Langsung ke konten utama

4 Jalan Spiritual Menghadapi Corona


Ladya Cheryl akan berperan sebagai Iteung dalam layar lebar 
Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas
 adaptasi novel karangan Eka Kurniawan berjudul sama. 
Ladya Cheryl terkenal lewat perannya di film Ada Apa Dengan Cinta sebagai Alya


BANYAK peristiwa tidak terduga bisa membuat orang mengalami epiphany dan membuatnya menjadi seorang sufi. Fariduddin Al Attar, penulis Musyawarah Burung-Burung, menjadi pesuluk lantaran disadarkan oleh perkataan seorang  pembeli parfum yang awalnya ia acuhkan.

”Sedemikiankah keterikatan engkau kepada dunia sehingga menafikan yang lainnya?” kata customer  yang membutuhkan pelayanan Al Attar, yang sebenarnya adalah seorang darwish. Saat itu Al Attar sedang sibuk sendiri di belakang.

Merasa tersinggung atas ucapan customernya, Al Attar terpancing, ”lalu apa yang sudah kau lakukan?”

”Aku berkelana ke berbagai tempat, dan berkhidmat di jalan Tuhan.”

”Lantas apa yang sudah kau peroleh dari pekerjaan itu?”

”Aku bisa tahu kapan, dan bagaimana nanti aku mati.”

Tidak lama setelah percakapan aneh itu, ketika Al Attar telah selesai dengan pekerjaannya, ia menemukan sang darwish tertidur, dan meninggal di depan toko Al Attar.

Kejadian ini seketika menghentak kesadaran Al Attar. Pasca kejadian ini ia kemudian menjadi seorang sufi.

Kisah lain datang dari Ibrahim bin Adham, sufi generasi awal dari Balkh. Ia awalnya seorang raja yang banting setir menjadi sufi berkat seekor burung gagak.

Diceritakan dalam Kitab Al-Mawa’izh Al-‘Usfuriyah oleh Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Ushfury, pada saat Ibrahim bin Adham beristirahat ketika berburu, seekor gagak mengambil makanannya dan terbang menjauh. Merasa terganggu, Ibrahim bin Adham mengejarnya ke tengah hutan.

Seketika ia terkejut. Ternyata sang gagak mencuri rotinya demi memberi makan seorang tahanan yang terikat di sebatang pohon pasca dirampok berhari-hari lamanya. Ibrahim tersentak. Seketika itu ia pun menjadi sufi.

Masih karena burung. Di Sulawesi Selatan, berkembang cerita di kalangan pattarekat, kisah pembantu pimpinan tarekat yang tidak diduga terpilih menggantikan sang guru pasca meninggal.

Cerita punya cerita, pembantu ini, yang sehari-hari hanya mengurus tetek bengek kebutuhan sang guru tarekat, mulai dari dapur sampai kandang kuda, ”mengalahkan” murid-murid terdekat sang guru yang ingin menggantikan mursyidnya.

Ia terpilih sesuai ramalan pemimpin tarekat sebelum mangkat. Menurut cerita, sang guru sudah berpesan, barang siapa kelak dihinggapi seekor burung saat jamuan doa di pundaknya setelah ia meninggal, itulah penggantinya.

Pada jamuan doa yang dimaksud, seluruh murid berkumpul berdoa sambil menunggu burung yang diceritakan. Lama mereka menunggu, dan si burung tidak datang juga. Hingga tiba-tiba muncul si pembantu dari belakang menjamu satu-satu murid gurunya. Tidak lama dari itu, datanglah burung ”ramalan” terbang di atas berkeliling dan menghinggapi si pembantu. Itulah  tandanya. Ia lah pengganti guru tarekat mereka.

Masih juga dengan burung. Kali ini kisah fiksi. Bagi pembaca Eka Kurniawan pasti mengenal Ajo Kawir, sosok dalam cerita Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas.  Ajo Kawir diceritakan mengalami impotensi akibat peristiwa mencengangkan. Ia mengintip dua anggota polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan sejak itu kemaluannya mati rasa. Cerita punya cerita, setelah berjuang mengembalikan kehidupan normal ”burungnya” dan gagal,  ia pun sadar jalan hidupnya mesti ditempuh menjadi pelaku tasawuf.

Setelah ikhlas menerima tititnya yang tak sudi ngaceng ia sadar, ini berarti ia telah berhasil menaklukkan godaan hawa nafsunya setelah ”menjinakkan” ”burungnya” agar tidak bisa lagi akan ”terbang” ke mana-mana.

Nah, dalam kisah ruhani semacam di atas, burung menjadi perlambangan signifikan mengenai gelagat hawa nafsu yang sulit diatur dan mesti dijinakkan. Sekarang, apakah anda punya burung?

Setelah membaca cerita singkat di atas, bagi yang punya burung, kamu besar kemungkinan bakal bisa menempuh jalan menjadi sufi. Minimal jika anda jomlo, contohilah jalan cerita Ajo Kawir itu. Berdialog berhari-hari dengan ”burung”.

