![]() |
Ilustrasi grafis Corona.
Corona berasal dari
bahasa Latin yang berarti mahkota
|
SAMPAI saat ini, hanya dua ideologi
pemikiran yang berhasil menciptakan revolusi sosial politik di dunia:
Komunisme, dan Syiah 12 Imam. Sekarang, dunia sedang mengalami devaluasi
besar-besaran.
Tatanan ekonomi dunia terancam resesi, percaturan politik ambruk, interaksi masyarakat macet, wahana kebudayaan dan pendidikan seret. Suatu disrupsi sedang mengancam kemapanan peradaban umat manusia.
Pelan namun pasti, disrupsi
berskala global ini digerakkan paksa suatu revolusi sunyi bernama… SARS-COV-2,
yang menyebabkan pandemi Covid-19.
Dari namanya, Covid-19 bukan
istilah yang lahir dari abad 19, seperti komunisme, apalagi Syiah yang sudah
ada jauh sebelumnya. Ia revolusi ala abad 21, lahir di tengah-tengah menguatnya
konservatisme kanan, dan terberainya ideologi kiri tandingannya.
Itu sebab tidak seperti pemikiran yang
berasal dari abad 19, Covid-19 lebih up
to date dan lebih milenial dari tonggak-tonggak pemikiran revolusioner
lawas.
Jika ada tesis matinya ideologi, hal
ini tidak berlaku bagi Covid-19. Covid-19 melampaui ideologi. Ia dunia pasca
ideologi. Tidak berbasis kelas apalagi gender. Gerakan Covid-19 menerobos sekat
kebangsaan, negara, kelas ekonomi, ras, dan agama.
Jika ada ungkapan Samuel Huntington
berupa benturan antara peradaban, Covid-19 malah keluar dari basis konteks
semacam itu. Revolusi ala Covid-19 malah membuat peradaban bangsa-bangsa saling
mengenyampingkan kepentingan negara, regional, atau kongsi politiknya. Covid-19
malah membuat Timur dan Barat jadi keok, dan bersatu membuatnya jadi musuh
bersama.
Covid-19 tidak pandang bulu
menerjang korbannya. Barang siapa pasang badan seketika ia dicap
kontrarevolusioner dan, tunggu saja! Tidak lebih 14 hari operasi serbu
senyapnya bikin korban berjatuhan.
Covid-19 banyak diberitakan muncul
kali pertama di negeri Tiongkok. Sebelum RRC menguasai perekenomian dunia,
Covid-19 lebih awal menjalankan operasinya di kota Wuhan pusat industrialisasi
negeri Tirai Bambu itu. Sebelum ramalan-ramalan memprediksi Cina bakal memimpin
dunia, semenjak itu Covid-19 menyadari di mana ia mesti melakukan serbuan
vitalnya.
Tidak dengan senjata, tidak ada
pamflet peringatan, barisan massa, apalagi pekik suara toa. Bukan di alun-alun
kota, jalan raya, apalagi di dunia virtual. Selama 24 jam revolusi senyap Covid-19
menjalar bak akar beringin. Di Cina memakan waktu tidak lebih tiga bulan
membuat kehancuran vital. Ribuan korban dipukul masuk rumah rawat inap. Cina
kolaps.
Setelah berhasil melumpuhkan Cina,
Covid-19 mengekspor revolusinya ke negeri-negeri tetangga. Seolah-olah belajar
dari revolusi Kuba, ekspor revolusi Covid-19 berhasil menembus palang pintu
negara-negara lain.
Ke wilayah barat ia menyeberang
lautan ke Korea Selatan sebelum masuk ke negeri matahari terbit, Jepang. Tanpa
publikasi dan dokumen tertulis, kesenyapan Covid-19 menarik garis panjangnya
sampai ke Italia. Okupasi tak terduga ini bahkan membuat penyelenggaraan sepak
bola di negeri Pizza berhenti.
Ke sebelah timur, pergerakan Covid-19
memiliki banyak alternatif. Sebelum tiba di negeri para Mullah, Iran, ia bisa
menduduki negara-negara pecahan Uni Soviet yang belum berumur 50 tahun. Ada
Kirgistan, Turkmeinistan, naik ke utara menuju Uzbezkistan, dan terus ke
Kazakhstan sebelum tiba di induk negeri Komunisme pernah berjaya.
Iran adalah palang pintu bagi revolusi
Covid-19 menuju negeri-negeri sabana luas. Dari negeri pengikut Syiah terbesar
ini, dan seolah-olah ingin mengkooptasi revolusi Islam Iran 1979, tidak memakan
waktu lama bagi ekspor impor revolusi Covid-19 menancapkan pengaruhnya di
negeri Arab.
