![]() |
HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia |
Hmi-Mpo yang Mulai Tercemar dan Tersusupi. Esai kritik Alto Makmuralto ini—jika tidak pantas disebut pledoi—betul-betul mewakili unek-unek saya mengenai perjalanan HMI MPO yang seret satu dekade belakangan.
Saya
orang yang kerap ogah menulis latar belakang ke-MPO-an di riwayat organisasi
curriculum vitae jika sesekali mengisi forum diskusi. Label MPO di belakang
singkatan HMI itulah sebabnya. Saya merasa takut lebih-lebih tidak pantas
menuliskannya karena dimensi moralitas MPO sudah bikin keder sejak awal.
Suatu
waktu melalui diskusi via chatting whatsapp, dengan nada bercanda saya
mengajukan pertanyaan jebakan kepada salah seorang senior MPO: kanda, tahu apa
kutukan MPO pasca Basic Training?
Senior
yang saya tanyai bingung. Tidak mengerti arah pertanyaan saya.
”Siapapun
ia, apapun latar belakangnya, sekalipun memang seorang preman mahasiswa, jika
dinyatakan lulus dari Bastra, dia seketika itu langsung ”dibaptis” menjadi
ustaz. Itu kutukannya, kanda.”
Tentu
saja saat itu saya tidak memberikan
jawaban persis seperti kalimat barusan, yang memang terjadi beberapa tahun
lalu.
Yang
pasti saat itu, saya langsung diingatkan bahwa panggilan yang menjadi tradisi
di MPO itu merupakan ciri khas dan perbedaan fundamental dengan organ lain.
Namun,
kenyataannya, saat saya lulus Bastra sematan sepihak itu membuat saya tidak
nyaman. Coba bayangkan, saya yang belum lama menjadi mahasiswa baru saat itu
sudah dipanggil ustaz oleh senior-senior di Komisariat.
Sepertinya
saya akan terlalu cepat sadar saat itu juga. Masa muda saya kok akan cepat
berlalu sebelum saya benar-benar menikmatinya. Apakah ber-MPO demikian serius
sehingga sejak saat itu seluruh tindak tanduk saya mesti berperilaku
seolah-seolah saya adalah ustaz sebenarnya.
Bukankah
saya juga layak seperti teman-teman lain yang berperilaku enteng-enteng saja
dan bisa berbuat apa saja, tanpa beban moral organisasi.
Sematan
ustaz ala MPO secara moral demikian imperatif.
Saya dibuat kikuk menempatkan diri saat berperilaku. Jangankan mendekati
perempuan non muhrim, merokok, dan
mengenakan celana sobek di lutut saja beratnya bukan main.
Itulah
sebabnya, pasca Bastra saya dan beberapa teman main kucing-kucingan berlari
memutari gedung, jika dari jauh akan bertemu salah satu senior Komisariat yang
dikenal alim.
Ia
senior yang paling sering membangunkan kami salat malam saat Bastra, dan
mengawal kultum saat salat subuh berjemaah. Pengakuannya, MPO-lah yang mengubah
nasibnya dari ”alam kegelapan” menuju ”kehidupan terang benderang”.
Ia
dikenal seantero fakultas sebagai preman kampus, dan jika musim ospek tiba
banyak mahasiswa baru pasti digasak dan akan diinjak-injaknya.
Pasca
Bastra seperti diceritakannya, ia mendapatkan titik kesadaran baru. Hidupnya
seolah-olah seperti mesin komputer yang di-restart ulang. Candu rokok ia
tinggalkan, kebiasaan meminum anggur ia tobati, menjauhi perempuan ia lakukan.
Praktis,
perubahan ini membuat kawan-kawan pergaulannya bingung. Ibunya sendiri dibikin
heran atas ulah anaknya yang pulang kampung menangis bertobat meminum air cucian
kakinya.
”Itu
semua karena MPO.” Ucapnya seolah-olah kata-kata itu telah ia siapkan dari
awal.
Cerita
titik balik itu bikin kami terpana dan menyadari betapa angkernya itu yang
namanya Bastra.
”Saya
kerap dikira teroris jika pergi membeli buku di MP.”
MP
yang ia maksud adalah Mal Panakukang, dan kata teroris yang ia ucapkan menunjuk
kepada cara ia berpenampilan sehari-hari yang mirip pasukan Taliban
Afghanistan.
Begitulah
MPO, dan kelak cita-cita ideal MPO membentuk masyarakat Tamaduni saya tahu dari
mulut senior mirip teroris ini.
Sematan
ustaz di masa lalu saat ini saya sadari sebagai strategi perkaderan. Pelabelan
itu saya amini sebagai cara terbaik senior-senior saat itu untuk menghormati
kami yang masih lugu dan butuh bimbingan pasca Bastra.
Dengan kata lain, term ustaz itu menjadi semacam
doa. Syukur-syukur kalau panggilan itu tidak membuat malu saat kita sedang
bergaul bebas. Tiba-tiba saja di tengah keramaian antum dipanggil ustaz.
Sebenarnya
takdir ke-MPO-an saya diawali dengan peristiwa remeh-temeh. Bisa dikatakan
tidak ada sama sekali niat baik menuntut ilmu dengan bermaksud mengikuti
Bastra.
Kejadian
saat itu sambil tertawa sering kami sebut kecelakaan sejarah. Kami berdua
(teman saya ini sudah berkarier sebagai komisioner KPU) —yang saat Isya
nongkrong bermain gitar di kosan—tiba-tiba diajak seorang senior jalan-jalan
keluar.
”Ada
acara makan-makan di dalam kampus,” katanya sambil mengeluarkan motor bebek
Astrea dari parkiran. Betapa semangatnya kami mendengar ucapannya hanya karena saat
itu keadaan kantung sedang kere-kerenya. Tanpa berpikir panjang kami menyahuti
panggilan menyenangkan itu.
