Dorong Elite Membaca Buku


Muhidin M. Dahlan
Penulis "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur"


---Tanggapan atas esai Muhidin M. Dahlan


ESAI Muhidin M. Dahlan bertitel Jangan Paksa Masyarakat Membaca Buku di kolom Apresiasi Fajar (15/02) demikian memukul. Kritik keras Gus Muh, sapaan akrab Muhidin, ini mesti ditanggapi serius, terutama bagi elemen penggerak literasi.

Inti sari esai Gus Muh itu menurut saya merupakan pisau bedah atas tradisi literasi yang coba dikembangkan elemen penggerak literasi, yang diyakini Gus Muh salah sasaran.


Selama ini, literasi menjadi trend wacana yang jika perlu apa pun tema perbincangannya perlu dikait-kaitkan dengan literasi.

Mendadak buku menjadi penting dan setiap masyarakat mesti didekatkan dengan dunia buku. Menyanggupi ”panggilan peradaban” itu, hampir semua elemen perubahan, terutama di Makassar, mengubah kiblat perhatiannya ke dalam satu isu bersama: literasi.


Di dunia aktivisme, perkubuan penggerak literasi, sejauh pengamatan saya, setidaknya bertransformasi menjadi dua model pendekatan. Pertama, komunitas yang bergerak masuk ke dalam dunia kaum terpelajar dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan menulis.

Kedua, perkumpulan yang melangkahkan ”kaki-kaki perubahannya” ke publik lebih luas, bahkan sampai di pelosok pedesaan dengan menyebarkan buku sebanyak-banyaknya. Kritik Gus Muh melalui esai itu dengan gamblang dia tujukan ke dua model perkubuan literasi ini.


Program utama dua perkubuan literasi di atas sama-sama dimotivasi agar semua golongan masyarakat dapat membaca buku. Kategori Gus Muh dalam esainya memilahnya menjadi tiga simpul utama: petani, buruh, dan nelayan. Tiga simpul ini kelas mayoritas di Indonesia, yang artinya mereka-merekalah yang menjadi sasaran program perkubuan buku di atas.


Mengikuti logika esai Gus Muh, tidak bisa dibayangkan jika seorang petani, atau nelayan membaca buku sementara prasyarat-prasyaratnya, yakni waktu luang, ketahanan fisik, konsentrasi, dan perangkat pengetahuan, tidak mereka miliki. Kata Gus Muh, petani lebih membutuhkan penyuluh pertanian daripada membaca buku, karena hal itu akan banyak menyita waktu dan tenaga mereka yang sudah habis terpakai  bekerja di sawah.


Jadi jelas siapa yang mesti merespon buku sedimikian rupa kalau bukan para pekerja itu? Kaum elite, lebih tepatnya, calon kelas elite tulis Gus Muh, yang mesti diberikan porsi besar untuk didekatkan dengan dunia buku.


Itu artinya, perkubuan literasi selama ini memamah mentah-mentah data-data menyangkut peringkat literasi yang dikeluarkan lembaga-lembaga yang sering dikutip-kutip itu, sehingga lupa membaca keadaan di lapangan. 

Memang benar negeri ini peringkat literasinya masih jauh dari harapan, tapi apa yang sebenarnya ditawarkan Gus Muh adalah suatu model sekaligus metode, alih-alih menjauhkan masyarakat dari buku, melainkan sebaliknya, kiat jitu yang bertolak dari kebudayaan tua masyarakat Indonesia.


Kebudayaan Bugis Makassar, mendudukkan kemampuan mendengarkan sebagai kegiatan membaca. Tradisi membaca lontara di tanah Sulawesi menggunakan metode lisan (suara) sebagai medium transformasi pengetahuan bagi masyarakat. 

Kebudayaan Jawa, dalam fase perkembangan tertentu, memperkuat tradisi lisan melalui tradisi menonton melalui pertunjukkan wayang. Di antara proses transfer ilmu itu, dibutuhkan para expert—Gus Muh menyebutnya para elite—yang berperan ”membunyikan” teks-teks kitab kepada publik saat upacara-upacara khusus.


Kedudukan para ahli ini sangat signifikan dalam kegiatan membaca kitab. Dalam tradisi lontara atau kitab sansekerta para bissu atau kaum brahmana menjadi ”figur intelektual” yang berperan membunyikan, menerjemahkan, menjelaskan, dan mentransmisikan bahasa teks ke dalam konteks para pembacanya (pendengar). Kelompok elite ini yang disebutkan Gus Muh memiliki prasyarat-prasyarat otoritatif dalam mencandra teks daripada masyarakat selainnya.


Bisa dipahami alasan kegelisahan Gus Muh terhadap penggerak literasi. Di lapangan, selain salah sasaran, kenyataannya tidak ada perkubuan literasi yang mengambil posisi ”tukang” transmisi teks ke dalam masyarakat. Sebagian besar dari mereka malah bersikap ambivalen. 

Di kampus-kampus, mahasiswa yang calon para elite, merupakan kelompok yang paling malas membaca buku. Perkubuan literasi boleh jadi ruyak di kampus-kampus, tapi para penggeraknya sendiri tidak disiplin membangun tradisi baca tulis. 


Perkubuan literasi selama ini hanya direspon sebagai trend semata dibanding sebagai etos hidup, apalagi berbuah sistem kerja. Belum disebut pegiat literasi jika tidak membuat perpustakaan keliling, kelas menulis, atau lapakan buku. 

Para penggerak ini lupa bahwa mereka calon ahli, kelas elite yang bakal menengahi publik dari teks-teks ilmu pengetahuan yang demikian abstrak itu. Mereka lupa berbenah diri demi menjadi teladan, agen, figur, dan sosok yang mesti paling sering bersentuhan dengan semesta perbukuan.


Esai Gus Muh, singkatnya, sedang ”menyubit” pihak yang paling bertanggung jawab mengenai urusan dunia perbukuan. Mereka adalah kelompok elite tidak insaf diri yang sedang ”menembak” menggunakan peluru kosong sekaligus salah sasaran.

Pegiat ini tajam ke luar, tapi tumpul ke dalam. Mengkampanyekan agar masyarakat gemar membaca, tapi jarang sekali terlihat intens membaca buku. Merindukan dunia publik sadar literasi, tapi pegiatnya sendiri ogah-ogahan terhadap buku. Yang dibutuhkan sekarang bukan buku sebanyak-banyaknya, melainkan  waktu membaca buku sebanyak-banyaknya, dan itu pekerjaan khusus calon ”kelas elite”, bukan masyarakat.


--

Pernah tayang di Kolongkata.id