Riwayat Kepunahan Sapiens: Dari Wadah menjadi Wabah



Creation of Ai


SEJARAH makhluk hidup berupa hewan purba yang sering saya lihat melalui layar kaca lebih satu dekade lalu, memperlihatkan bahwa hewan-hewan bertubuh besar, punah oleh benda-benda raksasa.

Sekitar dua ratus juta tahun lalu, batu-batu panas berukuran raksasa turun seperti hujan, dan  membuat kelompok hewan eksotik bernama dinosaurus seketika punah. Saat itu setengah isi bumi meleleh, dan sisanya tenggelam sekaligus membentuk gugusan pulau-pulau baru.

Sekarang, hujan batu-batu itu sering diabadikan dan dipertontonkan untuk mengingatkan, kelak peristiwa yang sama akan juga kita alami.

Di saat malam hari, kadang peristiwa hujan batu yang lain membuat orang melayangkan doa seolah-olah benda itu jatuh dapat mengubah jalan hidup seseorang.

Di lain waktu, bintang jatuh meninggalkan ekor panjang berwarna orange, sehingga banyak orang menganggap kejadian itu sebagai pengalaman yang mengagumkan.

Di balik kekaguman kita terhadap benda angkasa berukuran jumbo yang bisa melayang itu, justru banyak kehidupan benda-benda superkecil yang tidak kalah mengagumkan.

Di atas punggung kerbau  di sawah, siapa menduga hidup ratusan kutu yang kerap jadi sasaran burung pemangsa. Di sudut-sudut rumah dan di bawahnya, bisa jadi hidup koloni semut berbaris panjang berpusat sampai kepada ratunya. Di sela-sela almari, siapa pernah memerhatikan, hidup bersembunyi ribuan rayap yang menggerogoti pagina buku seperti orang kelaparan.

Siapa juga bakal menyadari, di kaki kaki atau tubuh lalat, hidup hewan kecil bernama tungau yang menumpang pula di beberapa jenis kumbang. Jauh di bawah tanah, lebih kecil dari semut dan rayap,  hidup mikroorganisme yang dijuluki ”hewan pertama” bernama protozoa, yang juga banyak hidup di dalam air.

Hewan-hewan ”mini” ini hidup tanpa sekalipun kita sadari keberadaannya.  Meraka dianggap tidak signifikan bagi kehdupan manusia. Meski demikian, mereka bergerak dalam jumlah jutaan di hampir semua permukaan bumi, dan sebagiannya melayang-layang bebas di udara.

Belakangan, ketika ilmu pengetahuan semakin maju, dan alat indera buatan semakin mutakhir, ditemukan kehidupan lain jauh lebih spektakuler dari hewan-hewan mini di atas.

Hewan supermini ini, tidak bisa lagi diderivasi kedalam taksonomi kehidupan hewan. Bahkan oleh para ilmuwan, keberadaan kategori makhluk ini berada pada jenjang batas antara hidup atau mati. Ia sulit dikatakan makhluk hidup, tapi tidak bisa juga disebut benda mati.  

Dengan alat khusus yang menciptakan cahaya untuk melihatnya, para ahli baru pertama kali ”menemukannya” dua abad lalu. Mereka bersepakat makhluk ini disebut dengan sebutan virus.

Melalui alat-alat canggih, kehidupan makhluk hidup supernano ini dicari tahu dan ditelisik lebih jauh. Apakah mereka berjenis kelamin? Apakah mereka beranak pinak? apakah mereka makan dan minum? Apakah mereka berusia panjang? Apakah mereka bisa dikendalikan?

Seperti juga hewan-hewan mini lainnya, virus hidup berpindah-pindah dalam satuan dengan jumlah besar. Bermigrasi dengan cara mereplika dirinya dari satu wadah ke wadah lain sebagai inangnya. Dari tumbuhan ke tumbuhan, dari binatang ke binatang, dan bahkan, tanpa dirasakan tidak sedikit yang hidup berpindah-pindah dari satu tubuh manusia ke tubuh manusia lainnya.

Pernah pada suatu alaf sejarah kehidupan umat manusia, masyarakat hidup berbaur dengan kepercayaan takhayul, dan menganggap penyakit sebagai respon tubuh atas gangguan roh jahat. Demam, atau cacar, misalnya, saat itu akan dianggap sebagai tanda tubuh sedang didiami makhluk jahat yang berniat memberikan pelajaran terhadap suatu komunitas.

Sekarang,   tidak semua tubuh demam bagian dari interaksi tubuh dengan alam gaib. Dibantu alat teknologi medis, umat manusia sudah memiliki jenis pengetahuan yang lebih maju dari dua atau tiga abad lalu, sehingga bukan lagi gangguan makhluk halus manusia mengalami kelainan panas tubuh. 

Ternyata demam menjadi tanda bagi tubuh yang telah menjadi wadah bagi kehidupan makhluk supernano bernama virus ini, yang berkemampuan merusak sistem daya tahan tubuh manusia.

Daya serang makhluk supernano ini, meskipun berwujud sangat kecil, sampai hari ini telah mencatat sejarah panjang mengenai wabah yang mengguncang kehidupan umat manusia. Flu Spanyol, Cacar, Campak, Sampar, HIV AIDS, Ebola, dan kini Covid-19 adalah nama-nama penyakit hasil dari daya dobrak virus superkecil itu.

Dari satu jenis penyakit ke jenis penyakit lainnya, virus ini juga berevolusi melewati seleksi alam, bergerak meningkatkan kualitas eksistensinya, bergerak dari satu wadah ke wadah lainnya.
Dan, jika mereka menemukan wadah terbaik, tanpa persetubuhan, bukan dengan kesadaran, tidak juga dengan menggunakan organ lainnya, apalagi memanfaatkan sel yang mustahil mereka miliki, cukup ”mereplika” diri dari satu inang protein, mampu berlipat ganda menghasilkan wabah berkepanjangan.   

Antara wabah dan wadah, di abad 21 kini, di dalam tubuh inangnya,  ia bermutasi di antara kesenyapan suara dan gemerlap ingar bingar lampu-lampu gedung pencakar langit, di antara migrasi tubuh manusia dan hilir mudik transportasi super  jet,  di antara keheningan rumah-rumah ibadah dan dentuman musik diskotik, di antara kaki-kaki penjual pedagang kali lima hingga ruangan dingin pejabat negara.

Ia hidup dan bertahan di antara gerak super cepat peradaban, mati atau tidak,  selama ia mendiami satu inang, toh ia memiliki kemampuan bertahan yang spektakuler, jauh di ujung mata peradaban.  Tepat jika ia dikatakan oleh para ahli virologi sebagai makhluk ”organisme di ujung kehidupan”.  Sesuatu yang jauh di belakang kehidupan manusia. Ada, tapi tidak sama sekali diketahui pasti.

Syahdan, jika  ratusan juta tahun lalu  hewan-hewan raksasa punah karena benda-benda berukuran besar,  kelak dan mungkin kini, umat manusia, bakal punah hanya karena ”sentuhan kecil” makhluk supermini ini.

===

Sudah dimuat di Dialektikareview.org dengan judul Dari Wabah ke Wadah Manusia dan Riwayat Kepunahannya