![]() |
Ilustrasi aktivitas pabrik. Salah satu kunci kemenangan kapitalisme Sumber gambar di sini |
Film fiksi ilmiah in Time (2011), saya kira, kisah fiksi
yang kurang lebih dekat dengan pengertian marxisme dalam melihat kancah
kehidupan masyarakat yang dikuasai modal.
Dalam film ini setiap manusia
terlahir membawa tanda jam digital dilengannya, dan berhenti menua di usia 25
tahun. Tanda jam digital yang tertanam di tiap lengan manusia menandai saldo
waktu yang sekaligus menjadi tanda usia mereka. Untuk mencegah kelebihan
penduduk, waktu menjadi mata uang dan alat untuk membeli barang mewah dan
keperluan lainnya.
Film in Time awalnya berjudul i’m.mortal
untuk mengesankan bahwa cita-cita setiap orang dalam hidup adalah keabadian.
Meski demikian dalam in Time
keabadian itu bukan merupakan dunia metafisis pasca kematian, melainkan suatu
eksistensi berbasis materil yang ditandai dari kepemilikan saldo waktu tanpa
batas.
Coba bayangkan jika saldo ATM Anda
tertulis angka 9999.9999. 9999. 9999. 9999…, yang berarti merupakan angka tak
terhingga yang tidak akan habis dipakai untuk membeli apa saja. Dalam in
Time seseorang bisa hidup abadi jika memiliki quota waktu tak terbatas, sekaligus
bisa melakukan apa saja atas waktu melimpah yang dimiliki.
Kapitalisme
waktu: si Miskin vs. si Kaya
Dalam dunia in Time kehidupan masyarakat terbelah atas penguasaan kapital berupa
saldo waktu. Ibarat uang, penguasaan politis atasnya membuat masyarakat
tersegregasi menjadi dua kubu tak berimbang berupa kaum kaya dan kaum miskin.
Kaum kaya ditandai oleh kemampuan
mereka yang dapat mengakses apa saja dari saldo waktu mereka yang tak terbatas. Sementara
bagi si miskin, saldo waktu yang terbatas membuat mereka mesti perhitungan
menggunakannya saat bertransaksi.
Bagi si miskin, ia diwajibkan mesti
”berburu waktu” demi mempertahankan eksistensinya. Waktu, seperti yang
dibayangkan setiap orang demikian berharga. Jika ada adagium waktu adalah uang,
dalam in Time lebih dalam lagi
maknanya: waktu adalah nyawa.
Dunia kehidupan yang berbasis
pertukaran waktu ini juga mewujud ke dalam lingkungan tempat tinggal. In Time memeragakan kehidupan kelas elite waktu dari kluster pemukiman yang indah, teratur, dan aman. Sementara di
sepanjang sisi area itu terdapat kehidupan masyarakat kelas dua yang serba
terancam dan nyaris bangkrut akibat tingkat keamanan yang minim.
Jelas kelihatan, jika selama ini
penguasaan atas aset dan modal dinyatakan melalui kekayaan atas uang, dalam in Time jika dapat diterima,
memperlihatkan suatu pengertian lain menyangkut kapitalisme. Selama ini dalam
kajian kritik ideologi, kapitalisme senantiasa dilihat sebagai kekuatan ekonomi
politik yang bergerak memonopoli alat produksi dan tenaga kelas pekerja.
Melalui film ini, kapitalisme
mewujud menjadi kekuatan produksi yang menguasai waktu sebagai kekuatan materialnya.
Dengan kata lain, alat kekayaan yang selama ini disandarkan kepada modal dan
aset-aset ekonomi, tidak ditemukan dalam film ini, yang justru memberikan suatu
penafsiran berbeda mengenai waktu sebagai wahana penghisapan umat manusia.
Itu artinya, dilihat dari sisi ini,
kapitalisme bukan semata-mata bergerak dalam rangka mengakumulasi modal, namun
juga ikut mengakumulasi waktu yang hakikatnya inheren dalam gerak perputaran
modalnya.
Akumulasi atas waktu ini, diduga
kuat mengimplikasikan munculnya kelas penikmat waktu luang (the leisure
class) yang memiliki peluang, dan kemerdekaan yang lebih dari cukup saat
menikmati waktunya. Dan di satu sisi, kelas ini dengan arogan menindas kaum
miskin yang menggunakan waktu yang serba terbatas, saat mengakses kebutuhan
pokoknya yang serba terbatas pula.
Keberlimpahan
waktu senggang
Dalam in Time saldo waktu memiliki dua pengertian, selain menjadi penanda
sampai kapan orang dapat terus hidup. Pertama sebagai saldo, kredit waktu
setiap orang menjadi alat ukur bagi kemampuan mengakses kebutuhan yang
ditransaksikan melalui mekanisme pertukaran waktu sebagai alat tukarnya.
