Masjid dan Politik

MASJID, kiwari bukan sekadar tempat suci yang terpaut dengan Tuhan belaka, melainkan ikut diseret-seret dan terperosok ke dalam kepentingan politis. Jika dulu peruntukkan masjid utamanya untuk melakukan ibadah kepada Tuhan, di masa ketika dunia jadi runcing dan saling kancing, masjid kadang tidak lebih seperti podium-podium politik.

Memang tidak seharfiah itu, tapi begitulah bagi sebagian kelompok umat muslim. Mendiami masjid sama artinya dengan kekuasaan untuk mengkapling jamaah. Pertama-tama menjadi marbot, jadi takmir, dan ujung-ujungnya jadi imam dan pengurus masjid.  Di saat itu, masjid jadi juru bicara mazhab, jadi tempat kampanye ideologi keagamaan.

Ada suatu masa, dalam sejarah Islam, masjid jadi bagian kekuasaan kekhalifahan, yang berarti apa yang sah dan absah dilakukan dalam masjid menjadi kewenangan sepenuhnya bagi kekuasaan saat itu. Coba telusuri cek-cok dan pertikaian antar mazhab dalam Islam, masjid alih-laih jadi tempat reproduksi peradaban, sebaliknya, ia malah jadi tempat ajang kafir-mengkafirkan.

Bahkan dalam sejarah kekhalifahan Islam, masjid jadi tempat saling bantai membantai.

Tidak sepenuhnya negatif, saat masjid jadi salah satu pusat-pusat barak atau pertahanan ketika Islam melakukan ekspansi besar-besaran setelah sukses mengubah kawasan Arab menjadi pusat penyebaran Islam. Saat itu, meskipun terjadi pergeseran pola dakwah Islam dari dialog persuasif menjadi metoda ujung pedang, masjid tidak tergantikan sebagai penanda kekuatan Islam. Di mana-mana ketika Islam datang mewakili suatu keyakinan baru bagi kota-kota yang diekspansi, masjid segera dibangun dan menjadi simbol pendudukkan.

Mungkin saja, pola dakwah semacam itulah yang dipakai jamaah tertentu saat ini. Menguasai masjid menjadi cara strategis untuk menduduki suatu pemukiman. Tidak selamanya baik memang, dikarenakan paradigma dakwah yang dianut tidak jauh berbeda dengan suatu masa ketika agama-agama saling ekspor dan impor kepentingan lewat cara perang dengan berang. Perbedaannya hanya satu, kini perangnya berubah menjadi perang untuk meng-gol-kan kepentingan kelompoknya, alih-alih membangun perdamaian antara mazhab yang kadung direspon secara parsial dan negatif di negeri ini.

Masjid, kiwari bukan sekadar tempat suci yang terpaut dengan Tuhan saja, tidak saja dikooptasi oleh tujuan-tujuan politik belaka, tapi karena era berganti, juga ikut diseret-seret dan terperosok ke dalam pemujaan ekonomis. 

Sebagai suatu bangunan, masjid pada akhirnya tidak selamanya seperti dugaan banyak orang, menjadi tempat pemujaan Tuhan, tapi jadi kontruksi yang profan; ia dirancang di dalam suatu kebudaayaan, dipengaruhi perkembangan bentuk-bentuk arsitektur, dinilai untung ruginya, dan juga dipertimbangkan megah tidaknya. 

Di titik ini, masjid menjadi satu di antara deret-deretan bangunan di sekelilingnya; menjadi simbol kekayaan, simbol prestise, yang sudah tentu ia malah berubah menjadi simbol kelas tertentu.

Masjid, karena itu, dengan kata lain, tidak sepenuhnya menjadi ruang kudus dikarenakan sudah menjadi teater kebanggaan kelas masyarakat; jadi tempat pemujaan berhala-berhala kekayaan.

Itu sebabnya, masjid-masjid sekarang bisa dibilang terisolasi dari tujuannya sendiri. Ia megah di tengah-tengah kemiskinan. Tinggi menjulang di tengah-tengah keterpurukan kaum marginal. Ia pongah di balik suara spiritual yang sering dikumandangkannya. 

Atap-atap masjid dibentuk menjadi kerucut yang naik ke atas dalam arti sebagai simbol yang mewakili ketinggian jiwa luhur manusia. Di bangun menyerupai mangkuk terbalik dengan maksud mengayomi, menjadi payung teduh menandai ketinggian spiritualitas. Secara simbolik ia menyerupai misykat—ilustrasi al-Qur’an tentang ”mangkuk” dalam jiwa yang memancarkan cahaya ilahi.

Namun sayang, kubah-kubah masjid tidak sama sekali, atau lebih banyak tidak memberikan inspirasi bagi orang yang bersujud di bawahnya.

Orang-orang berdoa di bawahnya, sembari di lain kesempatan membuat dalil dan dalih untuk melegetimasi dan mencari pembenaran. Orang-orang korup, jumawa, sombong, dan penimpun, berbaur bersama si arif, si dermawan, orang-orang penyabar, orang tertindas, ke dalam satu saf yang sama, satu tempat sujud yang sama.

Tidak bisa ditampik saat doa jadi dalih, permohonan jadi desakan, dan aniaya jadi tangisan kepada yang Maha Gaib, mereka merasakan dekat dengan Tuhannya, tapi tidak sedikit di antara itu, sebagiannya sedang  memutus hubungan dengan lingkungannya, teman-temannya, saudara-saudaranya.

Sesungguhnya dihitung lalai salatnya jika ia masih melihat keluarga miskin, anak-anak putus sekolah, orang tua renta, anak-anak kekurangan gizi, dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, tanpa simpati, apalagi empati. Tanpa keberpihakan kepada mustad’afin, dan golongan yang dilemahkan dan dipinggirkan.

Di masa pandemi ini, masjid tidak seheroik saat Nabi menjadikannya sebagai simbol keperpihakan umat. Kini ia jadi bangunan bisu dan dingin. Kiwari, mana ada masjid yang berubah jadi barak-barak bantuan, jadi pusat-pusat bantuan kemanusiaan?