menjadi daging. Ini ada dalam maksud seperti yang dimiliki Kristiani, yakni tuhan menjadi manusia. Keilahian dimanusiakan dan ini juga berarti sebaliknya, segala "kedagingannya", kemanusiaan diilahikan. 

Sebuah tubuhkah daging itu? Yang pasti ada kisah disaat perjamuan terakhir; “Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memotong-motongnya, lalu memberikan kepada murid-muridnya dan berkata; ambillah, makanlah, inilah tubuhku. Sesudah itu ia mengambil cawan, mengucap syukur, lalu memberikannya kepada mereka dan berkata; minumlah kamu semua dari cawan ini, sebab ini darahku.” (Matius 26: 26-27)

Dalam itu, ada sebuah peristiwa menyangkut tubuh yang disucikan. Daging, yang nampaknya dianggap tak memiliki apaapa diubah menjadi hal yang mitis, bahkan ilahiat. Tubuh dalam perjamuan itu ibarat suatu bagian yang tak terpisah dari yang ilahiat. Dalam kisah itu, sang juru selamat berkata; “ambillah, makanlah, inilah tubuhku.” Ada yang ditranformasikan disitu, bahkan ada yang tidak sekedar diubah di situ, melainkan dicipta, yakni yang dalam Platon adalah "kuburan jiwa", justru menjadi bagian yang kudus.

Sementara yang kudus dalam tubuh, hari ini, justru perayaan atas tubuh yang lain, yakni tubuh yang tak pernah disentuh yang kudus. Yang ilahiat, atau yang kudus, hari ini juga ditranformasi. Namun, bukankah saat ini kita samasama tahu apa arti tubuh dalam pasar? Bahkan apa arti tubuh dalam kekuasaan? Hari ini tubuh yang ditranformasi, entah itu pasar atau kekuasaan atau lainnya, adalah tubuh yang bukan milik kita. Tubuh yang tanpa pribadi.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...