Tiga Lapis Kejahatan Aburrahman Ibn Muljam: Kepincut Perempuan, si Penghafal Al-Qur’an Pembunuh Khalifah Ali Ibn Abu Thalib
Sosok
seperti Abdurrahman Ibn Muljam, dalam tarikh Islam merupakan figur kemerosotan
akidah sekaligus moral manusia. Sekalipun ia hafiz al-Qur’an, taat beribadah,
dan kelihatan baik, di sisa hidupnya, jangankan berakhlak seperti anjuran
al-Qur’an, ia pada akhirnya mati dengan tidak sama sekali mendapatkan berkah
al-Qur’an.
Ia tamat sebagai manusia, tapi dengan cara su’ul khatimah.
Keperawakan Ibn Muljam, nyaris menyerupai iblis dalam narasi
al-Qur’an mengenai kisah penciptaan Adam.
Sekali masa, setelah Allah menciptakan Adam dan mengimbau seluruh
alam untuk bersujud kepadanya, ada sesosok iblis ogah melakukannya.
Dari segi usia penciptaan, ia jauh lebih tua dari umur Adam yang
belum “sehari” itu. Ia telah hidup lama sepanjang lebih 80.000
tahun. Ia telah banyak makan asam garam di alam semesta tak
terpemanai ini.
Dari segi kuantitas ibadah, kurang lebih di sepanjang usianya itu,
tiada tempat di alam semesta yang belum ia jadikan tempat bersujud. Belum
sekalipun sedetik dari semua waktu usianya ia palingkan
wajahnya dari beribadah kepada Allah.
Tapi, pasca penciptaan Adam, di hari itu, karena melihat usia,
lamanya ia beribadah, dan menyatakan substansi dirinya lebih tinggi dari
Adam, mahkluk ini menunjukkan sikap ganjil yang paradoksal.
Ia tidak rela bersujud.
Perintah Allah ia tolak, tapi sekaligus ingin menunjukkan sikapnya
itu sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
”Tiada zat yang patut aku sujud kepadanya selain kepadaMu, ya
Allah. Adam bukanlah zat tempat aku bersujud”.
Ia beralasan. Ia enggan.
Dengan dalih hanya ingin bersujud kepada Allah semata, ia tolak
juga perintah Allah.
Ia dengan kata lain, menolak ibadah demi “ibadah” yang
lain.
Seperti diketahui, kisah ini menunjukkan iblis lebih mengutamakan
egonya. Ia tidak rela bersujud kepada Adam. Ia menjadi sombong karena merasa
lebih senior dan ahli ibadah dari Adam yang belum sama sekali hidup lama,
walaupun itu diperintahkan Tuhan kepadanya.
Ia lebih mau beribadah (bersujud) kepada Allah, dengan tidak mau
mentaati satu ibadah yang baru saja diperintahkan kepadanya, yakni bersujud
kepada Adam.
Di peristiwa itu, ada dua jenis perintah ibadah sebenarnya. Yang
pertama ibadah yang menyeru untuk menyembah kepada Allah, dan yang kedua adalah
perintah ibadah untuk bersujud kepada Adam. Iblis bersikukuh mengikuti ibadah
pertama dengan mengingkari ibadah kedua. Ia, dengan kata lain, menolak ibadah
yang berpangkal dari tauhid penciptaan.
Itu artinya, si iblis di satu sisi, memang telah menjadi sosok al–abid (ahli
ibadah) semasa hidupnya, yang masyur seantero alam penciptaan saat itu, tapi di
waktu bersamaan, menjadi satu-satunya makhluk yang tidak berhasil menjadi al-abd (hamba)
untuk taat kepada perintah penciptaan.
Inilah kata kuncinya, figur ini tiada lain adalah si ahli ibadah
yang arogan, yang belum mampu mengamalkan inti sari semua bentuk ibadah, yakni
menjadi pribadi setaat-taatnya kepada Allah. Menjadi hamba sahaya, sekalipun
mesti didudukkan bersama makhluk yang belum ada apa-apanya.
Ibnu Muljam tidak selama usia iblis ketika beribadah. Meski dalam
catatan sejarah, ia salah satu sahabat yang kuat beribadah, kuat berpuasa, dan
kuat merekam al-Qur’an di benaknya. Ia karena itu menyandang al–abid,
orang yang ahli beribadah.
Tapi, di malam yang ganjil, waktu di saat-saat beberapa tahun
sebelumnya al-Qur’an “turun” di kalbu Rasulullah, ia menjelma laiknya iblis,
berani dan dengan sombong menebas tengkuk khalifah saat itu.
Ia terdorong dendam kesumat pasca perang Shiffin dan Nahrawan. Ia
menolak keputusan Ali sebagai khalifah yang memilih jalan tengah saat
mengakhiri peristiwa tahkim dengan kubu Muawiyah.
Menurut riwayat dari Ibn Sa’ad, selain dendam kekalahan
pemberontak Khawarij di perang Nahrawan, Ibn Muljam terdorong membunuh Imam Ali
karena kepincut seorang perempuan Kufah bernama Qatham binti Syajnah, anak
pembesar Khawarij yang jadi korban perang Nahrawan, yang dijanjikan akan
menjadi istrinya jika berhasil menghabisi nyawa Imam Ali.
Kelompok khawarij adalah kelompok pemberontak yang keluar dari
konsensus saat itu, dan memilih jalur politik kekuasaan yang memicu perdebatan
teologis menyangkut isu kekafiran. Ditinjau dari Ibn Khaldun, sejarawan cum
sosiolog, kelompok khawarij rata-rata pendatang yang merupakan kluster
masyarakat nomadik dan udik, yang diikat solidaritas golongan (asabiyyah)
sebagai bagian suku-suku pengelana yang berwatak keras dan fanatik buta (ta’ashub;
akar kata istilah asabiyyah yang dipakai Ibn
Khaldun).
