Langsung ke konten utama

Perbedaan Manusia dan Binatang


Perbedaan antara manusia dengan binatang, saya kira dapat dilihat dari cara makan.

Belum pernah kita temukan hari ini seekor kera yang memasak untuk satu keluarga kecilnya. Di kebun-kebun binatang, sering terlihat justru mereka lebih suka memakan hasil pemberian pengunjung kebun binatang. Ada yang bilang, para monyet karena perlakuan demikian menjadi tidak seperti binatang lagi. Ia lama-lama menjad manja. Insting mencari makannya seiring waktu akan pupus.

Jika ke hutan, kera yang masih “liar” juga tidak menunjukkan cara makan yang neko-neko. Cara makan mereka lumayan simpel. Tidak ada aktifitas masak-memasak seperti manusia menyajikan makanannya. Jika mendapatkan pisang, buah ini dimakan seadanya. 

Jika mendapatkan nangka, jari tangan dan giginya lah dua alat yang mereka gunakan untuk mengambil isinya. Saya belum pernah melihat reaksi seekor kera ketika diberikan durian. Apakah ia bakal berpikir dua kali menggunakan kekuatan bibirnya sama seperti ia membuka kulit nangka?

Pisang dan nangka di mata kera adalah buah yang sama ketika pertama kali ditemukan dan ketika akan dimakan. Jangankan ada keinginan menggorengnya—seperti yang akan dilakukan manusia jika bosan memakan pisang secara langsung—membuka kulitnya saja dulu kadang tidak dilakukan.

Pisang ataupun nangka, bisa menjadi macam-macam di tangan yang mahir mengelolanya. Tentu bukan kera yang mahir, tapi seorang manusia. Kemahiran tentu datang dari pengalaman dan pengetahuan mengenai pengelolaan makan-makanan. Ini merupakan wilayah tata cara, tradisi, dan akhirnya berkembang menjadi budaya.

Budaya inilah yang akhirnya membedakan cara makan seekor kera dengan manusia.
Pisang dan nangka, jika dibawa ke dalam tradisi masyarakat Bugis dan Makassar, akan muncul beberapa jenis pengeloaan. Saat perkawinan, kue Barongko pasti menjadi paganan khas bagi tuan rumah yang melangsungkan hajatan pernikahan. 

Ada juga namanya kue “roko-roko utti” yang disukai bapak-bapak ketika menikmati secangkir kopi. Bagaimana dengan nangka? Anda cukup tengok di meja depan. Ia akan Anda temukan bersama campuran buah lain yang disebut es buah.

Singkatnya, karena tafsir kebudayaanlah cara makan manusia berbeda dengan binatang. Bahkan bagi kelas elit tertentu, makanan yang dikelola dengan pendekatan ilmu tata boga akan menjadi bukan lagi sekadar hasil kelola yang mengenyangakan perut belaka, tapi mesti juga mempertimbangkan unsur gizi dan keindahan agar mengundang selera.

Contoh yang terakhir ini tengoklah perlombaan para master makanan dalam menampilkan suatu menu makanan. Indah tapi kadang juga lucu. Memukau tapi juga mengagetkan.

Tapi, bagi masyarakat kelas grassroot seperti saya ini boro-boro menampilkan cara makan elegan seperti kelas atas. Bisa makan kenyang tanpa terserang penyakit saja sudah lebih dari cukup. Apalagi mesti beringas seperti seekor gorila kelaparan.

Begitu.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...