Suatu kota bisa jadi ruang yang begitu bising, tetapi barangkali justru asing.
Kota, sudah jadi bagian dari sebuah skema kemajuan. Sejak suatu tempat
tersentuh perencanaan pembangunan, maka di saat yang bersamaan di sana ada
maksud untuk membangun keramaian. Tapi keramaian suatu kota, justru bukan dalam
arti soliditas yang kolektif, melainkan justru adalah
penanda betapa keterasingan adalah suatu hal yang kronik.
Suatu kota memang membikin asing. Suatu kota
memang tak hendak untuk membangun suatu hidup yang hening.
Filsuf Jerman Martin Heidegger pernah menyitir
suatu hal yang subtil; keheningan dan kesepian. Kota menurut Heidegger adalah
tempat yang tak mampu mencandra keheningan. Justru di desa, tempat di mana
langit menjadi ruang yang bersih dari polusi, dan tanah yang lapang dengan
ilalang, adalah dunia tempat keheningan akrab ditemui.
Keheningan disebutnya adalah kekuatan asli yang khas dari manusia. Sesuatu yang tak pernah mengisolasi diri manusia. Dengan keheningan, filsuf bertubuh gempal itu menyebut keheningan adalah media yang mampu memproyeksikan eksistensi. Keheningan adalah ruang yang beririsan dengan hakikat segala sesuatu. Suatu wesen, suatu inti.
Sebab itulah, Heidegger katakan orangorang
kota sering heran terhadap orangorang petani, ibuibu pekebun, anakanak
penggembala, yang hidup betah dengan lama jauh dari suara gemuruh kota. Oleh
karena, di sana, di lerenglereng gunung, pinggir pesisir, di tengahtengah
sabana padi yang kemuning, keheningan datang dan akrab membentuk sebuah
identitas; masyarakat yang arif.
Barangkali inilah yang ingin dicapai para
filsuf atau sufi. Suatu sikap yang tanpa pretensi dalam menjalani suatu nasib.
Suatu mental yang disebut Nietzsche sebagai kearifan yang tak sombong terhadap
alam kenyataan. Yakni tindak hidup aktif tanpa ingin memanipulasi alam
kenyataan yang dihadapi. Suatu sikap yang hanif terhadap alam yang akbar.
Orangorang kota sepertinya tak sanggup untuk melakoni hidup tanpa pretensi. Sebab, hidup di dalam kota serba terencana, serba sistematis. Suatu hidup yang dibentuk oleh rasio yang instrumentalistik. Dari rasio instrumentalistik kenyataan diatur dan diprediksi atas efektifitas, efisiensi dan ketepatan. Maka itulah suatu kenyataan sudah harus fix dalam perencanaan yang matang. Sebagai suatu rencana yang matang, hidup akan menjadi arena yang saklek atas ketatnya rel yang telah ditarik lurus.
Sosiolog Prancis Emhile Durkheim melihat yang saklek itu sebagai penanda kota. Ia
menyebutkan berawal dari bergesernya ikatan kultural menjadi normatif,
solidaritas juga berubah. Ikatan solidaritas menjadi renggang oleh terciptanya
spesialisasi yang menghancurkan gotong royong. Yang kolektif tibatiba
dihancurkan atas solidaritas organis. Sehingga komunitas yang dipersatukan oleh
ikatan komunal bersama, menjadi tatanan yang diatur atas individualitas.
Akibatnya, pribadi desa dihapus menjelma pribadipribadi yang otonom.
Dari itu ada dua hal dalam kota; rasionalitas dan individualitas. Perencanaan dan pembagian kerja. Dari itulah kota tampak cekatan dalam merencanakan sebuah skenario. Di dalam suatu skenario tentu ada rasio yang istrumental mengefektifkan suatu rencana. Juga suatu rencana agar dapat efisien, maka suatu pembagian kerja mesti dilakukan. Dengannya, akhirnya kota menjadi tempat agenda pasar diberlangsungkan, kekuasaan diselenggarakan, dan kebudayaan dipertaruhkan.
Memang kota adalah manifestasi sebuah agenda
dijalankan. Pusatpusat didirikan; kantorkantor, sekolah, rumah sakit,
rumahrumah mewah, malmal, pusat hiburan, kebugaran, rukoruko, diskotik,
pabrikpabrik dsb. Tapi di balik berdirinya temboktembok pusat, di sana juga
menyisihkan dan membangun yang lain; kenangan dan keasingan.
Sebab itulah saya selalu senang sekaligus miris mendengar "ujung aspal pondok gede", lagu Iwan Fals itu. Dalam lagu itu ia bicara tentang perubahan, ia bicara tentang suatu rencana pembangunan, suatu keserakahan kota yang menyisihkan "wajah murung pribumi" dan "suara langkah hewan bernyanyi."
Sebab itulah saya selalu senang sekaligus miris mendengar "ujung aspal pondok gede", lagu Iwan Fals itu. Dalam lagu itu ia bicara tentang perubahan, ia bicara tentang suatu rencana pembangunan, suatu keserakahan kota yang menyisihkan "wajah murung pribumi" dan "suara langkah hewan bernyanyi."
Dalam lagu itu ada yang dihidupkan sekaligus hilang begitu saja. Saya menjadi orang yang tibatiba sadar masa
lalu, sadar terhadap kenangan masa kecil. Suatu saat ketika saya bermain di
tanah lapang dan halaman masjid yang berdiri tak jauh dari rumah. Suatu sudut
ruang atas kenangan yang sudah menjadi samarsamar sekarang. Suatu kenangan yang
lamat dalam waktu dan hilang dalam ruang. Karena itulah sesuatu tempat bisa
menjadi asing dari suatu kenangan.
Iwan Fals pandai sekali menuliskan momen
semacam itu; tanah yang dulu tempat pepohonan tumbuh, pondok rumah yang berdiri
hingga senja berganti malam, ruang mesjid tempat bermain, akhirnya menjadikan
tanah tempat kenangan dibentuk, digilas "sebuah rencana dari serakahnya
kota."
Sebab itulah kota menjadi tempat yang ramai
dan bising. Sebab itulah orangorang kota sekaligus kesepian dan juga sebenarnya
asing.