FILSAFAT sebetulnya adalah dialog. Jadi bukan sekadar aktifitas monologis untuk merenungkan suatu segala, tapi peristiwa dua arah untuk mempercakapkan segala ihwal.
Filsafat sebagai dialog bekerja di dua lapisan sekaligus; intrapersonal dan interpersonal. Di tingkatan pertama, filsafat bergelut dengan "aku yang berkesadaran" di dalam kesadaran itu sendiri, sementara di tingkatan kedua, "aku yang berkesadaran" dengan aku yang lain di luar dirinya.
Tingkatan pertama, filsafat dimulai dari permenungan mendalam,
sedangkan di lapisan kedua, filsafat bekerja dengan percakapan antara dua
subjek.
Itulah mengapa, philia yang berarti cinta, membutuhkan dua
subjek yang hadir bersamasama. Karena cinta hanya bekerja apabila diandaikan
pada dua orang yang saling berdialog. Di saat dialog, dua subjek memiliki
posisi yang setara tanpa yang satu memonopoli percakapan. Hanya dengan itulah
percakapan bisa berlangsung tanpa menjadi khotbah, seimbang tanpa diskriminasi.
Melalui dialog cinta menjadi penyetara antar dua subjek.
Cinta yang tanpa dua subjek untuk saling
mempercakapkan, adalah narsisme, tindakan menyenangi diri sendiri. Sementara cinta antara dua subjek adalah
persahabatan (philia). Fisafat sebagai dialog, dengan begitu berwatak
sosial. Tiada filsafat yang berwatak antisosial. Jika semenjak mula, filsafat
tidak dibangun dengan cara dialog, maka filsafat tidak mungkin berkembang dalam
sejarah.
Socrates memulai filsafatnya dengan cara bercakapcakap. Dia
berdialog dengan banyak orang. Membangun gugus percakapan dengan cara
mempertemukan pendapatnya dengan pendapat khalayak tentang hal ihwal. Kelak,
cara ini disebut dengan dialektika, yakni memperhadapkan dua asumsi
untuk mengambil titik temu (sintesa) antara keduanya. Model seperti ini
akan berkembang sebagai salah satu mekanisme filsafat untuk menemukan
kebenaran.
Platon, murid Socrates, juga menempuh cara dialog untuk memulai
aktifitas filsafatnya. Bahkan, salah satu karyanya berjudul Dialogue. Melalui buku itu, Platon
pelanpelan memperkenalkan filsafat melalui hasil percakapannya dengan gurunya.
Bahkan pada titik tertentu, kitab yang merekam dialog Socrates dengan
muridmuridnya itu, adalah reportase pertama di dalam sejarah manusia yang
memperlihatkan bagaimana suatu peristiwa dapat direkam untuk dikabarkan kepada
khalayak.
Syahdan, Socrates dan Platon mengajarkan dua hal, yakni filsafat
harus dikerjakan secara bersamasama antara dua sahabat yang bercakapcakap, dan
dengan cara reportase Platon, filsafat diperkenalkan sebagai informasi yang
bisa dikonsumsi banyak orang. Dengan alasan ini, tidak bisa tidak, filsafat
harus disebut sebagai pekerjaan sosial.
Dunia sosial adalah dunia yang jamak. Begitu banyak ragam manusia
memberlangsungkan kehidupannya. Dimulai dari lahir, manusia sudah membawa sidik
jari yang berbeda, hingga model bahasa, agama, dan kebudayaan yang juga
berbeda. Melalui perbedaan itu, manusia bertukartangkap saling memahami. Dengan
purnaragam perbedaan, manusia dituntut saling menghargai perbedaan.
Filsafat yang berarti pekerjaan sosial, dengan sendirinya
memungkinkan filsafat sebagai medium untuk menjadi bijaksana. Sophia, yang berarti
kebijaksanaan, tidak dengan sendirinya hanya berhubungan dengan aspek semantik
bahasa belaka, melainkan bagaimana kebijaksanaan hanya berarti apabila itu
diberlakukan kepada dua orang atau bahkan lebih. Sama seperti predikat
ayah hanya berlaku bagi seorang suami ketika memiliki anak, bijaksana hanya
bernilai apabila ia diterapkan di dalam hubungan perbedaan antara dua ragam
obyek atau bahkan lebih.
