Langsung ke konten utama

Bung dan Bing, Book Challenge, Bukan Sekadar Mengunggah Sampul Buku!

 ”Pada saat inilah dia sepenuhnya menyerah membaca. Sampul buku tampak seperti peti mati baginya, entah lusuh atau hiasan, dan apa yang ada di dalamnya mungkin juga debu.”

—Alice Munro

Don’t judge the book by its cover. Ini kiasan yang saya rasa tepat untuk melihat kebiasaan sebagaian netizen di linimasa Fb, yang belakangan melakukan aksi bergantian mengunggah buku bacaan meski hanya menampilkan sampulnya saja. Sekadar gaming memang—dan mungkin hanya gimmick, dan ini sah-sah saja dilakukan dengan alasan sebagai cara memeriahkan kecenderungan suka membaca buku yang kian kemari dirasa menjadi satu gaya hidup tersendiri.

Sampul buku bukan segalanya, dan itu tidak berarti ia dapat mewakili kecenderungan positif mengenai suatu komunitas pembaca buku. Dari sampul buku, saya kira, masih sangat jauh dengan isi bukunya, yang membutuhkan kerja jaringan syaraf otak mencernanya, lewat aktivitas membaca, mencatat, dan menganalisis.

Sampul buku hanya halaman depan yang mengandalkan kecanggihan visual berupa teknik grafis dan permainan warna-warni, yang kadang hanya memanjakan mata dan bukan pikiran.

Ia hanya penampakan teknis bersifat sementara, yang memanfaatkan daya visual sebagai liang hasratnya. Itu artinya, cover buku bukan suatu kawah candradimuka yang membuat orang seketika menjadi sakti dengan memiliki pemikiran yang jelimet dan mendalam.

Malangnya, saya tidak yakin, kegiatan saling undang di Fb ini memang mewakili suatu kaum yang betul-betul mencerna isi bukunya. Ya, apa boleh dikata, Fb—dan medsos semacamnya hanyalah medium pencitraan, yang bisa saja mereduksi kenyataan sebenarnya.

Ada suatu masa, bagi seseorang, dengan perasaan mantap, tapi tidak betul-betul serius membeli buku cuma karena desain bungkus depannya yang ciamik. Saya sering mengalami itu dan mengingat pengalaman kali pertama saya saat membeli buku tentang Antonio Gramsci, berkat bujuk rayu penampakan penutup depannya yang mengundang selera.

Cover itu begitu menggoda mata menampakkan gambar karikatural muka Antonio Gramsci, dengan latar belakang kuning—warna utama yang sangat jarang dipakai desainer cover buku sampai saat ini karena terkesan norak.

Gambar itu sudah pasti demikian mencolok di antara deretan buku-buku bertema wawasan sosial saat itu, yang hanya nampak biasa saja dibandingkan latar warna kuningnya yang menyala dari jauh.

Kulit depan buku itu selain gambarnya yang dibuat secara karikatural, juga menampakkan pendekatan lukisan grafiti ala cultural pop, dengan penempatan nama Antonio Gramsci sebagai palang judul. Di atas nama sohor itu, tertera nama penulis bukunya. Kecil saja, tapi  pas ditempatkan begitu. Klop sudah saat itu sebagai buku yang sedap dipandang mata, ketimbang mewakili isinya yang lebih banyak berbicara filsafat politik dan kekuasaan.

Saya ingin katakan di sini, sampul depan hanya bagian pertama dari tempo-tempo penting seseorang kali pertama membeli buku. Itu bagian dari tahap-tahap panjang setelah ia mengetahui nama penulis, membaca sinopsis, daftar isi, kata pengantar, atau memilih sejumlah halaman random, dan kemudian berakhir dalam suasana membaca yang intens yang akhirnya harus ia tuntaskan melalui transaksi jual beli.

Saat itu saya belum lama meninggalkan musim ospek sebagai mahasiswa baru, gagap melihat suasana kota, dan tidak mengalami tahap-tahap semacam itu.

Tanpa semua kegiatan riset kecil itu, yang kerap dilakukan seorang pembeli buku, membuat saya terpancing membeli buku itu semata-mata karena cover yang enak dipandang mata.