Kefanatikan golongan khas khawarij yang mendasari paradigma
keagamaan Ibn Muljam, melihat dua kubu ini tidak amanah berdasarkan hukum
Allah. La
hukmillah, tiada hukum selain kekuasaan Allah. Ali dan Muawiyah,
dua orang yang telah kafir setelah memutuskan kesepakatan bukan berdasar kepada
al-Qur’an.
Imam Ali tersungkur dari sujudnya. Suatu posisi paling sempurna
untuk menjukkan kehambaan total dan paripurna. Dalam keadaan salat, yang juga
merupakan ibadah paling baik menunjukkan kehambaan, ia berujar, “demi Allah
sang pemilik Ka’bah, sungguh aku telah menang.”
Darah mengalir sampai ke janggutnya, sementara di belakangnya, Ibn
Muljam, yang sesegera mungkin diringkus jemaah salat subuh, seketika menjadi
pribadi kalah.
Ibn Muljam kalah bukan dari siapa pun, melainkan kalah dari amal
ibadah yang ia kerjakan selama hidupnya. Ia kalah lantaran tidak mampu
mengelola egonya, lebih-lebih menekannya demi memenuhi ambisi sektariannya.
Ibn Muljam dengan kata lain, kalah dari ekpektasi dirinya untuk
menjadi pribadi yang taat sebagai hamba Allah.
Peristiwa bersejarah di malam-malam lailatul qadr itu, kelak
memberikan suatu gambaran klasik mengenai dua kepribadian, atau malah dua
simbol agama berkaitan seperti apa orientasi menjadi mukmin sebenarnya.
Ibn Muljam, praktis setelah kejadian pemberontakan sepihak itu,
sebenarnya menjadi pribadi yang melecehkan dan mengingkari setidaknya tiga hal
sekaligus.
Pertama, sebagai warga negara yang hidup di dalam kepemimpinan
ulil amrinya, ia sama sekali tidak mencerminkan menjadi ”warga negara” yang
baik. Justru ia menjadi warga yang khianat terhadap negara yang datang
dari kelompok pemberontak Khawarij. Kelompok ini awalnya merupakan mantan
pasukan Imam Ali yang membelot dan membentuk kubu perlawanan di suatu tempat
sebelum Kufah bernama Harura.
Saat pertama kali ia memiliki niat untuk menebas kepala khalifah
saat itu, saat itu pula ia dikategorikan sebagai ”warga negara” pemberontak
yang melenceng dari kewajibannya mematuhi kepala negara (agama). Dalam konteks
kehidupan saat itu, melawan ”negara” sama artinya melawan hukum agama.
Kedua, karena mengangkangi salat untuk membunuh Imam Ali, otomatis
Ibn Muljam sedang menghina agamanya sendiri. Ia telah memanfaatkan medium agama
demi memenuhi ambisi pribadinya. Ia jadikan salat sebagai sarana perilaku
kejamnya.
Saat itu, ia mirip fenomena selama ini, yakni banyak orang yang
memanfaatkan agama demi akses kepada kehidupan yang lebih sejahtera. Rela
menjual agama untuk kepentingan pribadi, atau kelompoknya. Tidak bisa
dibayangkan, kejahatan macam apa yang lebih keji selain dilakukan bersamaan di
dalam salatnya?
Ketiga, percobaan pembunuhan dilakukan Ibn Muljam, adalah jenis
kejahatan tingkat tinggi karena bertujuan menghilangkan nyawa sesama umat
muslim, apalagi dalam hal ini adalah Imam Ali yang menjabat sebagai khalifah
saat itu. Motif kejadian dilakukan di saat sedang melaksanakan salat, dan
terjadi di dalam masjid, tempat suci yang dipakai beribadah bagi umat muslim,
adalah dua alasan lain mengapa tindakan Ibn Muljam ini mesti dihukum berat.
Selain dilakukan di dalam masjid, semua kejahatan Ibn Muljam ia
lakukan dalam keadaan mabuk setelah menenggak khamr, dan terjadi di jelang
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Coba perhatikan dengan saksama, itu menandai betapa Ibn Muljam
hanyalah pribadi tanpa ilmu (jahil) dan beragama
hanya karena dorongan nafsu semata, sehingga hanya mementingkan kepentingan
kelompok politiknya (ta’ashub). Ia mewakili figur orang
beragama yang asbun (asal bunyi). Si abid yang
merasa benar sendiri dan merasa paling mewakili kebenaran al-Qur’an.
Dalam suatu perjalanan menuju negeri-negeri pelosok, Ibn Batutah,
seorang traveler muslim di Abad Pertengahan, menemukan suatu kawasan tanah
hitam yang berbeda dari tanah di sekitarnya, di Kufah bagian barat saat ia
meneliti di kawasan itu. Menurut masyarakat Kufah, itulah kuburan Ibn Muljam si
pembunuh Imam Ali, yang setiap tahunnya dijadikan tempat membakar kayu
selama tujuh hari tujuh malam di atasnya. Catatan ini diabadikan di dalam
kitab Batutah yang terkenal berjudul Tuḥfatun Nuẓẓār
fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār (Hadiah
Bagi Para Pemerhati Negeri-Negeri Asing dan Pengalaman-Pengalaman Ajaib).
Ibnu Muljam. Ia tamat, tapi dengan cara su’ul khatimah.