Langsung ke konten utama

Sang Manusia dan Dua Paras Jiwa

LITERASI sufisme menarasikan kesadaran manusia ibarat puncak gunung es menjulang di atas permukaan laut. Yang tampak di permukaan hanyalah keping kesadaran yang menyimpan parasnya di bawah dasar lautan.

Paras tersembunyi di bawah permukaan laut itu, dalam literasi sufisme disebut sebagai jiwa.

Jiwa, secara ontologis dinyatakan sebagai pangkal kaki yang menggerakkan paras kesadaran di permukaan. Itulah sebabnya, banyak pendakuan sufisme menaruh kedudukan fundamental terhadap jiwa. Ketika jiwa itu baik, baik pula paras kesadaran di permukaan. Jika jiwa itu buruk, buruk pula penampakkannya.

Literasi Quranik, mengamsalkan jiwa sebagai wadah mangkuk terbalik. Di dalamnya, terpancar misykat. Misykat, wadah “yang Ilahiat” memancarkan asmanya. Pancaran asmanya disebut  al Qur'an merentang di sepanjang arah ke timur maupun ke barat. Barang siapa mengotori misykatnya, pancaran “yang Ilahiat” bakal putus dan terdistorsi. Sebaliknya, barang siapa menjaga  kebersihan misykatnya, ibarat bening kaca, benderang pula  “yang Ilahiat” memancar ke permukaan.

Paras kesadaran dengan begitu dalam dalil-dalil sufisme bergantung dari situasi kejiwaan. Jiwa-lah induk kesadaran. Tiada kesadaran yang baik tanpa keberadaan jiwa yang baik.

Rumusan serupa dapat ditemui pula dari pemikiran seorang pencetus psikoanalisis, Sigmund Freud. Semenjak membantah dalil-dalil kesadaran Cartesian, Freud sebaliknya memperkenalkan libido manusia yang banyak mengintervensi kesadaran. Bagi Freud, kesadaran bukanlah satu-satunya faktor kunci pemahaman manusia. Libido-lah paling banyak menentukan kesadaran. Bahkan, kesadaran hanyalah citra libido yang bekerja diam-diam di bawahnya.

Libido menurut Sigmund Freud selalu bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Dia adalah pusat jiwa yang menghendaki hasrat segera mesti terpenuhi. Paradoksnya, kesenangan libido tidak serta merta dapat mencukupi kebutuhan dirinya. Dengan kata lain, libido adalah hasrat yang tidak akan pernah terpuaskan sampai kapan pun.

***

DUA kisah jiwa di atas sama-sama dialami manusia.  Jiwa-ilahiat selalu mengajak sang manusia kepada “keterikatan kepada yang suci.” Jiwa-ilahiat bahkan selalu mengajak manusia menemukan paras otentiknya di “ketinggian” puncak-puncak keadaban.

Sebaliknya, jiwa-libidinal merupakan “liang pasak” keinginan manusia agar rela bertungkuslumus di “kerendahan” lembah tak berdasar. Ibarat mulut sumur menelan apa saja tanpa diketahui seberapa dalam lubang yang dimiliki. Menyedot apa saja. Meringkus segalanya. 

Kisah manusia terjebak jiwa-libidinal tak bisa disepadankan dengan kisah yang diliterasikan tradisi sufisme. Sang manusia dalam konsepsi antropologi-filosofis sufisme adalah karakter manusia yang bersetia dengan ideal-ideal “jiwa-ilahiat”. Agama-agama menyebut manusia yang hidup dalam idealitas “jiwa-ilahiat” sebagai para nab-nabi utusan Tuhan.

Sebaliknya, kisah manusia terikat  jiwa-libidinal, adalah orang-orang yang melahirkan tragedi, dan mati sebagai orang yang dikutuk peradaban.

***

FRIEDRICH Nietzsche melalui Beyond God and Evil. Nietzsche mengucapkan suatu isyarat lahirnya tragedi manusia yang ditengarai hasrat yang dikandung diri manusia itu sendiri. Jauh lebih radikal dari dua kisah di atas, Nietzsche bahkan menyatakan manusia adalah mahluk yang menanggung tragedi semenjak asal keberadaan. Mahluk malang tanpa pegangan, kecuali  hasrat dirinya sendiri melahirkan tragedi untuk menguasai suatu segala.

Abad 21 ibarat identifikasi Nietzsche mengenai kondisi kehidupan yang melahirkan tragedi demi tragedi. Sang manusia mengalami banyak kekalahan demi kekalahan di hadapan totalitarianisme “rezim hasrat.” Bahkan manusia di era sekarang --meminjam rumusan Thomas Hobbes ketika berhadapan dengan konteks silam masyarakat Eropa: bellum omnes contra omnia, perang semua melawan semua.

Bellum omnes contra omnia dalam politik menandai kekuasaan adidaya tirani dan totalitarian menindas golongan satu atas golongan lain. Dalam ekonomi, hasrat merusak kemakmuran bersama melalui rezim pasar global. Dalam hukum, hasrat merongrong tatanan keadilan dan kejujuran. Dan dalam kebudayaan, akibat hasrat konsumerisme, manusia menjadi semakin terasing dari dirinya sendiri. Bahkan dalam agama, hasrat bagai sang raja secara imperatif harus diakui sebagai satu-satunya tuan kebenaran.

Dominasi hasrat, akhirnya, membuat sang manusia menjadi mahluk dengan kesadaran temaram. Sang manusia terombang-ambing kehilangan pegangan. Tanpa ada sandaran untuk mencandra kebenaran dan keutamaan. Dikotak-kotakkan diperdaya libido di semua lini kehidupan.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...