![]() |
Judul buku: Kebebasan
Berpendapat
dan Berorganisasi (Persepsi Mahasiswa UNM)
Penulis: Muhammad Ridhoh
Cetakan: Pertama, Januari, 2020
Penerbit: Sampan Insitute
ISBN: 978-623-92109-2-2
|
BUKU di tangan Anda ini demikian
menarik karena didorong oleh suatu
kebutuhan mendesak. Ari—demikian saya memanggilnya—menyebutnya sebagai
”situasi objektif tentang kebebasan sipil” yang ia temukan dan sadari selama
menempuh aktivisme kampus.
Memang terkesan simplistis mengurai penerapan kebebasan sipil dari ruang lingkup kampus dibanding kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara. Tapi, selain karena ini awalnya merupakan hasil riset Ari untuk menulis skripsinya, mesti dimaklumi kampus sejauh ini adalah satu-satunya ruang publik yang menjadi wahana uji coba demokrasi sebelum sampai di gelanggang sebenarnya. Oleh karena itu, frasa kampus adalah miniatur negara, dapat kita kontekskan ke dalam buku ini.
Memang terkesan simplistis mengurai penerapan kebebasan sipil dari ruang lingkup kampus dibanding kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara. Tapi, selain karena ini awalnya merupakan hasil riset Ari untuk menulis skripsinya, mesti dimaklumi kampus sejauh ini adalah satu-satunya ruang publik yang menjadi wahana uji coba demokrasi sebelum sampai di gelanggang sebenarnya. Oleh karena itu, frasa kampus adalah miniatur negara, dapat kita kontekskan ke dalam buku ini.
Kebebasan sipil, kebebasan berorganisasi,
dan demokrasi adalah tiga kata kunci yang dieksperimenkan Ari ke dalam kampus.
Akan sangat menarik mengikuti alur kajian buku ini jika dilihat dari dua
ekstrem yang sulit bertemu ketika berbicara mengenai tiga konsep kunci di atas.
Ekstrem pertama adalah tatanan birokrasi perguruan tinggi yang memiliki kecenderungan statis karena diatur seperangkat sistem kerja dan aturan. Sedangkan ekstrem kedua adalah ekosistem kemahasiswaan yang dinamis oleh sebab didorong idealisme kemanusiaan yang diterangi seperangkat kesadaran dan keyakinan mengenai kehidupan ideal.
Ekstrem pertama adalah tatanan birokrasi perguruan tinggi yang memiliki kecenderungan statis karena diatur seperangkat sistem kerja dan aturan. Sedangkan ekstrem kedua adalah ekosistem kemahasiswaan yang dinamis oleh sebab didorong idealisme kemanusiaan yang diterangi seperangkat kesadaran dan keyakinan mengenai kehidupan ideal.
Dua ekstrem di atas akan bertolak
belakang bukan di dalam irisannya menyangkut ilmu pengetahuan. Untuk urusan
ini, baik perguruan tinggi (dosen) dan mahasiswa, sama-sama dituntut untuk
memajukan kehidupan seperti yang termaktub dalam tri dharma perguruan tinggi.
Kesan berbeda jika dua ektrem ini diperhadapkan kepada panggilan kemanusiaan
yang kerap menuntut perhatian lebih.
Dengan kata lain, ada pengertian lebih mendalam dari perbandingan antara
intelektualisme dan aktivisme.
Seluruh peran dosen di perguruan
tinggi berkiprah demi menumbuhkan intelektualisme mahasiswa. Walaupun demikian,
ia tidak bisa bergerak jauh atas panggilan tanggung jawab moralnya karena hanya
bertanggung jawab dari sisi akademik belaka. Dengan kata lain, ia hanya
menuntun mahasiswa berilmu demi ilmu, tidak lebih.
Dari sini sudah kelihatan, apa yang dimaksud dengan aktivisme itu sebenarnya, yakni suatu panggilan kemanusiaan yang dikonkretkan ke dalam kerja-kerja keilmuan dan advokasi. Aktivisme dengan kata lain, adalah suatu kemampuan mengubah ilmu ke dalam kerja praksis kemanusiaan.
Dari sini sudah kelihatan, apa yang dimaksud dengan aktivisme itu sebenarnya, yakni suatu panggilan kemanusiaan yang dikonkretkan ke dalam kerja-kerja keilmuan dan advokasi. Aktivisme dengan kata lain, adalah suatu kemampuan mengubah ilmu ke dalam kerja praksis kemanusiaan.
Di dalam konteks aktivisme itulah
kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berdemokrasi menemukan wahana
sekaligus momentumnya. Mahasiswa, dalam hal sebagai kelas masyarakat terididik,
dengan kata lain menjadi satu kelas yang mampu menggunakan ketiga modal asasi
itu jauh lebih terarah dan terukur karena ditunjang dengan modal pendidikannya.
Itu sebab, ditinjau dari konteks
ini, kebebasan di tangan mahasiswa tidak berhenti sekadar menjadi kebebasan
psikis apalagi fisik. Seperti diutarakan nanti melalui buku ini, selain
kebebasan fisik dan psikis, ada namanya kebebasan moral, yakni kebebasan yang
mengandaikan keberadaan consciousness
(kesadaran) dan voluntary (kerelaan).
