![]() |
Orang-orang Jerman saat meruntuhkan Tembok Berlin Tembok ini sebelumnya membagi dua wilayah Jerman menjadi Jerman Timur dan Jerman Barat |
ERA modernitas berbeda dari masa masyarakat pra pencerahan yang ditandai
dari kemampuan masyarakat melakukan refleksi.
Semenjak identitas individu menguat, manusia menemukan
suatu pendasaran dalam dirinya untuk mememungkinkannya melakukan
tindakan-tindakan antara proyeksi dan refleksi.
Dalam keadaan itu manusia sebagai agen atas kehidupannya,
tidak lagi sepenuhnya menempatkan penemuan kesadarannya kepada
institusi-institusi di luar darinya, melainkan dilakukan dengan cara dialektis
antara kemampuan berpikirnya dengan himpunan-himpunan struktur di lingkungannya.
Itu artinya, konsep mengenai diri merupakan korpus
terbuka yang bisa berubah, dibentuk, dan dinegoisasikan ke dalam tegangan tarik
menarik antara diri dengan lingkungan sosialnya.
Kata Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris, refleksi modernitas ini disebutnya sebagai sebuah ”proyek refleksi”, yang berarti betapa meluasnya dampak modernisasi itu sebenarnya, sampai-sampai perubahan ke arah pembaruan tidak saja mencakup wilayah material kehidupan berupa pembangunan infrastruktur, sistem ekonomi, dan tatanan sosial politik, melainkan merasuk sampai ke tingkat pengalaman hidup seseorang.
Kesimpulan atas pernyataan di atas berarti tidak ada
pakem fix berkaitan dengan identitas seseorang, seperti sudah disebutkan
sebelumnya. Diri atau personalitas seseorang yang disebut identitasnya
merupakan hasil eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang
intim.
Ini seperti proses individuasi ketika seseorang menyerap
unsur-unsur perubahan berupa pandangan dunia, gaya hidup, filsafat nilai, dan
keyakinan agama, menjadi sikap pribadinya.
Proses bagaimana masyarakat menentukan refleksifitasnya
bukan berarti tanpa masalah oleh sebab faktor-faktor tak terduga dari perubahan
itu sendiri.
Dunia modern dikatakan Giddens bakal dihadang ”sequestrasion of
exprerience”, yakni semacam tercerabutnya pengalaman eksistensial manusia
ke dalam sistem-sistem abstrak ciptaannya sendiri.
Kapitalisme, demokrasi, agama, atau ideologi merupakan
sistem abstrak yang membuat manusia hidup di dalam keterpisahan terhadap
kenyataan konkretnya.
Karl Marx di dalam kritiknya terhadap kelas borjuis
melayangkan suatu ide yang dia sebut alienasi. Konsep ini selain merupakan
hasil dari sistem kerja kapitalisme yang mencuri nilai lebih dari tenaga kelas
pekerja, sebenarnya secara tidak langsung menciptakan demarkasi antara kerja
konkret buruh dengan sistem kapitalisme yang nyatanya begitu jauh dari
pengalaman kerja para buruh.
Kapitalisme sebagai suatu ideologi, mengapa demikian
kebal kritik karena merupakan jaringan , hubungan, dan sistem ekonomi yang
secara ontologis memisahkan dirinya dari suatu mata rantai panjang agar tidak
berhubungan langsung dengan tenaga kerja yang merupakan hal konkret dalam
aktivitas produksi.
Di era modern, pola-pola seperti ini dinyatakan Giddens
yang dapat menyebabkan masyarakat terjebak kepada sistem-sistem besar
yang cukup imperatif mengambil peran langsung masyarakat itu sendiri.
Itu artinya, mengapa keterasingan masyarakat sangat
mungkin terjadi oleh karena semakin besar dan meningkatnya peran sistem abstrak
bagi kehidupan masyarakat.
Masyarakat, dengan kata lain, akan kehilangan kendali
atas dirinya selama ia menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada sistem abstrak
yang berada di luar dari dirinya.
Uniknya, menurut Giddens, keterasingan masyarakat di
dalam sistem abstrak bakal menciptakan dan meningkatkan rasa aman yang semakin
besar pula.
Kepercayaan masyarakat kapitalis menanam investasi, pajak
negara, iuran BPJS, jaminan sosial, atau bahkan keimanan kepada komunitas
jemaah tertentu, merupakan bentuk-bentuk hubungan masyarakat yang percaya
kepada sistem abstrak sebagai jaminan keselamatannya.
Semakin abstrak dan berperannya sistem itu, semakin besar
pula rasa aman yang tertanam dalam diri seseorang.
