![]() |
Sampar (La Peste) Karangan Albert Camus dialihbahasakan NH. Dini |
BARU kali ini saya dibuat deg-degan atas suatu penyakit. Tidak seperti virus SARS
dan MERS dua nama penyakit yang serba mengapung di telinga, corona nampak
berbeda akibat gembar-gembor pemberitaan media, dan penanganan pemerintah yang
seolah-olah sedang menghadapi wabah Tuberkulosis .
Sekarang
jenis penyakit jadi aneh-aneh setelah manusia dibuat kaget. Kok, ada penyakit
imporan hewan yang bikin keder.
Bukankah
manusia lebih sering mengekspor segala capaiannya ke luar wilayah kehidupannya?
Lah, ini malah kita kayak dijajah binatang. Kali ini hewan tertentu memberikan
serangan balik setelah tubuh mereka jadi olahan kuliner dengan menyebarkan virus
ke umat manusia.
Sejak
tiga hari lalu, tubuh saya seperti mengalami kelainan terutama di sekitar
kerongkongan. Ini gejala saat Anda akan mengalami flu yang membuat wilayah
antara hidung dan tenggorokan seperti ditumbuhi selaput lendir.
Tidak ingin menerima keadaan ini begitu saja, semenjak ada sinyal tubuh bakal mendera suatu penyakit, tanpa perlu menunggu lama saya rajin mengkonsumsi suplemen vitamin c.
Tidak
tanggung-tanggung dalam sehari saya bisa menghabiskan tiga butir kapsul. Corona
membuat kewaspadaan saya meningkat, seolah-olah penyakit ini sudah mengantre di
depan pintu rumah, dan hanya tinggal menunggu waktu kapan ia bakal mengetuk
pintu.
Apalagi
tiga hari belakangan ini, selaput lendir yang saya miliki membuat saya cukup
khawatir. Jangan-jangan covid 19 dimulai dari tanda-tanda semacam ini.
Pertama
ia mulai dulu bersemayam di dalam leher, semacam prakondisi untuk menyusun
strategi saat bakal menginvasi tubuh korbannya.
Kedua
dia bakal melipatgandakan dirinya dan mulai memberikan signal kepada tubuh yang
merangsang otak menaikkan sistem imunnya.
Di
saat ini, seperti dua pihak yang terlibat sengketa, keduanya bakal saling tarik
ulur menegoisasikan kedua kepentingannya. Dalam keadaan ini demam merupakan
tanda peperangan ini.
Jika
tubuh Anda menang, maka Anda berhak mengusirnya dari dalam, tapi jika tubuh
Anda kalah bersaing, covid bakal menguasai Anda dan menyebar memeriahkan
kemenangannya.
Sialnya,
sambil berpikir positif, selama tiga hari ini daya ingat saya tidak sama sekali
membantu untuk melacak di mana dan siapa-siapa yang sudah saya ajak bertemu
belakangan ini. Ingatan saya seperti hilang meluber seiring bekas air sisa cuci
piring ke dalam lubang saluran pipa, pekerjaan yang sudah mulai malas saya
lakukan dua hari ini.
Makanya,
saya kerap berpikir mulai saat ini, siapa pun dalam keadaan seperti sekarang
mulailah menyisihkan waktu seperti saat seorang penulis menuliskan
catatan-catatan kerjanya di buku harian.
Anda
tidak akan saya minta menjadi seperti seorang gadis malang, yang tiap malam mengisi buku diari
sambil menangis hanya karena gagal meyakinkan orang tua menerima lamaran sang
pacar. Anda cukup duduk di meja makan, atau di atas tempat tidur sampai mulai
mencatat apa-apa saja yang sudah Anda lakukan, dan yang paling penting, kemana
dan dengan siapa Anda bertemu hari ini.
Tidak
perlu saya jelaskan apa kegunaan catatan ”rekam jejak” Anda di atas, terutama
bagi keadaan seperti saat ini. Setidaknya dengan cara itu, Anda akan dibuat
seperti seorang pengarang yang betah menghabiskan 1576 kata dalam semalam
sekali menulis.
Berabad-abad
lamanya umat manusia melawan berbagai macam jenis penyakit, di samping selama
itu pula umat manusia mengembangkan pengetahuannya mengenai dunia obat-obatan.
Kadang,
umat manusia kalah dari virus sederhana hanya karena pengetahuan yang kurang
memadai atasnya, sekaligus kalah lagi karena perkembangan teknologi medis yang
masih sederhana. Penyakit dan teknologi dunia medis ciptaan peradan manusia
adalah dua sisi yang saling berlomba dalam rangka mengisi rekam jejak capaian
umat manusia.
