Langsung ke konten utama

Apa yang Bisa dihasilkan oleh Sains

SAYA marah, karena bertindak bodoh. Pohon lengkeng yang saya pelihara berminggu-minggu mulai dari biji hingga mencapai sekira 30 cm, kini layu dan daunnya gugur satu persatu.

Saya marah karena kini pohon itu tergeletak begitu saja, di antara kesegaran bunga asoka, lidah mertua, lemon, pohon cabai, dan beberapa bunga yang tidak saya tahu akan menyebutnya dengan nama apa.

Saya marah dan menjadi orang konyol, setelah dua minggu lalu, pasca membakar sampah berkas-berkas tumpukan kertas, menggunakan sisa debunya untuk pohon lengkeng yang saya kira bisa mengganti sekam atau pupuk. 

Tapi, ternyata tindakan saya itu salah. Dua hari setelah itu beberapa helai daun mulai layu dan berubah menjadi cokelat.  

Saya marah, dan makin marah, oleh sebab rasanya semuanya sudah terlambat. Sejak mengetahui beberapa daunnya layu, tidak sesegera menyisihkan debu pembakaran kertas yang saya duga kuat menjadi penyebab mengapa sekarang pohon lengkeng itu bagai tanaman hias ranting, kering dan kaku. 

Saya marah, saya kecewa. 

Setiap orang pasti pernah bertindak bodoh. Dan kali ini saya akui itu telah saya lakukan, untuk kali kedua, dengan menyiram pohon lengkeng yang layu itu dengan air setiap pagi dan sore agar sesuatu terjadi setelahnya.

Seakan-akan, melalui tanaman itu saya sedang menunggu datangnya mukjizat, sama seperti umat nabi Isa yang menunggu keajaiban agar orang-orang yang telah mati, ia hidupkan kembali hanya dengan cara mengusap muka sang mayat. 

Saya berharap, seperti mayat Nabi Isa, pohon lengkeng itu bangkit dari kematiannya. Segera hidup dan tumbuh seperti sedia kala.

Begitulah keyakinan, karena tak terjangkau akal sehat, terkadang datang beriringan dengan kebodohan. Setelah semua usaha dilakukan dan segala prediksi telah habis dalam daftar percobaan. 

Kebodohan memang tidak pernah kita sangka kapan akan menjadi dasar tindakan seseorang, yang justru membuat orang bertindak seenaknya, tanpa dasar yang pasti dan mendorong orang berbuat sesuatu di luar dari pengetahuannya. 

Untuk ini, saya sama sekali tidak mengingat ajaran sains sederhana dalam Ilmu Pengetahuan Alam yang pernah diajarkan bertahun-tahun lalu. Suatu bab khusus yang mengajarkan mengenai unsur hara apa saja yang bisa mendukung kesuburan tanah. Apa perbedaan arang dengan sekam dari tanaman organik dengan kertas yang sudah diolah sebelumnya. Semua itu praktis tidak muncul dalam ingatan saya, yang berarti mungkin saya pernah lalai dan melewatkannya saat pelajaran IPA dipelajari.  

Anda tahu, kata orang Jerman, pendidikan adalah sesuatu yang Anda ingat setelah yang lain Anda lupakan. Itu artinya, tidak semua pengetahuan yang sudah Anda raih di sepanjang usia Anda bakal Anda ingat selamanya. Ada pelajaran yang otomatis lenyap seiring usia kian bertambah, dan ada pelajaran, betapa pun itu sekarang jadi kurang berarti, akan tetap Anda bawa bersama amal-amal Anda sampai ke liang lahat nanti.  

Ingatan karena itu, sebenarnya suka pilih kasih, terutama jika itu berkaitan dengan hal-hal yang berkesan.

Saya sekarang masih mengingat peristiwa ketika menjuarai lomba menggambar saat usia saya belum puluhan di  masa TK dulu, hingga detail peristiwanya hanya karena itu sangat berkesan di hati saya. Anda tahu, kerja otak itu akan sangat berperan jika gaya  belajar Anda membuat kesan yang mendalam dari apa yang Anda pelajari. 

Belajarlah dengan melibatkan emosi, kata ahli psikologi, karena dengan itu otak akan mengingat apa-apa yang Anda respon dengan perasaan. 

Seperti peristiwa TK di masa silam, otak saya juga masih mengingat dengan baik gambar-gambar di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, terutama yang berkaitan dengan penjelasan Charles Darwin tentang bagaimana alam menyeleksi organisme makhluk hidup di dalamnya. 

Dan sudah pasti, juga tentang suatu peristiwa berjuta-juta tahun lalu, sebelum para malaikat mencatat dosa-dosa manusia, tentang suatu peristiwa yang disebut “ledakan besar”, yang menandai asal usul alam semesta. 

Tentu, yang saya ingat di sini adalah seekor jerapah—dan juga teori Big Bang— yang mengalami evolusi dari lehernya yang sependek leher kuda hingga memanjang menyerupai batang kelapa itu. Ini, dijelaskan teori evolusi, berlangsung dalam jangka waktu yang panjang hingga beribu-ribu tahun lamanya. 

Bisa Anda bayangkan sepanjang masa itu, hanya jerapah lah, dan bukan kuda, gajah, atau sekelompok rusa, yang suka rela mendongak-dongakkan kepalanya melawan sinar matahari hanya demi dedaunan di pucuk tertinggi pepohonan. 