Dalam hal ini, uang, alat tukar
yang kerap dijumpai untuk melakukan transaksi jual beli, tidak berlaku kecuali
kredit waktu sebagai saldonya. Melalui model transaksi semacam ini, waktu
adalah segalanya.
Kedua, waktu bagi setiap orang juga
menjadi tanda eksistensi kehidupannya. Dalam arti ini, ia juga bertindak
sebagai durasi kehidupan, yang bagi setiap orang berbeda-beda. Perbedaan ini
selain ditentukan oleh aset waktu turun temurun, juga ditentukan melalui
interaksi pertukaran sehari-hari, entah melalui transasksi ekonomi, atau
pemberian cuma-cuma dari kebaikan orang lain.
Dua pengertian atas waktu ini, pada
kenyataannya memiliki irisan di dalam kenyataan hari ini mengenai masyarakat
kelas atas yang keberlimpahan modal. Bukan saja sebagaimana modal yang bisa
membuka peluang penguasaan di dalam kehidupan ekonomi, waktu dalam in Time, juga berimplikasi kepada
keberlimpahan waktu senggang.
Itu artinya, semakin seseorang
memiliki banyak modal/waktu, semakin besar peluangnya untuk menikmati waktu
senggang yang menjadi wahana leyeh-leyeh. Di waktu yang bersamaan, karena
keberlimpahan modal/waktu, membuat kelas kaya tidak mesti ambil bagian dalam
aktivitas produksi, yang membutuhkan tenaga dan pikirannya untuk memperjuangkan
kehidupan mereka yang serba tak terbatas.
Secara budaya dan pendidikan,
keberlimpahan waktu senggang membuat kesenjangan begitu jauh antara kelas kaya
dan kelas miskin. Kelas kaya sebagai penikmat waktu senggang mampu
mengkompensasikan waktu luangnya ke wilayah-wilayah kehidupan sekunder yang
berhubungan dengan kebiasaan rekreatif tanpa ada beban politis sama sekali.
Di lain waktu, keberlimpahan waktu
yang ada dapat dipertukarkan dengan kegiatan produktif demi peningkatan
kualitas kejiwaan dan pikirannya, semisal les piano, les bahasa, megikuti
kelas-kelas kebudayaan, pengajian, atau sekaligus memanfaatkan waktunya untuk
berbelanja dan menonton di pusat perbelanjaan.
Menurut Thorstein Veblen, yang
mempopulerkan istilah the leisure class dalam The Theory
of The Leisure Class, aktivitas sehari-hari the leisure class adalah menikmati hidup dengan cara mengonsumsi
waktu luang.
Waktunya tiada lain ”dikorbankan”
hanya untuk kenikmatan bagi diri atau kelompoknya. Veblen menyebut aktivitas
tersebut sebagai tindakan ”konsumsi yang mencolok” (conspicuous consumption). Conspicious
consumption diartikannya tidak memiliki tujuan apa-apa selain untuk melanggengkan
kesenjangan dan hierarki sosial.
Bagaimana dengan si miskin? Waktu
bagi si miskin malah berfungsi kebalikan dengan kelas si kaya. Jangankan bisa
dipakai demi pemenuhan kebutuhan sekunder, seperti dipakai berjalan-jalan atau
arisan, justru ia habis dimanfaatkan untuk mempertahankan kebutuhan primernya ke
dalam aktivitas kerja yang kian hari menjadi sulit dipenuhi lantaran digerogoti
oleh kerakusan kaum kaya.
Kutukan
keabadian
Banyak orang mengira, keabadian
adalah hal yang menyenangkan dan patut untuk diusahakan. Dalam kenyataan
sehari-sehari, segala upaya melalui pendekatan medis, ekonomi, budaya, dan agama,
berpacu menarasikan suatu usaha agar orang dapat hidup abadi, atau setidaknya
dapat berumur panjang. Keadaan ini seolah-olah ingin menjamin hasrat terdalam
manusia demi mencari kehidupan abadi.
Berbeda dari pernyataan di atas, in Time justru membalik perkiraan ini.
Keabadian bukan anugerah yang menyenangkan, tapi malah menjadi kutukan.
Diceritakan pasca Will Salas (Justin
Timberlake), seorang pemuda yang lahir dari keluarga kelas bawah, bertemu Hanry
Hamilton (Matthew Bomer), seorang miliarder waktu yang memberikannya waktu
melimpah karena telah bosan hidup abadi, mengalami banyak masalah.