Tapi, meski demikian, menurut Giddens rasa aman ini di
waktu bersamaan bakal melenyapkan probelm eksistensial masyarakat. Masyarakat,
dalam hal ini, akan menjadi entitas yang sepenuhnya bagai hidup di dalam surga
lantaran semua problem dihadapinya sudah sepenuhnya diambil alih sistem abstrak.
Keadaan inilah yang membedakan modernitas klasik dengan
era kiwari dari segi orientasinya. Masyarakat dalam modernitas klasik
senantiasa mencari persamaan (hak, identitas, kelas, upah) sebagai orientasinya
yang berbeda dengan orientasi masyarakat sekarang yang lebih mengutamakan
keselamatan.
Ulrich Beck, seorang sosiolog Jerman melihat mengapa
solidaritas masyarakat kontempporer senantiasa menciptakan peluang kerja sama
demi keselamatan dan bukan persamaan semata sebagai cita-citanya, sebagai
konsekuensi dari apa yang ia sebut risk society.
Risk society atau masyarakat berisiko merupakan keadaan
masyarakat yang hidup di dalam risiko-risiko pembangunan. Keadaan ini disebut
Beck sebagai tahap perkembangan lanjutan dari era kehidupan modern yang
bergerak dan digerakkan industrialisasi.
Masyarakat berisiko bukan diskontuinitas seperti
dibayangkan sosiolog seperti Lyotard atau tokoh posmodernisme lainnya,
melainkan suatu keadaan masyarakat modern yang mengalami lonjakan secara massif
kualitatif dari segi semakin tidak pastinya kepastian-kepastian yang ditawarkan
zaman itu sendiri.
Mengapa ini dapat terjadi, oleh sebab karena pudarnya
paksaan-paksaan struktural seperti dialami dalam masyarakat modern sebelumnya.
Terpisahnya paksaan struktural atas individu, menimbulkan
ruang refleksi yang besar agar individu dapat bertindak bebas. Kebebasan
bertindak yang disebut Beck semakin reflektif inilah yang membuat sulitnya
prediksi-prediksi atas arah perkembangan masyarakat.
Itu artinya, di tengah ketidakpastian itu, masyarakat
yang mengalami individuasi mesti menanggung sendiri risiko-risiko yang
dialaminya. Tanggung jawab individu mau tidak mau menjadi satu-satunya pilihan
ketika seluruh jaminan sosial yang dahulu ditanggung negara hilang dan beralih
ke tingkat individu.
Kehancuran alam, kemiskinan, pengangguran massal,
kelangkaan barang, kepunahan, pandemi penyakit, dan kelainan genetika,
merupakan beberapa risiko atas modernitas, yang kian hari menjadi risiko
individu tanpa ada jaminan masa depan negara.
Beck bahkan mengatakan risiko merupakan hal fundamental
di dalam masyarakat industri lanjutan, meski itu tidak akan merata akibat kelas
sosial yang berbeda dan bertingkat.
Artinya, dalam taraf tertentu risiko bisa terakumulasi di
tingkat grass
root tanpa sama sekali naik menyentuh kelas atas, disebabkan kemampuan
kelas atas yang memiliki sumber daya melimpah.
Risiko bukan berarti tidak akan dirasakan bagi kelas
atas, akan tetapi jika mereka mendayagunakan kekuatan modal, jaringan,
teknologi, dan pendidikan, risiko-risiko berupa penyakit, kemiskinan,
pencemaran alam, dan kelangkaan barang, misalnya, dapat segera diselesaikan.
Dalam bidang politik, risiko modernitas Beck disebutnya
sebagai ”subpolitik”, yang berarti munculnya kekuatan baru yang lebih reflektif
dari pemerintahan pusat. Itu artinya pemerintah mengalami desakralisasi atas
kekuasaannya bersamaan dengan meguatnya kekuasaan dari elemen lain, berupa
kelompok ilmuwan, medis, atau kelompok agama.
Beck mengatakan kemunculan subpolitik ini juga berarti
hilangnya kemampuan pemerintah pusat dalam menangani problem-problem modernitas
itu sendiri. Ini disebabkan karena semakin mawas dirinya kelompok subpolitik
dalam menanggapi serta menanggulangi persoalan yang dihadapi.
Dampak lanjutan dari hal ini menurut Beck akan
menimbulkan ”unbinding
of politics” , yang berdampak atas berpindahnya kekuasaan pusat ke kelompok-kelompok
subpolitik di bawahnya.
Di tanah air, risiko-risiko modernitas gampang ditemukan
di kenyataan sehari-hari. Penggusuran akibat kapitalisasi ruang, kehancuran
hutan dan sumber air bersih, banjir, konflik kelas, pandemi virus mematikan,
serta kemunculan subpolitik yang semakin mendesentralisasi pusat, adalah
beberapa contoh bagaimana risiko modernitas tidak dapat dihindarkan.