Hal inilah yang membuat leher jerapah tumbuh seinci demi seinci selama bertahun-tahun, saat ia beradaptasi dengan kelangkaan makanan di lingkungannya.

Untuk ini, seperti cara kerja para ilmuwan, saya kerap berhipotesis, bulu mata jerapah yang lebih tebal dan panjang dari hewan sejenisnya berfungsi untuk menghalau sinar matahari saat ia menjulurkan mukanya menghadap matahari.

Anda boleh tidak percaya ini, sama seperti Anda tidak suka jika dikatakan keturunan kakeknya kakek kita, dari moyang kakek kakek kakek kita, terus sampai jauh ke generasi awal, dilahirkan dari rahim seekor kera. 

Tapi begitulah, teori ini gampang diingat karena itulah yang masih tersisa dari pendidikan kita, yang kebetulan ketika itu diajarkan sangat mengganggu keyakinan iman kita.

Selama ini dari mulut orangtua, kita diajarkan agar percaya bahwa kehidupan dimulai saat nabi Adam turun dari Surga, dan sejak saat itu beranak pinak selama bertahun-tahun sebelumnya hidup terpisah dengan Siti Hawa.

Dari pertemuan setelah terlempar jauh saling terpisah, lahirlah dua anak Siti Hawa bernama Qabil dan Habil (dalam versi injil Cain dan Abel) yang menjadi bapak-bapak pertama kita, dan bukan kera seperti yang diajarkan selama ini. 

Itu semua, karena itu berkesan, hanya karena saat itu otak kita menerimanya bekerja bersama emosi, bersama perasaan. 

Dengan kata lain, semua ajaran sains itu, gampang kita diceritakan ulang karena ia dikontraskan dengan kepercayaan iman kita. Ia diajarkan tepat saat kita masih anak-anak, suatu usia yang masih berkembang atas dorongan emosional daripada dimensi kognitifnya. 

Tapi, bukan berarti karena itu belajar hanya cocok ketika di masa kanak-kanak. Dan, juga sesuatu yang melibatkan emosi adalah selamanya buruk. 

Di titik ini saya yakin, Thomas Alva Edison, penyempurna lampu bohlam, bukan bekerja semata-mata atas dorongan kognitifnya, sesuatu yang dalam filsafat Cartesian, didorong oleh kesadaran yang bertumpu kepada Cogitonya, melainkan suatu tilikan perasaan yang teramat penting, yaitu gairah untuk mencetuskan suatu penemuan besar dan abadi. 

Karena itulah, dicatat dalam sejarah kehidupannya, Edison sering terpuruk hampir setiap saat dalam eksperimen berkali-kali, dan akhirnya di suatu percobaan yang kesekian kalinya, ia berhasil menemukan apa yang ia ingin temukan; berhasil memasang lampu listrik untuk kali pertama yang dipakai di jalan-jalan; menyempurnakan mesin telegraf yang lebih baik; menemukan fonograf; menemukan mesin proyektor; berhasil mendeteksi pesawat terbang; pendeteksi kapal selam; penemu jaring pemberhenti peluru torpedo; menciptakan kapal kamuflase… 

Jika bukan karena gairah, temuan-temuan di atas tidak akan pernah terwujud,  dan tidak mungkin lahir kata-kata yang terkenal seperti ini: dari 99 kali kegagalan dan satu penemuan, setidaknya saya bisa tahu bagaimana 99 cara untuk menjadi gagal. Jika bukan karena keterlibatan emosi yang besar, tidak bakal mungkin bagi Edison meneruskan percobaan-percobaan yang lebih banyak kegagalannya itu.

Orang-orang biasa, jika diperhadapkan ke dalam peristiwa Edison, pasti sudah akan mundur, kecewa, dan marah. 

Ilmu pengetahuan tidak bekerja atas dasar kemarahan, melainkan suatu gairah atas penemuan-penemuan yang membangkitkan inspirasi. Ia dimulai dari hipotesis, dugaan-dugaan yang lahir dari rasa ingin tahu paling dalam manusia, kemudian dari itu ada prosedur-prosedur percobaan, eksperimen-ekperimen, yang dilakukan terus menerus untuk menguji hipotesis apakah benar atau sebaliknya. 

Semua itu, akan bertahan dan dilakukan terus menerus tanpa bosan, karena ada perangai ilmiah, yakni suatu sikap untuk mencari tahu sesuatu melalui suatu prosedur penelitian demi menemukan kebenaran baru. 

Tetangga saya memiliki pohon lengkeng yang sudah ia tanam selama tiga tahun. Awalnya saya mengira itu adalah pohon mangga. Ia pernah mengatakan, selama setelah ditanam, tidak pernah sekalipun pohon lengkengnya itu berbuah. Jawaban yang membuat saya kaget saat mendengarnya.

Membayangkan itu, saya makin penasaran mengapa lengkeng sulit tumbuh apalagi menghasilkan buah, terkhusus di lingkungan rumah saya, yang menjadi bagian suatu wilayah tertentu, yang notabene memiliki karakter tanah yang khas, suhu udara di atas rata-rata, iklim yang tidak menentu, dan metode penanaman dan perwatan yang tiap tumbuhan pasti berbeda-beda.

Lengkeng di pasar-pasar swalayan termasuk buah yang berharga tinggi. Setara dengan betapa sulit cara merawat dan menanamnya.

Marah-marah memang tidak baik. Apalagi jika terjadi pasca  bertindak bodoh. Saya marah, dan harus diakui itu setelah saya bertindak bodoh. Dan kali ini sains tidak ada di situ.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...