Belum lama memiliki quota waktu
seabad, Salas ditetapkan sebagai buronan oleh Timekeeper, sejenis FBI, karena
diduga terlibat pembunuhan miliarder di kotanya.
Berawal dari sinilah, kehidupan
abadi Salas mengalami banyak masalah. Ia dikejar Timekeeper dan juga kelompok
perompak waktu yang mengincar orang-orang kaya waktu.
Narasi kehidupan abadi Salas
bukannya mengandung kebaikan-kebaikan bagi nasibnya. Justru waktu melimpah
yang dimilikinya menjerumuskannya ke dalam kehidupan yang serba mawas diri, persis
seperti orang super kaya yang setiap hari sibuk memikirkan keamanan harta
bendanya.
Sama seperti Hanry Hamilton, si
jutawan waktu yang telah bosan hidup abadi, keabadian seharusnya menempatkan
seseorang kepada tingkat yang lebih hakiki, bukan malah membuat seseorang
mengalami depresi dan gangguan orientasi hidup.
Nampak jelas di sini, keabadian,
jika ia memang betul-betul dapat dibuktikan di alam kehidupan ini, akan
mendatangkan kemungkinan kehidupan yang jauh lebih berisiko dari kehidupan saat
ini.
Dengan kata lain, sekalipun itu itu
mungkin, hidup dengan umur tak terbatas berpeluang melahirkan sosok semacam
Logan ”Wolvrine” dalam kisah X-Men, yang sepanjang usianya tersiksa gangguan
pengalaman-pengalaman traumatis dari kehidupan masa lalunya.
Zaman dromologi
Apakah film ini juga berbicara
mengenai dromologi? Dromologi adalah ilmu kecepatan. Dalam lanskap pemikiran
dromologi, segala sesuatu mesti dipresentasikan secepat mungkin. Makanan cepat
saji, hitung cepat, flash sale, kecepatan lalu lintas, cepat nikah, cepat lulus
kuliah, rapid test, merupakan fenomena-fenomena berpengalaman yang memanfaatkan
waktu serba cepat.
Ada dua kemungkinan mengapa ini
bisa terjadi. Pertama, kontur masyarakat kapitistik menekankan efisiensi
sebagai modus pengalaman yang membuat masyarakat mesti memanfaatkan waktu
seefesien mungkin. Ini ketika ditarik ke dalam mekanisme produksi masyarakat
kapitalisme, seluruh pemaanfaatan atas waktu mesti disingkronkan dengan gerak
perputaran modal.
Sekolah mesti cepat karena di ranah
kerja, tenaga buruh segera diperlukan. Tubuh mesti cepat sehat karena di pabrik-pabrik
kekurangan tenaga kerja. Pajak mesti cepat dibayar karena negara defisit
pemasukan. Handphone harus segera diganti karena produk menumpuk di
gudang-gudang. Berbelanja mesti cepat karena modal mesti terus bergerak.
Kedua, faktor efektivitas. Faktor
ini berhubungan langsung dengan efesiensi waktu dan tenaga yang diperlukan bagi
aktivitas kerja produksi. Artinya, akan sia-sia jika penggunaan waktu yang
serba cepat, tetapi tidak tepat sasaran dari tujuan dikeluarkannya waktu
bersangkutan.
Di dalam ranah kerja, buruh yang cepat menghasilkan suatu produk belum terhitung menguntungkan jika tidak efektif mencapai target. Itulah sebab agar efektif, buruh mesti memiliki skill yang terlatih melalui pendidikan atau pelatihan.
Di dalam ranah kerja, buruh yang cepat menghasilkan suatu produk belum terhitung menguntungkan jika tidak efektif mencapai target. Itulah sebab agar efektif, buruh mesti memiliki skill yang terlatih melalui pendidikan atau pelatihan.
Di luar dari itu, dua prinsip kunci
kapitalisme ini juga menjadi paradigma yang jauh lebih luas sampai menyasar
bidang kehidupan lain. Hal ini dikarenakan universalisasi kapitalisme itu
sendiri yang banyak menguasai sendi-sendi kehidupan. Di model masyarakat
kapitalistik inilah waktu menjadi serba mengalir mengimplikasikan segala mesti bersicepat memburu dan diburu waktu.
Meski demikian, tidak semua kelas dapat
ditundukkan melalui prinsip-prinsip di atas. Kelas kaya, dengan segala akses
dan modalnya yang tak terbatas, tanpa pamrih menikmati privilege atas semua
itu.
Lalu, jika bisa disebut pertanyaan
utama, lantas bagaimana si kaya mati? Agak terdengar retoris, meski demikian,
akan lebih mudah memberikan suatu gambaran dari pertanyaan sebaliknya,
bagaimana cara si miskin mati?