![]() |
Poster Surrogates (2009)
Sutradara: Jonathan Mostow
Pemain: Bruce Willis
Radha Mitchell
Rosamund Pike
Boris Kodjoe
Tanggal rilis: 24 September 2009
|
LIMBO. Setelah hampir sebulan kita dipukul mundur oleh Covid-19 sampai ke barak terakhir, nampaknya seluruh ruangan rumah jadi semakin intens membentuk pemahaman ulang mengenai apa arti rumah sebenarnya.
Rumah kian menjadi lebih diskursif
karena akhirnya saya bisa memahami rumah bukan sekadar tempat mukim belaka.
Bagi kelas pekerja, inilah saatnya untuk mengetahui lebih jauh apa sebenarnya
fungsi rumah alih-alih melihatnya sebagai unit penunjang bagi pergerakan laba
oleh sistem global kapitalisme.
Selama masa swakarantina,
rasa-rasanya banyak kegiatan produktif bisa lebih bebas dilakukan tanpa
khawatir disituasikan oleh logika kerja.
Di pagi hari saya bisa leluasa
menghabiskan banyak waktu bersama Banu mengajaknya menikmati sinar matahari
sebelum membawanya ke belakang untuk dimandikan. Saya bisa lebih banyak waktu bermain balon, membiarkan
ia membongkar tumpukan mainannya, dan tentu sesekali membebaskannya membongkar
buku-buku di almari yang menjadi kesenangannya.
Menjelang siang, Banu akan mulai
kelelahan dan di waktu inilah ia mulai merengek meminta menyusu kepada ibunya.
Bermain bersama Banu dari pagi
hingga sore, secara tidak sadar akhirnya ikut membuatnya dapat mengoleksi
sejumlah kata-kata baru, yang dengan gaya tertentu akan ia ucapkan dari mulut
kecilnya. Semakin banyak bermain bersama Banu semakin baik baginya untuk
merangsang ia dapat mengenal kosa kara baru, tentu dengan mengajaknya berbicara
seolah-olah seperti ia memahaminya.
Di lain waktu saya bisa memanfatkan
beberapa waktu untuk membaca buku-buku yang selama ini hanya ditinggalkan
setelah dibaca pengantarnya saja. Atau, mengepel seisi rumah setelah sebelumnya
disapu tanpa meninggalkan seruangan yang terlewati.
Melihat beberapa teman dosen yang
memosting kegiatan belajar mengajar melalui wahana maya, entah jika ia sedang
duduk sembari menikmati pisang goreng membuat saya bertanya-tanya apakah ruang
kelas masih dapat dipertahankan sebagai medium transformasi pengetahuan?
Dalam proses itu mahasiswa juga
bisa berada di mana saja, dan bisa dalam keadaan apa saja, tapi ia masih bisa
disebut belajar atau hadir sebagai mahasiswa selama ia terhubung real time via aplikasi yang digunakan
untuk itu.
Belajar dengan gaya seperti ini,
pada kenyataannya akan mengubah sudut pandang mengenai apa manfaat
gedung-gedung kelas kampus.
Apakah pasca pandemi, suasana belajar masih akan
ikut bertahan seperti model pertemuan tatap muka selama ini, atau ada
kemungkinan berubah mengikuti alternatif kelas semacam suguhan wahana maya itu?
Lebih jauh lagi, apakah mungkin
akan ada yang namanya kampus virtual? Suatu wahana belajar pascamodern yang
digelar secara fleksibel dan dengan tenaga pengajar macam-macam tanpa mesti
dilegitimasi oleh negara bahwa ia adalah abdi negara?
Mungkinkah semua itu dilakukan dari
rumah-rumah dengan perantaraan institusi maya?
Mungkinkah birokrasi yang ribet itu
dapat dialihwahanakan ke dalam algoritma tertentu sehingga seseorang disebut
berkantor cukup terhubung dengan lini maya internet?