Tapi, jika kamu tidak ingin menjadi Ajo Kawir, saat dikepung corona laknatullah seperti ini, adalah keadaan yang paling pas menjadi seorang sufi. Berikut empat tangganya.

#1. Berkhalwat selama masa physical distancing

Satu ciri kaum sufi adalah ”keterputusannya” dari urusan duniawi. Istilahnya, ia mati sebelum mati. Seperti terpisahnya jasad dari tubuh, para sufi menjalani kehidupan dengan sikap wara’, yakni, ya itu tadi, memutus seluruh godaan hawa nafsunya dari seluruh hal yang bisa mengalihkan perhatiannya hanya kepada Tuhan semata.

Nah, sekarang peluang kamu bisa mengamalkan satu kebiasan sufi di atas. Kamu bisa berkhalwat selama masa phsysical distancing. Mumpung kamu tidak bisa kemana-mana, jadikanlah rumahmu sebagai semacam gua hira. Talak tigalah seluruh urusan-urusan di luar rumahmu. Ingat jalan menuju sikap wara’ itu pertama adalah belajar berkhalwat. Jadi, selama ”mengurung” diri di rumah,  lakukanlah hal ke dua di bawah ini.

#2. Bersiap-siap puasa selama darurat sipil

Untuk membuat amalan wara’ kamu jadi lebih mantap, berpuasalah. Seluruh praktik spiritualitas tasawuf di dunia, baik yang ekstrem kanan maupun ekstrem kiri (emangnya ideologi apa!), tidak pernah menanggalkan puasa sebagai latihan spiritualnya.

Nah, untuk hal ini negara sedang memberikanmu peluang melalui rencana pembatasan sosial berskala luas, dan darurat sipil yang diumumkan Jokowi 31 Maret lalu.

Ini artinya, negara diam-diam sedang mendidik warganya untuk menjadi sufi, loh! Coba bayangkan jika semua warga berpuasa selama masa darurat sipil? Kan, negara tidak butuh banyak ongkos menyiapkan santunan sembako bagi golongan missqueen kayak kamu itu.

#3. Perbanyak ibadah, tidak terkecuali berdoa

Banyak riwayat jika Rasulullah sudah mengambil start berpuasa 2 bulan sebelum masuk bulan Ramadan (kalau mau tahu dalilnya, tanya ke ustaz-ustaz yutub aja, yah).

Nah, langkah kedua di atas sebenarnya merupakan persiapan sebelum masuk bulan Ramadan nanti. Mumpung sekarang bulan Sya’ban, selain mulai berpuasa, perbanyaklah ibadah, tak terkecuali berdoa, akhi (ukhti juga, nanti bias jender lagi)!

Kamu yang selama ini kerap melalaikan salat, segeralah perbaiki salatmu sebelum kamu disalati hanya karena corona. Kamu yang malas berdoa, mulailah perbanyak doa, minimal jika itu hanya sebatas mengirimkan surah Al Fatiha bagi siapa saja yang sedang berjuang melawan corona.

#4. Belajarlah dari Pemerintah

Selama masa pagebluk corona, pihak yang paling diharapkan bertindak cepat adalah Pemerintah. Walaupun saat dunia sedang bersiap-siap mengantisipasi virus ini  agar tidak melintasi perbatasan negaranya, di negeri sendiri masih adem ayem. Seolah-olah virus ini akan menguap dengan sendirinya ketika ingin menyebrang ke negeri gemah ripah loh jinawi ini. Walaupun akhirnya sudah terlambat, tetap saja pemerintah masih hitung-hitungan mengambil tindakan pencegahan.

Sekarang ada istilah PSBB atau pembatasan sosial besar-besaran yang terlambat dilakukan. Begitu juga program ikutannya berupa penerapan darurat sipil seolah-olah setiap di atas jengkal tanah kita sedang terjadi aksi separatis. Ingat di Indonesia, masa darurat sipil hanya pernah dilakukan di Aceh dan Papua saat disinyalir negara menjadi kawasan gerakan separatis. Jadi, bayangkan jika keadaan sekarang ibarat sedang menghadapi gerakan separatis, bukannya pendekatan medis yang bakal diutamakan, tapi militer, bung!

Nah, lambannya cara negara menangani pandemi ini, dan belakangan ada gercep dari anggota dewan ingin mengesahkan RUU kontroversial, ditambah isu pembebasan Papua koruptor, kita rakyat kecil bisa apa. Satu-satunya cara hanya bisa mengelus dada dan belajar ikhlas dan bersabar. Nah, ini jalan keempat ketika para sufi menapakai jalan spiritualitas. Ikhlas dan sabar sudah. Titik.

Nah, itu 4 jalan spiritualitas di tengah pandemi corona. Selamat berjuang.

====

Telang dimuat di Kalaliterasi.com



Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...