![]() |
Gambar pamflet peringatan Hari Buruh Sumber gambar di sini |
Alienasi itu memang ajaib mengubah
manusia. Kerja satu-satunya milik buruh berubah menjadi milik tuan pemodal.
Dengan upah, tuan-tuan modal memiliki semacam mukjizat, semacam kelebihan:
menyulap buruh jadi alat kekayaan.
Maka dari itu buruh jadi manusia
yang kerdil. Di dalam sistem kapitalistik, buruh bukan berarti pribadi
individualistik. Di dalam roda industrialisasi, buruh jadi kelas, buruh jadi
kaum.
Sebab itulah di balik sistem
kapitalistik, ada penjajahan massal. Di dalam urat nadi industrialisasi kaum
buruh menjadi seperti atom di dalam tatanan akbar kapitalisme. Ia kecil tapi
signifikan justru bukan bagi kelasnya. Di dalam tatanan akbar itu, buruh kian
dirundung masalah.
Kapitalisme, yang diriwayatkan
tamat oleh Karl Marx itu nyatanya bertransformasi. Ia berkembang
berjilid-jilid. Dari kapitalisme tua, pramodern, modern, hingga kapitalisme
lanjut. Semula, buruh adalah kaum pekerja yang dikuasai tuan pemodal di dalam
pabrik-pabrik.
Tapi itu tadi, zaman berubah, dan kapitalisme juga berubah: sekarang struktur berubah, juga pasar, dan kapitalisme tidak sekedar sistem tunggal, melainkan jamak menjadi struktur kekuasaan yang berlapis dan bersusun.
Tapi itu tadi, zaman berubah, dan kapitalisme juga berubah: sekarang struktur berubah, juga pasar, dan kapitalisme tidak sekedar sistem tunggal, melainkan jamak menjadi struktur kekuasaan yang berlapis dan bersusun.
Di dalam sistem yang berubah itulah
buruh berubah dari pekerja menjadi profesi yang luas. Dalam arti inilah seorang
guru juga seorang buruh, seorang dokter juga berarti proletar, seorang polisi
berarti pekerja, seorang pegawai berarti budak. Juga yang lain, di dalam pasar,
hampir semuanya menjadi alat kekayaan tuan-tuan kapital.
Sebuah penghisapan massalkah ini?
Sepertinya tak ada yang absen dari
logika kapital. Kerja dalam arti kapitalistik sama halnya menjual jasa pada
sistem yang belum tamat ini. Kerja di abad kiwari, bukan lagi persis seperti di
abad lalu yang mesti bersentuhan langsung dengan alat produksi berupa mesin di
pabrik-pabrik.
Kerja, dengan semangat zaman yang
baru, adalah pertukaran tenaga dan keahlian menjadi keuntungan kapital bagi
nama baik perusahaan, rating tinggi media, citra baik pemerintah, atau bahkan
nilai sempurna akreditasi perguruan tinggi. Abad kiwari, setiap tetes keringat
akan ditransformasikan menjadi kapital baru. Dari tenaga menjadi keahlian. Dari
otot diganti otak.
Tiada yang abadi di dalam
kapitalisme selain kerja. Kerja atau mekanisme menggerakkan modal dari cukup
menjadi berlipat ganda adalah inti sistem global saat ini. Siapa pun mau tidak
mau, atas nama apa pun bakal disedot masuk mengisi satu slot ruang pekerja.
Entah menggunakan seragam, helm pengaman, atau stetoskop. Dipaksa atau
terpaksa.
Karl Marx sudah jauh hari
mewaspadai, di dalam sistem masyarakat kapitalistik, kerja yang dilakukan tanpa
gairah dan kebebasan akan menjadi petaka.
Akan menjadi alienatif. Kerja macam
inilah yang disebut mengkerdilkan kemanusiaan. Menciutkan arti hakikat manusia
seolah-olah seperti binatang.
Kerja, bagi Marx adalah modus
sejarah. Kerja adalah cara manusia mengelola apa yang awalnya nature menjadi
culture. Dari kerjalah manusia mengubah alam yang asing menjadi ruang yang
akrab. Marx mengyakini, kerja adalah aspek manusiawi dari manusia. Kerja adalah
upaya meneguhkan ekspresi hidup manusia. Dengan begitu, kerja berarti
memanusiakan manusia.
Tapi sekali lagi, di dalam cara
bereproduksi, kekejaman kapitalisme mampu mendesak kerja yang manusiawi menjadi
nonmanusiawi. Mau tidak mau buruh yang tak memiliki apa-apa menjual jasanya.
Dengan menjual tenaganya berarti buruh menjual dirinya. Dengan tangan kosong
buruh menggadai kebebasannya. Sebab itulah kerja menjadi tidak manusiawi.
Karena itulah kerja menjadi alienatif.
Sulit ditampik bagaimana Marx
begitu mencela kapitalisme. Dia mungkin kecewa. Dia mungkin risau. Tapi mungkin
juga geram. Itulah barangkali mengapa ia menulis manifesto yang terkenal itu.
Mengajak siapapun di bawah sistem tunggal kapitalisme. “Wahai kaum buruh
sedunia, bersatulah!” Dan kita tahu, tulisan yang diawali frase itu, banyak
menginspirasi hampir banyak orang.
Buruh hari ini sudah tidak segeram
Marx menghardik sistem yang tak mati-mati itu. Tapi juga bukan lapisan kelas
yang gampang dikibuli tuan-tuan pemodal. Mereka punya taktik melawan
kapitalisme. Mereka punya front perjuangan atau bahkan punya partai perjuangan.
Mereka bersatu dalam satu keyakinan yang pasti: di manapun, bagi buruh,
kapitalisme harus tumbang.
Dengan itu sepertinya buruh yakin
atas ramalan Marx. Kapitalisme akan menggali kuburannya sendiri. Sistem
kapitalisme akan terjerat pertarungannya sendiri. Marx menyebutnya kontradiksi
internal: iman yang pasti akan keruntuhan dengan sendirinya kapitalisme. Meski
itu bakal lama terjadi. Meski bisa sebaliknya, itu bakal tidak mungkin terjadi.
Adakah yang salah dengan itu?
Adakah yang mesti dibuktikan di situ? Saya pikir ramalan bukan berarti urusan
keyakinan yang harus dibuktikan. Justru sebaliknya, karena tidak pernah
terbukti, sesuatu itu semakin menjadi keyakinan. Sesuatu utopiakah ini?
Rasa-rasanya optimisme itu penting: karena suatu cita-cita jadi utopia, maka ia
mesti terus diperjuangkan. Juga buruh yang jadi alat kekayaan pemodal itu,
semakin diisap semakin melawan. Ini memang mirip pegas.
Selamat hari Buruh Internasional. 1
Mei 2020
===
Telah tayang di Kalaliterasi.com