![]() |
Judul:
Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub
Penulis:
Claudio Orrego Vicuna
Penerjemah:
Ronny Agustinus
Penerbit:
Marjin Kiri
ISBN:
978-979-1260-82-4
Tebal:
68 halaman
|
“Barangsiapa sanggup membaca apa
yang ada di balik mata seseorang, atau membaca spektrum sinar mentari di
lembah, atau membaca bayang pertama di atas salju putih pegunungan, ia akan
bebas selamanya” (hal.66).
TIDAK seperti George Orwell melalui
alegori politiknya, yang menggunakan banyak hewan-hewan dalam Animal Farm. Fabel politik Claudio Orrego Vicuna ini cuman butuh satu hewan untuk menyampaikan
suasana atau gagasan mengenai kediktatoran kekuasaan politik.
Memang, dalam novelet 68 halaman
ini tidak ada satupun kata politik dituliskan untuk mencerminkan bahwa ini
karya berbicara fakta itu.
Tapi, jika pembaca mempertimbangkan
faktor biografis, dan melihat novelet ini dari bayang-bayang
penulisnya, maka tersirat dengan cara samar-samar bahwa karya ini juga implisit
berbicara banyak berkaitan dengan kekuasaan.
Akan sangat berbeda ketika
kebebasan sebagai esensi keutamaan manusia dibincangkan dalam spektrum politik
melalui karya sastra. Apalagi jika itu dimasukkan ke dalam kehidupan binatang
yang sarat perbedaan dengan manusia.
Dalam rangka itu, Claudio Orrego
Vicuna hanya membutuhkan satu saja penanda untuk membenarkan hal ini: kandang
binatang.
Apa boleh dikata, sepertinya hanya
kandang,
ilustrasi paling pas untuk menggambarkan makna kebebasan. Bukankah kehidupan manusia juga demikian? Hidup dalam kandang yang ia ciptakan sendiri sambil sembunyi-sembunyi mengharapkan kebebasan?
ilustrasi paling pas untuk menggambarkan makna kebebasan. Bukankah kehidupan manusia juga demikian? Hidup dalam kandang yang ia ciptakan sendiri sambil sembunyi-sembunyi mengharapkan kebebasan?
Dan, dari dunia kandang inilah, sekotak
besi jeruji seekor beruang kutub, Claudio membentangkan sejumlah paradoks
kemanusiaan, terutama jika itu menyangkut hal ihwal yang dialami manusia.
Ya, novelet ini bercerita tentang
seekor beruang yang diberi nama Baltazar, yang namanya diberikan cuma-cuma oleh
penjaga kandang. Nama itu diambil dari nama seorang majusi berkulit hitam kelak
ditahbis menjadi santo, yang mengunjungi Yesus beberapa saat setelah ia lahir.
Satu-satunya yang menghubungkan
Baltazar dengan namanya adalah kulit bulunya yang berlahan berubah menjadi
lebih gelap setelah ia lama tinggal di dalam kandang di sebuah kawasan bernama
Valle Central, Cile.
Baltazar awalnya berbulu putih
bersih seputih pasir es Artik tempat ia berasal.
Suatu pagi, seperti dikisahkan
Baltazar sendiri, tiba mahkluk aneh dan jahat yang datang melalui suatu
ekspedisi di Artik, suatu kawasan sabana es di daerah kutub. Mereka datang demi
satu misi yang kelak diketahui dilakukan untuk menghibur orang-orang dengan
cara memamerkan hewan-hewan eksotik di suatu tempat yang disebut kebun binatang.
”Mereka memecah keheningan dengan
seruan-seruan mereka. Ledakan mereka dibalas dengan gema yang mengerikan dari
es. Segala yang ada pada mereka terlihat di mata kami sebagai penjelmaan iblis”
(hal.5).
Itulah kontradiktifnya manusia, yang
disebut Baltazar mahkluk aneh penjelmaan iblis. Demi menghibur banyak orang
melalui kebun binatang, mereka lalui dengan cara yang ganjil. Meledakkan
gunung-gunung es dan menangkap hewan liar yang hidup tentram di habitatnya.
Perlu diterangkan di sini kata
liar, mengingat seluruh kisah dalam novelet ini lahir dari kenang-kenangan yang
diceritakan Baltazar sendiri. Ya, Baltzarlah sang narator dalam kisah ini. Beruang
yang dapat berbicara dan menceritakan kisahnya dari dalam jeruji kandangnya.
Peradaban seringkali
mengonseptualisasikan kehidupan di luar dari dirinya sebagai kehidupan liar. Peradaban
yang juga berarti telah beradabnya pikiran dan perbuatan manusia, utamanya
mendikotomikan dua dunia dari ukuran dirinya sendiri.
Itulah sebabnya, ketika bangsa
Barat melalukan ekspedisi ke tanah jauh, yang belakangan disebut dunia Timur,
dan melihat pola hidup yang berbeda dari kebiasaan masyarakat Eropa, kehidupan
macam itu disebut tidak beradab. Kehidupan tanpa konsensus, dan lebih mirip
kehidupan binatang.