Pergilah
kami berbonceng tiga masuk ke area kampus Pascasarjana UNM dan berhenti di
gedung paling belakang dengan penerangan remang-remang.
Tidak
ada tanda-tanda keramaian apalagi pesta makan. Bau nasi pun tidak tercium sama
sekali, di mana hanya ada beberapa laki-laki yang tidak kami kenali berdiri
tidak berjauhan seperti sedang menunggu sesuatu.
”Kanda,
mana acara makan-makannya?”
”Tunggu
saja sebentar lagi. Sedang dipersiapkan.”
Betis
kami dibuat pegal berjongkok menunggu acara dimaksud. Rokok batangan yang kami
beli patungan juga sudah mulai ngos-ngosan. Orang-orang mulai berdatangan. Satu
dua orang di antaranya saya kenali sebagai Maba.
Sepertinya
mereka juga dalam keadaan lapar mengharapkan acara segera dimulai saja.
Tidak
lama datang senior-senior yang saya kenali di tingkat fakultas berboncengan
membawa papan whiteboard, karpet, dan tas seperti sedang mengungsi. Rasanya ada
yang salah saat itu. Senior yang mengajak kami hanya senyum cengar-cengir
seperti memohon sesuatu saat saya meliriknya.
Tidak
usah saya teruskan cerita ini. Kail umpan berhasil memancing kami.
Anda
sudah bisa menebak bagaimana kelanjutan ceritanya. Kami berdua ternyata
digiring mengikuti Bastra tanpa ada perlawanan berarti. Apa boleh buat, nasi
telah menjadi bubur. Sejak saat itu genaplah saya menjadi peserta Bastra.
Diam-diam
saya bersyukur atas kejadian itu. MPO-lah jalan pembuka bagi saya merasakan
dinamika aktivisme kampus. Berkat MPO pulalah saya bagai ”singa podium” di
kelas perkuliahan. Keberanian saya mengeluarkan gagasan di forum-forum datang
setelah saya lulus Bastra.
Walaupun
begitu, Anda jangan tanya saat itu betapa ”belepotannya” kata-kata saya saat
menyatakan sesuatu. Yang penting berani dulu, meski terkadang saya menyesal
tidak ada satupun gagasan saat itu yang saya pikirkan terlebih dahulu. Semuanya
keluar begitu saja. Saya berpendapat dengan berpikir setelah saya
menyatakannya.
Ketika
saya mulai menikmati aktivitas berlembaga di Intra kampus, saat itu juga saya
diamanahi jabatan sebagai sekretaris komisariat hanya karena kondisi anggota
komisariat ya, itu-itu saja. Jabatan struktural pertama saya ini lumayan bikin
repot. Masih semester tiga sudah diserahkan mengurusi surat menyurat ala HMI
yang ketat aturan itu.
Saat
inilah kali pertama saya menggunakan perangkat komputer yang bagi saya masih
asing. Dalam keadaan gaptek itu mengetik surat yang mesti memperhatikan garis
lurus antara ”Kepada Yth” dengan ”Yang bertanda tangan” di bawahnya begitu
menyiksa. Urusannya bisa berjam-jam hanya karena urusan surat selembar.
Hubungan
saya dengan MPO bagaikan cinta dan benci, atau lebih cocok dibilang ”Kehadiran
Anda tidak membuat MPO beruntung, apalagi ketiadaan Anda dari MPO tidak sama
sekali membuat Himpunan rugi.”
Bayangkan,
dari hubungan yang tidak signifikan itu kami-kami yang mengikuti materi
”konstitusi” dibikin tidak berarti apa-apa. Ada tidak ada kehadiran kami, tidak
ada pengaruhnya sama sekali bagi Himpunan. Coba pikirkan betapa digdayanya
Himpunan diucapkan saat itu.
Sekarang,
ketika MPO dilihat dari jauh, ia bagai
anak pengidap stunting. Umurnya melesat jauh tidak diimbangi dengan
perkembangan tubuhnya. Ia menjadi anak cebol yang terhambat pertumbuhannya.
Tidak
terlalu berlebihan jika saya katakan anak cebol ini jadi semakin parah oleh
sebagian orang yang mengeksploitasinya sampai kurus kering. Tubuh MPO diisap
saripatinya sampai tulang sum-sum paling dalam.
Di
esai Alto Makmuralto, sangat lugas apa masalah mendasar saat ini di Himpunan.
MPO jadi jalan pintas mendekati kehidupan elit politik Tanah Air. MPO jadi
wahana saling jegal menjegal sampai di tingkatan Bastra. MPO jadi sarana
mencapai tujuan pragmatis sebagian kader-kadernya.
MPO
jadi nilai tukar demi mendapatkan proyek-proyek pemerintahan. MPO jadi tumbal
sesat menyesatkan. MPO jadi tempat membajak kader-kader potensial. MPO jadi
bumper suksesi politik. MPO jadi
organisasi…, duh!
MPO
dari hari ke hari seperti organisasi jadi-jadian!
Ini
tulisan pertama saya tentang MPO lantaran merasa terpanggil –cieh—untuk
menyambut kritik keras dari mantan Ketua Umum PB, Alto Makmuralto.
Antum,
jika MPO yang ulul albab, sudah mesti singsingkan lengan baju! Mesti insaf
diri!
MPO
hanya bisa diselamatkan mulai dari lapisan grass root nya. Di Komisariat
UNM—termasuk juga FEIS—saya mendengar suara sayup perbaikan.
MPO
memanggil, ustaz!
---
Telah tayang di Kalaliterasi.com