![]() |
Bidadari yang Mengembara |
--2018-2020
DI SAAT tertentu seperti akhir pekan, ketika pikiran membutuhkan sesuatu yang menyegarkan lebih dari secangkir kopi, secara otomatis pikiran saya tertuju kepada sosok penulis yang telah banyak berkiprah dalam semesta tulis menulis tanah air: As Laksana.
DI SAAT tertentu seperti akhir pekan, ketika pikiran membutuhkan sesuatu yang menyegarkan lebih dari secangkir kopi, secara otomatis pikiran saya tertuju kepada sosok penulis yang telah banyak berkiprah dalam semesta tulis menulis tanah air: As Laksana.
Belakangan saya baru menyadari,
entah dimulai dari kapan, entah dalam tempo seminggu, tiga minggu, atau
berbulan lamanya, saya terbiasa tergerak mencari tulisan-tulisannya. Selain AS
Laksana, Eka Kurniawan—belakangan Gusmuh— adalah sosok lain yang hampir sama
dengannya.
AS Laksana adalah sosok yang secara
tidak langsung menginspirasi saya dalam menulis. Banyak tulisan-tulisannya menjadi
tempat saya menimba ilmu bagaimana teknik membuka suatu tulisan agar tidak
kelihatan klise, membuat kalimat tanpa bertele-tele, atau menyampaikan gagasan
dengan cara yang ”ringan”.
Pernah suatu masa sosok seperti
Goenawan Muhammad membuat saya tergila-gila melalui Catatan Pinggirnya, dan Ali
Syariati dengan pikiran-pikirannya yang antimainstream membuat pemahaman
beragama saya menjadi kritis. Dua nama ini suka tidak suka dalam waktu tertentu
menjadi kiblat saya menulis.
Nama yang pertama membuat saya
kepincut dengan gaya menulis yang identik dengan pendekatan puisi, walaupun
akhirnya saya menyadari cara itu hanya membuat tulisan saya jadi acak kadut
seperti orang yang sedang mengigau. Saya menyadari gaya menulis itu tidak bisa
saya jadikan contoh karena saya tidak memiliki kepekaan puitik seperti GM.
Apalagi, suatu waktu saya semakin yakin gaya menulis GM akan membuat saya
semakin jauh dari gaya menulis saya yang otentik.
Ali Syariati sosok kedua yang
lumayan besar pengaruhnya bagi perkembagan pemahaman keagamaan saya.
Tulisan-tulisannya menginspirasi saya bahwa agama bukan sekadar pengalaman
hidup yang mesti dinikmati sendiri. Agama punya semangat dan ruh egaliter dan
memiliki inisiatif perubahan memberbaiki keadaan masyarakat.
Selama masih menjadi mahasiswa, dan
kerap mengikuti banyak forum diskusi, tulisan-tulisan Ali Syariati bukan saja
menginspirasi melainkan ikut membentuk pandangan dunia saya. Dari sini,
jangankan pandangan dunia, ideologi dan gaya menulisnya pun sering saya jadikan
contoh.
Seiring memiliki kesenangan menulis,
seiring itu pula saya bertemu nama AS Laksana.
Saya agak lupa kapan sebetulnya
saya mengenal AS Laksana. Satu hal yang pasti perkenalan saya dengannya
ditandai dari salah satu bukunya bertahun lalu. Saat itu di sebuah kafe yang
menjajakan juga buku-buku saya tertarik dari sebuah judul buku berwarna merah
menyerupai pink: Bidadari Yang Mengembara. Hurufnya dibikin kapital dengan
ukuran besar yang hampir memenuhi luas sampulnya. Di atasnya tertera nama
penulisnya: A.S LAKSANA.
Buku itu adalah 12 kumpulan
cerpennya dengan “Bidadari Yang Mengembara” sebagai cerpen urutan nomor dua
dalam daftar isinya.
Bidadari Yang Mengembara bercerita
tentang seorang tukang urut yang menemukan cinta matinya melalui persetubuhan
tanpa sengaja dengan Alit yang kehilangan kesadaran dan mengigau. Tanpa ia
sadari dalam igauannya ia bercumbu dengan seorang perempuan yang ia kira adalah
kekasihnya. Bagi si wanita, peristiwa ini begitu menyenangkan karena menandai
bahwa mereka telah menjadi sepasang kekasih.
Tidak perlu saya ceritakan di sini
buku terbitan Gagas media itu. Sejak saat itu jika ingat saya bakal
mencari tulisan-tulisannya di jagadmaya. Dari pencarian saya ini, AS Laksana
selain cerpenis, juga seorang penulis esai yang lantip, yang menjalani profesi wartawan
di detik (yang pernah diberedel Orba) sebagai pekerjaan utamanya.
Satu hal yang samar-samar saya
iyakan dalam hati, suatu karya tulis yang digarap dengan sepenuh hati pasti
akan menginspirasi banyak orang. AS Laksana bukan saja seperti yang saya
katakan demikian. Pengalamannya sudah bercerita banyak hal di mana dan seperti
apa posisinya dalam jagad kepenulisan Tanah Air.
Oh ya. Tulisan AS Laksana dulu sering
nangkring di kolom khusus Jawa Pos bertajuk Kolom Putih, Kumparan, dan satunya
lagi di Beritagar.id—sekarang sudah almarhum—dan ini yang unik, ia memiliki
banyak blog pribadi yang semuanya bisa kita akses sampai hari ini. Jika Anda
butuh sekadar bacaan menyegarkan dan lebih dari itu, pencerahan—entah dengan
beragam maknanya—silakan Anda kunjungi saja nama-nama situs yang saya sebutkan di
atas.