Langsung ke konten utama

madah tigapuluhsatu

Ludwig Nietzsche barangkali tak pernah menyangka, anaknya, yang ia persiapkan untuk menjadi seorang pendeta, suatu hari nanti akan mencipta kekalutan. Anaknya suatu hari nanti dengan niat yang mengebugebu, bersuara; tuhan telah mati. Sontak seluruh Eropa tersentak, seseorang telah membunuh tuhan. Seseorang telah membuat kalut orang beriman. Tuhan telah mati.

Dalam suatu metaforanya: "kemanakah tuhan?" Ia berteriak, "kubilang kepada kalian kita sudah membunuhnya. Kamu dan saya. Semua kita adalah pembunuhnya."

Nietzsche orang yang membenci moralitas budak itu, tentu tahu apa konsekuensi perkataannya. Tuhan yang telah mati berarti sama halnya menghapus iman yang mapan tanpa cacat. Tuhan yang dibunuh sama halnya membuat lubang besar dijantung keyakinan religius. Membunuh tuhan berarti meninggalkan segalanya dalam keburaman. Tak ada yang terang yang ditinggal Nietzsche selain kecacatan. Bahkan tak ada yang jelas; sebuah nihilisme.

Dan dari lubang yang ditinggalkannya itu, ia sadar, bahwa tuhan bukan segalanya.

Tuhan, yang diyakini, telah benarbenar tiada. Nietzsche ingin sebuah jalan tanpa tuhan, tanpa halhal transendental. Sebuah jalan yang tak ramai sesak oleh sabdasabda dan juga doadoa. Nietzsche ingin jalan yang milik manusia. Sebuah sikap non homo religious.

Dengannya Nietzsche ingin melabuh pada dunia yang bersih dari iman yang hipokrit. Suatu iman yang meneguhkan nilainilai kudus di suatu mimbar, tetapi membuat risau kemanusiaan atas nasib yang abai. Kepadanyalah segala iman dibunuh. Hidup sebenarnya adalah ziarah panjang yang tanpa hujung, tanpa pagar iman yang kudus.

Kepada yang ilahi ia menulis: "kita telah menonggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang..dan tak ada daratan lagi!"

Sebuah sikap atheismekah ini? Nampaknya ini yang sulit. Sebab Nietzsche menolak sebuah kategori yang serta merta ditautkan pada segala. Juga pada kebenaran. Apalagi suatu keimanan.

Kategori berarti di dalamnya mengandung suatu nilai. Berarti di sana sudah ada ukuran yang siap di letakkan. Dan menilai artinya membangun ukuranukuran. Namun, suatu ukuran bisa cacat ketika itu sudah selalu benar dan menyalahkan yang lain. Dengan kecatatan demikian, atas hak apa seseorang punya wewenang dalam menilai yang lain.

Sebab itulah Nietzsche mencurigai klaimklaim kebenaran; kebudayaan, tradisi, sains, moral atau bahkan agama. Bukankah sebenarnya kebenaran hanyalah dasar yang dibangun atas dasar perspektif? Kebenaran tiada lain hanyalah sudut pandang yang lahir dari situasi yang berbeda. Bahkan soal iman dan keyakinan.

Maka itu Nietzsche menginginkan iman yang lain. Iman yang telah dipugar dari bangunan keagamaan yang tak pernah gamang. Da sagen, sikap yang optimis ditengah ketiadaan nilainilai. Suatu arung tanpa ilahi. Bentang jalan panjang yang kepunyaan manusia sendiri.

Di sanalah manusia menerka hidup yang tak pernah lengkap atas titik akhir. Berjalan dengan lurus di dalam arus yang tak pernah diam. Bukan hidup yang terperangkap oleh nilainilai yang membuat diri semakin asing. Sebab adakalanya hidup sudah selalu fix oleh penafsir yang memancang batas. Maka di situlah sebuah kehendak sebuah arung dihujam, tepat pada iman hidup yang sudah selalu final.

Bukankah “Kita sudah membakar jembatan di belakang..dan tak ada daratan lagi"

Tak ada daratan lagi. Tak ada tempat pijakan lagi. Di dunia semacam itulah manusia menjadi mahluk yang bebas mengekspersikan dirinya dengan segala nilai kodratinya. Menjadi manusia yang sebenarnya di mana tak ada reduksi atas diri yang ditafsirkan oleh nilainilai yang janggal. Dengan cara demikianlah manusia menemukan suatu jalan yang bersandar dari supremasi dirinya. Suatu hidup yang berkata “ya” pada dunia yang nihil.

Tapi Nietzsche tahu, di dalam nihilisme itulah manusia menjelma manusia yang unggul; umbermench. Hanya menjadi itulah, dunia yang nihil, dunia yang telah kehilangan segalanya mesti dihadapi. Sebuah optimiskah ini? Saya kira iya. Nietzsche memang filsuf yang optimis.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...