Ini persis seperti adegan pasukan
Kaizar Hirohito dalam film The Last Samurai, yang berdiri di atas suatu bukit,
dan memandang kehidupan masyarakat tradisional Jepang di bawahnya, yang
mengatakan akan kita bangun peradaban di atas tanah ini melalui rel kereta api.
Saat itu atas nama Barat, sang
jenderal sedang mengimajinasikan negerinya akan tumbuh sama seperti saat Barat
membangun kehidupannya. Atas nama, apa yang diistilahkan secara akademik
sebagai civilization.
Atas logika semacam itulah Baltazar
kemudian ditangkap dan dibawa pergi meninggalkan kampung halaman. Ia dipisahkan
jauh sampai ke tempat para manusia tinggal berbondong-bondong. Tidak seperti
padang es yang maha luas, hening, dan selalu menyediakan keterpukauan oleh
sebab hari-hari baru yang terus berubah.
”Masa-masa itu, hidup begitu
merdeka, dan mudah. Jangan kira ini hanya karena kami masih muda, sekalipun itu
bisa jadi salah satu bagian cerita. Namun juga karena lanskap putih yang
mahaluas itu sungguh indah” (hal.4).
Atas nama peradaban, si beruang
Baltazar dengan sepihak mesti melayani kebutuhan umat manusia. Dalam hal ini,
ia seolah-olah berada di lapangan bundar dalam tenda besar sepasukan badut
sirkus, menjadi objek tontonan demi menyenangkan hati manusia.
Semua pandangan itu—dan juga stigma
dalam kehidupan manusia—lahir dari bias kehidupan antroposentris yang
menganggap manusia sebagai titik gravitasi kehidupan alam semesta. Di luar dari
itu, seluruh eksistensi hanyalah realitas sekunder yang berfungsi sebagai
faktor penunjang. Dari kehidupan mickrowujud hingga manusia, semua itu
mengalami pelapisan secara hirarkis yang mendudukkan manusia di atas puncaknya.
Lalu bagaimana dengan kebebasan?
Baltazar berkisah: ”Untuk menjadi
bebas tidaklah cukup dengan hanya bisa bergerak di atas dunia ini atau di
antara orang-orangnya. Bebas bergerak hanya sarana untuk menemukan makna yang lebih
dalam dari hal ihwal. Tapi itu sendiri belum berarti apa-apa” (hal.62).
Suatu refleksikah ini?
Yang jelas, dari balik jerujinya, Baltazar
dapat berkesimpulan demikian ketika melihat muka-muka orang yang ia katakan
berwajah kelabu, suatu warna yang ia kontraskan dengan warna putih, warna yang
mewakili dunianya.
Di atas serbuk-serbuk es, Baltazar,
bersama teman-temanya, dan juga anjing-anjig laut, bisa melakukan apa saja:
berburu ikan, menyelam, atau berseluncur di atas bukit-bukit es padat. Di
tempat ini, malam dan siang sama saja, kemana pun Baltazar mendongakkan
kepalanya hanyalah horizon berwarna putih maha luas.
Dalam konteks ini, seperti Luis
Sepulveda, pengarang Cile penulis Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, Claudio
Orrego Vicuna juga menjadi musuh Augusto Pinochet, yang menyublim suara protesnya kedalam
renungan-renungan reflektif selama kediktatoran Pinochet berdiri. Satu tema
yang mencolok dari karyanya ini sudah tentu kebebasan.
Baltazar, si beruang sekalipun
mengatakan, untuk menjadi bebas tidak cukup hanya bisa bergerak di atas dunia
dan antara orang-orang, itupun dikatakan belum ada apa-apanya.
Toh pada akhirnya, kebebasan bukan
soal tempat, atau bahkan seperti kehidupan maha luas di atas hamparan salju
seperti di kutub utara. Baltazar menemukannya, melalui wadah yang juga menjadi
senjata satu-satunya dari orang seperti penulisnya: pikiran dalam benaknya.
”Aku takkan pernah benar-benar
bebas, tapi aku telah menaklukkan dunia sekelilingku ke dalam benakku… Apa yang
bisa diperbuat si pengurung terhadap pikiranku” (hal.62).
“Sebelum itu terjadi, tak ada
gunanya mengurung kami di balik jeruji. Orang lebih bebas di balik jeruji ini
ketimbang di luarnya, di kota-kota kelabu yang tak mengenal riangnya terang...,
bahwa kuperoleh kebebasanku saat berada di balik jeruji penjara dan bahkan
aku menganggap diriku lebih tinggi dibanding para pengurungku” (hal. 66).
Demikianlah, di titik ini novelet
berjudul asli Las sorprendentes memorias
de Baltazar: cuento, gamblang menyorot kebebasan ke dalam pemilahan yang
kadang kabur antara makna ”di dalam kandang” dan ”di luar kandang”.
Tentu, bukan kabur di mata seekor
Baltazar, tapi kehidupan manusia yang kiwari demikian sulit keluar dari jeruji
rutinitasnya, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Terjebak di
dalam gelembung ideologi, pasar bebas, dan juga agama.
Semua itu kian kesini makin mirip kandang jeruji Baltazar. Semakin hari
makin sesak saja.