Dua unsur kebebasan moral ini
selaras dengan teori politik Aristoteles mengenai dasar hakiki manusia dengan
binatang. Perbedaan di antara manusia dan binatang menurut Aritoteles terletak
di dalam logos (akal budi), bukan phone (bunyi). Binatang memiliki
kemampuan phone jika ia merasakan
sakit, tapi hanya manusia-lah yang mampu membahasakan rasa sakitnya melalui logos. Kambing akan mengembik (berbunyi)
jika ia disakiti, tapi manusia lebih dari itu, rasa sakitnya diperlakukan tidak
adil akan ia salurkan ke dalam sistem bahasa berkat terang akal budinya
(logos).
Berdasarkan kategori Aristotelian di
atas, mahasiswa menjadi bagian masyarakat yang paling berpeluang mengedepankan
maksim kebebasannya atas lambaran kesadaran moralnya. Mahasiswa tidak sekadar
berbunyi, tapi mampu mengargumentasikan bunyi ketidakadilan ke dalam tuntutan-tuntutan
wacana.
Hal ini bukan mengenyampingkan peran masyarakat sendiri yang menjadi mayoritas ketika merasakan ketidakadilan, melainkan hanya mahasiswalah kelas masyarakat yang tidak memiliki banyak tuntutan hidup selain dari pada menyuarakan keresahan masyarakat luas.
Hal ini bukan mengenyampingkan peran masyarakat sendiri yang menjadi mayoritas ketika merasakan ketidakadilan, melainkan hanya mahasiswalah kelas masyarakat yang tidak memiliki banyak tuntutan hidup selain dari pada menyuarakan keresahan masyarakat luas.
Kebebasan belakangan ini semakin
sulit didudukkan di dalam wacana politik yang mengandaikan eksistensi logos. Pasca Reformasi, kebebasan
berpendapat dipakai berbagai pihak untuk melegalkan kebebasannya. Meski
dilindungi undang-undang, bukan berarti kebebasan berpendapat dapat dinyatakan
bebas sebebasnya. Di tambah semakin massifnya media sosial, kesadaran
berdemokrasi kian tumbuh seiring semakin pudarnya peran logos di dalamnya.
Di sisi lain, berdasarkan
pengalaman pribadi dan penulis, kampus secara teknis bergeser tidak sekadar menjadi
institusi pendidikan dan kebudayaan, tapi juga sebagai institusi perdagangan.
Sudah dari setidaknya dua dekade, semenjak lahirnya undang-undang perguruan
tinggi, kampus berangsur-angsur mengonsolidasikan kekuatan ekonominya tanpa
mengikutkan elemen-elemen perubahan terutama, mahasiswa. Semenjak tanggung
jawab pemerintah dicabut atas dorongan undang-undang, kampus menjadi otonom
dalam menyelenggarakan pendidikan dan keuangannya.
Dalam konteks ini, dapat dimengerti
mengapa di sebagian besar kampus di Tanah Air muncul perlawanan atas kebijakan
kampus yang tidak populer. Salah satu kebijakan kampus yang paling tidak
populer adalah semakin tingginya biaya kuliah di samping tidak ada perubahan
penyelenggaraan pendidikan. Biaya kuliah boleh naik, tapi tidak dengan
pelayanannya, begitu kira-kira intinya.
Di UNM sendiri, perlawanan atas
kebijakan tidak populer kampus sering mendapatkan rintangan internal dari dua
unsur. Rintangan pertama datang dari unsur birokrasi selaku pengambil kebijakan,
dan rintangan kedua adalah mahasiswa apatis yang mayoritas mudah ditemui di
dalam kampus. Kedua unsur rintangan ini sama-sama dapat dijelaskan melalui
kacamata tiga konsep kunci yang sudah disebutkan di atas.
Maksudnya, melalui tiga konsep sudah disebutkan sebelumnya, dapat ditelisik di mana posisi keberpihakan birokrasi dan mahasiswa di dalam kehidupan demokrasi kampus. Apakah demokrasi telah menjadi sistem diskursif dan praksis menyediakan ruang gerak kebebasan berpendapat dan beroganisasi bagi seluruh elemen perubahan, atau justru sebaliknya, ia hanya menjadi wacana di dalam kelas belaka!
Maksudnya, melalui tiga konsep sudah disebutkan sebelumnya, dapat ditelisik di mana posisi keberpihakan birokrasi dan mahasiswa di dalam kehidupan demokrasi kampus. Apakah demokrasi telah menjadi sistem diskursif dan praksis menyediakan ruang gerak kebebasan berpendapat dan beroganisasi bagi seluruh elemen perubahan, atau justru sebaliknya, ia hanya menjadi wacana di dalam kelas belaka!
Tidak perlu menunggu lama lagi,
silakan Anda telusuri jawaban pertanyaan di atas dalam buku ini. Satu hal yang
mesti secepatnya dilakukan adalah mengapresiasi usaha Ari ini. Tidak banyak
mahasiwa mampu mengubah riset studinya menjadi buku seperti di tangan Anda ini.
Bravo perjuangan.