Jika ada pasar maya, bisakah ada
rumah sakit maya? Perpustakaan maya? Rumah peribadatan maya?
Bisakah kehidupan ini menjadi serba
maya?
Di titik ini saya teringat film
fiksi ilmiah dibintangi Bruce Willis berjudul Surrogates (2009) di mana setiap
manusia beraktivitas diperantai semacam robot replika dirinya.
Dalam film ini, dunia kenyataan
tidak benar-benar dialami, oleh sebab si pemakai robot cukup tidur-tiduran
dalam suatu alat panel yang menghubungkannya dengan replika dirinya, sehingga
jika ia ke salon yang dicukur sebenarnya adalah rambut serat nilon robot
replika dirinya.
Dengan menggunakan surrogates siapa
pun bisa melakukan apa saja seperti Anda benar-benar melakukannya. Selain ke
salon, Anda bisa berjalan-jalan ke mall, ke diskotik, ngerumpi di warung kopi,
membaca buku di perpustakaan, bahkan beribadah cukup menggunakan robot replika
yang Anda kemudikan jauh dari rumah Anda.
Semua aktivitas ini walaupun yang
Anda alami bukanlah kenyataan itu sendiri, tapi tetap saja secara tujuan apa
yang Anda inginkan dapat tercapai.
Diceritakan dalam film, bahkan jika
Anda mau dan memiliki banyak uang, Anda bisa mengganti surrogates dengan
identitas yang berbeda-beda sama seperti saat Anda membuat akun Facebook
menggunakan nama samaran yang Anda inginkan.
Ini persis seperti saat ini, ketika
banyak orang karena malu atau faktor identitas lainnya, banyak menggunakan
identitas maya (palsu) selama ia hidup dalam dunia virtual.
Orang dengan modus eksistensi
seperti ini, umumnya lebih menyukai kehidupan maya daripada kehidupan nyata
sehari-hari. Mereka lebih memilih kehidupan simulakrum penuh fantasi, sensasi,
dan imitasi, ketimbang menghadapi persoalan kongkret dunia nyata.
Cara hidup seperti ini nyaris
menyerupai kehidupan ”para pemimpi” dalam film Inception (2010), yang
mengkonsumsi ramuan kimia agar dapat tidur selamanya dan hidup di dalam alam
bawah sadarnya berupa mimpi fantasi.
Di sana berdasarkan kehidupan versi
“para pemimpi” tidak ada namanya penderitaan, kekecewaan, kesakitan,
kemiskinan...
Di dunia mimpi, ”para pemimpi” bisa
membangun kehidupannya sama mudahnya seperti ketika ia ingin mengimajinasikan
sesuatu.
Satu-satunya yang mesti dihindari ”para pemimpi” dalam dunia mimpi adalah ”limbo” yakni dunia bawah sadar yang menyerupai blackhole yang
tidak terkontrol dan tak terbatas sehingga mampu menjebak siapa saja
selama-lama di dalamnya.
Dunia modern, adalah dunia limbo.
Setelah di penghujung abad 19 mereka menghancurkan mitos-mitos, nampaknya dunia
modern saat ini belum sepenuhnya bebas darinya.
Sains, ideologi, internet, dan juga
agama adalah semesta abstrak yang hari ini banyak mempengaruhi umat manusia dan
berpeluang menjadi mitos baru.
Besar kemungkinan semua sistem
abstrak itu bakal manjadi limbo jika manusia mati-matian melihatnya hanya
sebagai kenyataan satu-satunya. Satu-satunya kebenaran tunggal.
Belakangan ini, siapa yang
menyangkal jika semua tindakan pengrusakan berupa pencemaran alam, penghisapan
tenaga manusia, perang bangsa-bangsa, bom bunuh diri, dan sejumlah masalah
global lainnya lahir dari sejenis fantasi.
Dari semacam mimpi yang diberikan
bobot ilmiah, dalil, dan pekik kerumunan massa.