![]() |
Lukisan The Scream karya Edward Munch.
Sumber:
wikipedia.org
|
TAHUN 1883 perut gunung Krakatau
meledakkan lahar panas ke udara. Dentumannya terdengar sampai di Colombo dan
Sri Lanka, Afrika.
Seketika langit ditutupi debu panas
berwarna merah menyala. Binatang-binatang berlarian tak karuan, apalagi manusia
di bawahnya, tunggang langgang mencari perlindungan kesana kemari.
Efek 27 kali ledakan bom atom itu berefek
tsunami yang memusnahkan 165 desa, dan para nelayan di Afrika mengenang
peristiwa itu dengan mayat-mayat yang mengapung di lautan berhari-hari
setelahnya.
Tragedi mencengangkan itu tidak
saja meluluhlantakkan Nusantara, tapi juga membuat masyarakat dunia terutama
benua Eropa ketakutan.
Langit dan matahari sekonyong-konyong
berubah menjadi berwarna merah gelap. Saking dahsyatnya ledakan itu, efek debu
ledakkan Krakatau bertahan di atas langit Eropa sampai berbulan-bulan lamanya.
Fenomena alam ini mengilhami pelukis
Norwegia Edvard Munch melahirkan lukisannya yang legendaris: The Scream (jeritan), lukisan dengan
tokoh seseorang yang tercengang dengan wajah menjerit ketakutan sementara di
belakangnya menggelantung cakrawala berwarna merah darah.
"Saya berjalan menyusuri jalan
setapak bersama dua sahabat. Matahari bersinar, tiba-tiba langit berubah
menjadi merah darah. Saya berhenti, kelelahan dan bersandar pada sebuah pagar.
Di atas fjord dan kota yang biru kehitaman tampak darah dan lidah-lidah api,”
ungkap Munch, dikutip dari wikipedia, menerangkan keadaan yang mengilhami The Scream dalam buku hariannya.
The
Scream jika dilihat sepintas nampak ganjil berkat goresan kuas yang kelihatan sembrono memainkan warna-warna gelap secara horizontal. Si manusia dilukiskan
berkepala botak dengan muka seperti melongo. Walaupun demikian, lukisan ini menjadi
tonggak pendekatan ekpresionis dalam seni lukis.
Sebagian ahli menafsirkan jeritan
tokoh lukisan ini bercerita tentang kecemasan manusia modern dalam menghadapi angst (kecemasan eksistensial), yang
disimbolkan Munch ke dalam langit Norwegia berwarna merah.
Jadi muka menjerit yang seolah-olah
kehilangan kata-kata itu merupakan simbol universal bagaimana manusia senantiasa
dirundung perasaan ketakutan terhadap situasi mahadahsyat yang mencemaskan.
Suatu keadaan di luar kendali perhitungan, dan di luar akal sehat manusia.
Dalam pendakuan filsafat Martin Heidegger,
ketakutan (furcht) dan kecemasan (angst) merupakan dua suasana hati yang
demikian berbeda. Perbedaan ini secara ontologis ditentukan dari keberadaan
objeknya.
Ketakutan, walaupun dikatakan
Heidegger dapat mengguncang kesadaran dan pengalaman hidup seseorang, masih kurang
derajatnya dari kecemasan.
Ketakutan sering terjadi karena
objeknya ada, terlihat, dan jelas. Ketakutan terhadap ledakan gunung, misalnya,
sekalipun itu besar pengaruhnya, sangat berbeda dengan rasa cemas atas
ketidakpastian masa depan yang tidak dapat diamati, diprediksi, dan serba
mungkin.
Heidegger dalam Mistik
Kesehariannya Budi F. Hardiman, mengatakan kecemasan melampaui objek-objek
keseharian manusia yang ditengarai motif-motif praktis.
Kecemasan bukan persoalan pertautan
manusia dengan masalah sehari-hari, semisal defisit keuangan, kekuasaan
otoritarian, atau kehilangan pekerjaan, melainkan ketika manusia menemukan dan
menghadapi dirinya sendiri sebagai sumur anonimitas tanpa dasar.
Itu artinya, kecemasan berarti
perasaan yang lahir dari ”kenyataan” asing, dalam, dan jauh dari pusat eksistensi
manusia, yang sulit dikalkulasikan melalui hitung-hitungan matematis
sehari-hari.