Itu artinya, dalam peristiwa itu, saya bukan pembeli dengan sikap dan embel-embel intelektual tertentu atau semacamnya, yang membuatnya berbeda dengan konsumen lain (dapatkah Anda membayangkan ini, bahwa seorang pembeli buku secara tidak langsung memiliki semacam keangkuhan untuk menunjukkan dirinya merupakan bagian dari suatu komunitas elite yang bertugas menjaga peradaban agar tidak rontok).

Itu artinya juga, saya belum mampu mengubah tindakan transaksi jual beli itu menjadi dan masuk ke dalam suatu sikap lanjutan yang jauh lebih dibutuhkan bagi seorang pembaca buku: mendalami dunia teks.

Tepat di titik itulah, jika itu tidak terjadi, maka Anda hanya memperlakukan buku seperti benda-benda etalase toko lainnya. Ia tidak lebih cuma sebagai komoditas pasar yang tidak menghasilkan ekses kebudayaan terutama di bidang literasi.

Di saat itu, penampakan sebuah buku lebih dekat dengan gejolak hasrat yang dibuai persis pengaruh iklan daripada mengartikannya sebagai benda bergagasan yang menantang secara pemikiran.

Meski buku adalah benda intelektual, ia lebih istimewa daripada hanya melihatnya sebagai benda pajangan, yang  mentok pada pandangan mata belaka (visual)—jembatan pertama godaan setan mekanisme pasar—ia justru sebenarnya merupakan benda yang menjadi bahan baku bagi terciptanya pandangan dunia seseorang (konseptual).

Membaca buku dan mengunggahnya di media sosial, alih-alih dapat disebut sebagai kegiatan sinonim dan berkelanjutan. Membaca buku merupakan bagian integral dari proyek pendalaman suatu wacana. Ia kerap dibarengi dengan aktivitas mencatat istilah atau kalimat penting, memberikan tanda halaman, membuka kamus, bahkan sampai mencoret di bagian-bagian yang dirasa penting dengan menulis catatan di marjinnya. Tidak jarang kegiatan ini lebih daripada sekadar membaca diakibatkan membutuhkan banyak waktu untuk melunasi suatu tuntutan dari hasrat ingin tahu seseorang.

Membaca akhirnya merupakan kegiatan yang intens dan radikal. Ia mungkin mirip dilakukan tokoh Carlos Brauer, si penggila buku dalam Rumah Kertas karangan Carlos Maria Dominguez, yang setiap membaca membutuhkan kurang lebih dua puluh buku karena dihubungkan oleh satu istilah di antara buku-buku terkait. Kita seolah-olah sedang membaca kamus, yang setiap arti katanya membawa kita kepada satu rujukan kata baru yang mesti digali kembali, dan begitu seterusnya.

Sementara kegiatan mengunggah buku, Anda tahu sendirilah apa sebenarnya motif para netizen, yang tidak semua melakukan kegiatan di atas. Mungkin sebagiannya seperti laku  bibliofil dalam Rumah Kertas: ”Orang-orang ini (bibliofil) ada dua golongan….pertama, kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka…..edisi pertama buku-buku Borges sekaligus artikel-artikel di majalah-majalah; buku-buku yang dicetak oleh Colombo, disunting oleh Bonet, sekalipun mereka tak pernah membuka-bukanya selain untuk melihat-lihat halamannya, seperti orang-orang mengagumi sebuah objek indah.”

Kategori ini, yang disebut hanya mengagumi buku sebagai objek indah, besar kemungkinan  akan berakhir memperlakukan buku seperti peti mati: di dalamnya ada objek tidak berdaging dan hanya tersisa debu-debu. 

Tapi, tidak semuanya demikian, sebagiannya mungkin digerakkan oleh motif luhur untuk mempengaruhi netizen agar lebih giat membaca buku, atau mendorong suatu komunitas agar lebih getol bersuara atas nasib bangsa yang kian tersedot di dalam budaya politik praktis. Alih-alih ini akan menjadi kegiatan book shaming, alangkah baiknya jika dua alasan itulah yang patut kita sangkakan kepada orang-orang ini.

Toh, kegiatan yang disebut book challenge ini, jika betul-betul ingin disebut demikian—agar terhindar dari snobisme, akan jauh lebih menantang jika gagah-gagahan unggah-unggahan massal itu berakhir mantap di atas secarik kertas. Mau apalagi, kalau sudah selesai membacanya ya, dipungkasi dengan meresensinya to!?

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...