Flu
Spanyol ((1918-1919), 500 juta korban), Cacar ((10.000 SM-1979), 300 juta
korban), Campak ((abad 7 SM-1963), 200 juta orang), Black death ((1340-1771),
75 juta orang), merupakan tonggak-tonggak sejarah penyakit mematikan bagaimana
tubuh manusia bersisian hidup sangat dekat dengan marabahaya.
Kiwari
semakin canggih gaya hidup peradaban semakin canggih pula jenis penyakit
menyertainya, walaupun itu tidak menjamin kecanggihan cara berpikir manusia.
Yoval
Noah Harari dalam literasi seri Sapiensnya menulis bakal memanasnya perseteruan
ilmuwan dengan para ahli agama menghadapi ujian-ujian peradaban. Dua kubu ini akan sengit mencari
solusi-solusi teknis dan praktis ketika memecahkan soal-soal semisal
kemiskinan, seksualitas, genetika, krisis peradaban, dan penyakit.
Saya
akui geram melihat ketololan kelompok jemaah agama yang bersikap enteng
menghadapi covid 19 ini. Di video Whatsapp beredar sekelompok jemaah agama di
Gowa, Sul- Sel yang mengaku kebal corona.
Mereka
seperti yakin hidup di masa Firaun, dan menganggap pandemi saat ini merupakan
sihir ciptaan konco-konco Firaun, dan mendaku hanya dengan iman yang kuatlah
jalan keluar atas penyakit ini.
Itu
artinya, covid 19 bukan tentara Allah seperti diyakini selama ini setelah
mereka meneriakkan takbir berkali-kali untuk menegaskan merekalah tentara Allah
yang sebenarnya. Corona tidak usah dikhawatirkan oleh sebab dari namanya tidak
sama sekali berbau Arab. Sesuatu yang bukan Arab mesti dilawan segesit-gesitnya,
dan dengan atas nama Tuhan semua itu mesti dilakukan.
Kelompok
ini kurang lebih sama perhitungannya dengan perwatakan dalam kisah La Peste
karya Albert Camus, kisah mengenai wabah pes di Kota Oran, Prancis, yang
awalnya tenang-tenang saja kemudianbermunculan tikus-tikus yang linglung
kemudian mati dan diikuti angin panas dan hadirlah sampar.
Novel
ini sedikit banyak menggugat dalil-dalil di belakang keyakinan bahwa dunia
telah diciptakan dalam tujuan spesifik oleh Tuhan, atau sebaliknya, tidak ada
tujuan spesifik atas penciptaan alam semesta ini.
Dalam
Sampar hasil terjemahan N.H Dini ini, kelompok agamawan dinarasikan melalui
sosok seorang pendeta yang memilih tinggal di kota Oran bermodal keyakinan
bahwa apa yang dihadapi Oran merupakan bagian dari ujian Tuhan.
Itu
mengapa, hanya bermodal keyakinannya semata, ia memilih membantu kota Oran
menghadapi wabah pes, walaupun ia akhirnya mati tanpa diketahui oleh sebab yang
pasti.
Dua
sosok lain dalam Sampar adalah sang Ilmuwan dan sang Pemikir yang meski berbeda
titik tolak dari sang agamawan, memiliki motivasi berbeda dalam melihat wabah
Pes yang dikenal dalam sejarah Eropa sebagai ”Kematian Gelap” itu.
Narasi
Sampar, jika dikalkulasikan untuk masa sekarang akan tetap relevan, mengingat
perseteruan antara kelompok-kelompok umat manusia yang diperwatakkan di
dalamnya.
Pengetahuan
adalah kunci, meski pernyataan ini meski dilengkapi dengan pertanyaan lanjutan
pengetahuan macam apa?
Ada
jenis pengetahuan ketika manusia sangat percaya bahwa sejak tahun 60-an dunia
tempat kita hidup saat ini juga ditempati oleh para alien yang datang dari
galaksi lain.
Ada
juga ragam pengetahuan yang mendaku dunia tempat kita tinggali ini hanyalah sebuah
lempengan tanah panjang, dan di tempat-tempat tertentu terdapat puncak gunung
tertinggi tempat para dewa-dewi tinggal sehari-hari.
Meski
memang tidak sedikit ada pula ragam pengetahuan yang menolak dua perspektif di
atas dengan cara benar dan salahnya keyakinan itu mesti diuji secara akal sehat
dan ilmiah.
Abad
modern, rasa-rasanya hanya merupakan narasi kebudayaan dari belahan bumi lain
yangtidak berlaku di sini. Bagaimana tidak, ketika zaman menuntut untuk
berpikir terbuka, memiliki empati, kerja kolaboratif, dan hidup cerdas, kita justru sebaliknya, menjadi kelompok
masyarakat yang bebal dan denial.
Bukan
saja pandemi global seperti covid 19, saat ini pandemi kepandiran juga mesti
menjadi perhatian kita semua. Semoga semuanya cepat teratasi.
---
Sudah tayang di Kalaliterasi.com