Covid-19 spring, walaupun tidak
menimbulkan korban banyak, tapi lumayan efektif menggelindingkan bolanya di
negeri Arab. Terbukti, misalnya, Arab Saudi, mesti mengisolasi dirinya dari
interaksi global dengan menutup Mekkah dari penyelenggaraan haji dan umrah.
Setelah menyasar bangsa-bangsa
Asia, dan menjadikan Italia sebagai basis terbesar revolusinya, di Eropa, Covid-19
bermunculan bak cendawan di musim hujan. Kesenyapannya berkelit dari
intel-intel dan rezim medis internasional, berhasil tiba tanpa jejak di Austria,
Azerbaijan, Belarus, Belgia, Kroasia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis,
Georgia, Jerman, Yunani, Lithuania, Luxemburg, Belanda, Makedonia Utara,
Norwegia, Rumania, Rusia, San Marino, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Irlandia.
Bagaimana dengan benua Amerika? Nama negara Amerika Serikat muncul sebagai
sarang pandemi di luar Eropa dan Asia. Di negeri Paman Sam ini, revolusi Covid-19
mendulang kemenangan gemilang. Grafik korban di negeri kapitalis ini terus
meningkat mengungguli Cina.
Sampai sekarang, Covid-19 masih
terus dianalisis pergerakannya. Epidemolog masih berkutat mencari tahu cara
membekuk pergerakannya. Farmakolog dibuat siaga 24 mencari rumusan anti
vaksinnya. Para dokter bertaruh nyawa berjibaku menyelamatkan pasien. Ekonom,
budayawan, agamawan, dan politisi, tidak satu pun di antaranya dibuat santai
demi merumuskan suatu pola kebiasaan masyarakat demi mengurung pergerakan
dinamis virus ini.
Berkat daya dobraknya yang seketika
dan sistemik, membuat setiap keputusan strategis mesti diputuskan holistik.
Salah ambil keputusan di satu bidang bakal berdampak di bidang lain.
Covid-19 saking revolusionernya,
tidak saja menggebrak infrakstruktur vital berupa ekonomi, dan politik negara
bangsa, tapi melangkah jauh meneror tokoh-tokoh pentingnya. Pangeran Alberti II
dari Monako menjadi pemimpin kerajaan pertama yang positif Covid-19. Di Amerika
Serikat, ada Rand Paul menjadi senator pertama di AS yang terkena virus corona.
Dua wakil menteri kesehatan Iran
dan Inggris, Iraj Harir-chi dan Nadine Dorries, dan wakil presiden Iran Masoumeh
Ebtekar, juga menjadi korban serangan senyap Covid-19.
Tercatat pula perdana menteri
Jepang Shinzo Abe positif corona setelah berkeringat batuk-batuk, dan terlihat
menyeka cairan liur yang keluar dari mulutnya saat pidato di Gedung Parlemen Jepang
pada Selasa, 3 Maret 2020 lalu.
Masih ada? Keterangan resmi yang
diberikan Istana Buckingham mengumumkan pada 25 Maret 2020, Putra Ratu
Elizabeth II, Pangeran Charles, telah dikonfirmasi positif corona Covid-19.
Di luar dari arena pemerintahan,
tercatat nama-nama beken seperti aktor Hollywood Tom Hanks, pemain belakang
Juventus Daniele Rugani, ujung tombak Fiorentina Patrick Cutrone, dan pelatih
Arsenal Mikel Arteta, beberapa nama yang tercatat dari sekian banyak
olahragawan terjangkit Covid-19.
Di Indonesia, Covid-19 juga banyak
menyerang benteng pertahanan di kubu tim medis. Seperti dikutip dari CNBC
Indonesia, Senin (23/3) pekan lalu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
merilis 6 dokter yang disebutnya menjadi korban virus corona. Masing-masing
tercatat: dr Hadio Ali SpS, IDI Cabang Jakarta Selatan, dr Djoko Judodjoko,
SpB, IDI Cabaing Kota Bogor, dr Laurentius P, SpKJ, IDI Cabang Jakarta Timur,
dr Adi Mirsaputra SpTHT, IDI Cabang Kota Bekasi, dr Ucok Martin SpP, IDI Cabang
Medan, dr Toni Daniel Silitonga, IDI Cabang Bandung Barat.
Revolusi ala Covid-19 mengerikan.
Ia berpotensi menumbangkan rezim pasar ekstraktif sekaligus mengancam tatanan
tandingannya berupa menyerang negara-negara nonkapitalistik. Dia mengancam
peradaban berhenti bergerak dan menyudutkannya sampai ke skala terkecil, yakni
rumah-rumah. Menghentikan roda ekonomi, transformasi pengetahuan, dan
mengindividualisasi peribadatan keagamaan.
Revolusi Covid-19, hingga detik ini
masih menghantui langit-langit negara bangsa. Ia ada dan berlipat ganda!
====
Telah tayang di Dialektikareview.org