Abad 21 disebut Harari sebagai masa
transisi besar-besaran dikarenakan keadaan-keadaan semisal perubahan iklim,
pemanasan global, perang antar bangsa, temuan genetika, masyarakat cyber,
senjata pemusnah massal, hingga penyakit, yang merupakan tantangan peradaban
saat ini, yang mesti dihadapi umat manusia.
Umat manusia setiap waktu diperhadapkan
kepada keadaan ketika insting bertahan hidupnya diuji oleh alam. Bukan saja
alam, temuan-temuan di bidang sains, teknologi informasi, dan kebudayaan, yang
telah digapai umat manusia juga menjadi batu ujian bagi kemampuan beradaptasinya.
Beberapa bulan terakhir, dunia
global dihentakkan oleh pandemi corona. Penyebarannya serba cepat tidak
mengenal bangsa, ras, agama, dan derajat. Di satu sisi, corona masih misteri.
Watak, ciri-ciri, dan vaksinnya masih terus dicari tahu.
Kemapanan tatanan ekonomi, keputusan-keputusan
politik, interaksi budaya, dan praktik agama seketika mengalami guncangan. Sekali
lagi umat manusia diperhadapkan kepada ketidakpastian.
Ini membuka lebar mata dunia, revolusi sunyi corona saat ini sedang mengevaluasi capaian-capaian peradaban umat manusia. Itu artinya, kemajuan peradaban manusia sedang dipertaruhkan seperti zaman sebelumnya.
Dalam tulisan terbaru Yuval Noah
Harari, yang diterjemahkan Siti Raisyah berjudul Dunia Setelah Virus Corona, tersirat mengenai perlawanan utama
manusia saat ini, selain menebak bagaimanakah kehidupan bakal berubah setelah
diporakkan corona, adalah bagaimana mengendalikan kecemasan itu sendiri.
Umat manusia saat ini cemas tentang
tatanan dunia seperti apa yang bakal mereka hadapi di masa akan datang. Corona
sekalipun merupakan masalah epidemi, berefek domino kepada keputusan-keputusan
politik, ekonomi, dan juga agama.
Ini berarti tatatanan kehidupan
yang selama ini dijalani bakal berubah seratus delapan puluh derajat di masa
akan datang. Keputusan-keputusan hari ini bakal menentukan kehidupan macam apa
setelah pandemi ini mereda.
Sebelum sampai ke tatanan baru itu,
hari ini saja kita sudah disuguhkan perubahan-perubahan yang menjadi transisi
besar-besaran ke suatu kemungkinan masa depan. ”Social distancing”, ”lockdown”,
”herd community”, ”sekolah online”, ”nilai tukar uang”, merupakan beberapa
istilah-istilah yang mereset ulang model kehidupan saat ini.
Berkat semua itu, interaksi sosial
kita belakang menjadi ganjil. Belum pernah ada dalam sejarah umat manusia,
hidup terpisah sama artinya bersolidaritas untuk sesama. Kita belakangan
dituntut berjarak untuk sesuatu yang bernama masyarakat.
Ini semacam kehidupan
individualisme yang janggal, demi dapat mempertahankan kehidupan komunalisme
yang menjadi ciri masyarakat kita.
Dalam situasi itu, ketika
komunalisme kita dipecah untuk hidup sendiri, di saat bersamaan kecemasan
semakin hari kian menumpuk. Kita didesak oleh suatu keadaan yang membatasi
”komunalisme” sebagai modal sosial ketika menghadapi bencana.
Tidak ada lagi pertemuan-pertemuan
ala komunitas yang menjadi kekuatan bersama saat anggota-anggotanya mengalami
masalah. Kapan semua ini berakhir? Sudah sejauh mana pekerjaan ilmuwan
menemukan vaksinnya? Sampai kapan masjid ditutup? Bagaimana kesiapan tenaga
medis? Infrastruktur rumah sakit? Sampai kapan korban berjatuhan? Pertanyaan
ini hanya diiringi kecemasan tanpa memberikan peluang secercah harapan.
Dampak revolusi senyap corona sampai
saat ini belum akan diketahui. Yang kita tahu sekarang hanyalah jumlah
kekalahan demi kekalahan, korban demi korban, yang semakin hari kian bertambah.
Sekarang ini ia sedang bekerja dan entah sampai kapan akan berhenti. Di keadaan
saat ini setiap informasi demikian berharga, walaupun kita diombangambingkan di
antara ”was-was”, ”takut”, ”khawatir”, ”ragu”, ”marah”, ”jengkel”…
Kita ketakutan. Kita cemas. Tapi
kita tahu, kita memiliki kekuatan, meski itu belum terlambat.