Artinya tiada kebijaksanaan yang lahir dari keseragaman. Dengan
cara itu pula, kebenaran di dalam filsafat diberlangsungkan melalui beragam
perbedaan perspektif. Sebagaimana hukum dialektika, kebenaran hanya lahir
ketika perbedaanperbedaan diperhadapkan untuk dipercakapkan.
Percakapan sebagai metode menemukan kebenaran, nampaknya juga
adalah sifat sejarah filsafat. Yunani pra sokratik menuju pasca sokratik,
ditengahi oleh dialog tematema kosmologi antara Thales hingga Aristoteles. Dari
masa Hellenis hingga Abad pertengahan, dihubungkan dengan percakapan antara
filsuffilsuf Stoa sampai Thomas Aquinas. Dan dari masa modern hingga
postmodern, filsafat selalu diucapkan dengan cara dialogis melalui Machiavelli
hingga Slavoj Zizek. Dengan begitu kebenaran dari masa ke masa senantiasa
berkembang melalui percakapan dengan zaman sebelumnya, membentuk pola
kebudayaan seiring perkembangan masyarakat.
Berdasarkan perkembangan masyarakat, maka filsafat dengan cara
dialog dan sifat sejarahnya, adalah suatu pekerjaan terbuka. Berbeda dengan
agama misalnya, kebenaran yang diberlakukan secara terbuka, harus menanggung
resiko untuk selalu mengalami perubahan, karena dengan cara itulah kebenaran
filsafat memurnikan dirinya. Berbeda dengan agama, filsafat harus selalu
membuka diri untuk senantiasa memperbaharui kebenaran yang dikandungnya.
Bisa jadi, karena itulah nampak perbedaan mencolok antara seorang
agamawan dengan seorang filsuf memberlakukan kebenaran. Seorang agamawan dalam
memberlakukan kebenaran selalu dengan fixed
minded, sementara seorang filsuf mengakrabi kebenaran dengan cara open minded. Itulah mengapa kebenaran seorang
filsuf, dipandang tidak sebagaimana wahyu di dalam agama, karena kebenaran
adalah ihwal yang manusiawi; bisa berubah kapankapan saja.
Kebenaran yang bersifat manusiawi dengan sendirinya berdimensi sosiologis lebih ketimbang teologis. Kebenaran yang berwatak sosiologis berarti kebenaran yang muncul dari ragam orang yang berbedabeda, lahir dari orang banyak dan dipercakapkan melalui banyak mulut. Berbeda dengan agama yang bermula dari satu persona tertentu, walaupun akhirnya diperuntukan untuk banyak orang. Perbedaan paling mendasarnya adalah, filsafat bisa datang dari bibir banyak orang, sementara agama hanya bermula dari bibir satu nabi.
Kebenaran yang bersifat manusiawi dengan sendirinya berdimensi sosiologis lebih ketimbang teologis. Kebenaran yang berwatak sosiologis berarti kebenaran yang muncul dari ragam orang yang berbedabeda, lahir dari orang banyak dan dipercakapkan melalui banyak mulut. Berbeda dengan agama yang bermula dari satu persona tertentu, walaupun akhirnya diperuntukan untuk banyak orang. Perbedaan paling mendasarnya adalah, filsafat bisa datang dari bibir banyak orang, sementara agama hanya bermula dari bibir satu nabi.
Filsafat juga memungkinkan lahirnya lingkungan percakapan yang
lebih demokratis, disebabkan karena kebenarannya dapat dipercakapkan oleh
banyak orang. Berbeda dari agama yang memiliki kecenderungan suatu
hierarki ketika menyelengarakan suatu kebenaran. Dari sudut pandang ini
maka, kebenaran di dalam filsafat membangun pola yang melingkar ke luar,
sementara agama justru masuk bergerak ke dalam pada suatu poros yang menjadi
pusat. Kecenderungan ini dapat disaksikan jika suatu wacana berkembang di dalam
suatu tindak verbal, maka agama akan berpulang kepada suatu titik legitimated, sementara filsafat
justru berkembang dengan mendelegitimade suatu keputusan yang telah tetap
sebelumnya.
By the way, filsafat adalah cara manusia menjaga agar pikiran tetap bekerja, dengan cara dialog, melalui omongomong sederhana dengan cara yang hikmat. Dengan begitu filsafat bukan ilmu yang penuh dengan perbincangan yang berat. Apalagi sangkaan yang angker.