Scientific Temper, Fantasi Mayoritas, dan Ku Klux Klan



Poster film Mississippi Burning (1988)
Film dokumenter yang berkisah
tentang pengadilan pembunuhan
tiga aktivis Mississippi.
Di film ini memperlihatkan kekejaman
Ku Klux Klan sebagai perkumpulan kulit putih
paling rasis di Amerika Serikat


INI waktu yang tepat untuk menyeduh kopi setelah beberapa jam bermain bersama Banu yang belum lama pulas sambil menetek. Ia pelan-pelan mulai menutup mata tanpa sedikitpun melepas hisapan mulutnya dari payudara ibunya sampai akhirnya membuatnya benar-benar tandas bersama hujan yang menggantung di atas mega seolah-olah tertutup kapas berwarna abu-abu. Tadi pagi hujan benar-benar membuat kami bertiga seperti beruang kutub yang kandas di atas dipan. Seolah-olah kami bertiga baru saja pulang berburu dan menghabiskan tiga ton ikan salmon saat mereka bermigrasi kembali dari laut ke sungai untuk beranakpinak. Kami jatuh tertidur setelah subuh mulai ikut bergerak bersama jarum jam dan tiba-tiba di depan rumah terdengar bunyi klakson mobil. ”Itu mobil sampah”, telinga saya menangkap suara Lola yang saya yakin tidak sekalipun ia membuka mata saat mengucapkan kalimat itu. Bunyi klakson itu membangunkan kami bertiga. Banu bersuara lirih dan saya bergegas menuju ruang dapur mengambil sisa-sisa makanan yang membuat hidung menangkap udara pesing dari dua tempat sampah tidak jauh dari kamar mandi. Di rumah kami sengaja memisahkan sampah sehari-hari dengan popok banu yang bertumpuk bagai roti berisi kacang giling. Saya percepat langkah dan di saat itulah saya menyadari, mobil sampah itu membangunkan kami tepat pada pukul sembilan lewat setelah saya melihat jam dinding saat mengangkut sampah ke depan rumah, mengambil kunci pagar, dan kemudian membukanya. Hujan masih terus turun dan saya kaget melihat penampilan menyeramkan tukang sampah yang lebih mirip pembunuh psikopat ala film-film Hollywood dari pada penampilan tukang sampah umumnya. Bukannya menggunakan seragam warna jeruk, ia justru menggunakan mantel hujan berwarna hitam dengan tudung kepala yang nyaris menyembunyikan wajah aslinya. Jika saja saat ia berdiri membatu menunggu seseorang membuka pagar menyodorkan sampah diiringi petir berkilat-kilat di balik punggungnya, lengkaplah ia menyerupai adegan film triller Hollywood yang menceritakan seorang pembunuh sedang melakukan aksinya di saat hujan gelap terjadi. Saat saya menutup pagar imajinasi saya malah dikuasai oleh sekelompok orang yang disebut Ku klux Klan (KKK). Lagi-lagi karena tudung mantel tukang sampah yang datang lebih malas dari tukang kredit itu. Maklum mantel menjadi benda paling sering saya saksikan belakangan ini, ditambah sinetron-sinetron ala ”istri-istri teraniaya” Indosiar yang mendahului filmya dengan pengakuan isi hati seorang perempuan dengan menggunakan mantel bertudung menyerupai penyihir abad 18. Namun seketika saya sadar Ku Klux Klan bukan fenomena bangsa ini seperti saat perkumpulan ini hadir di Amerika sekitar satu abad lalu yang menggunakan jubah tudung tinggi dengan ujung yang terlihat seperti nasi tumpeng. Tapi, tetap saja benih-benih rasialis seperti menjadi ideologi Ku Klux Klan nyata sering ditemukan di Indonesia. Di masa lalu, fenomena Ku Klux Klan pada akhirnya melahirkan figur seperti Malcom X atau Martin Luther King yang bangkit mengorganisir kesadaran orang kulit hitam. Di Indonesia tidak ditemukan kumpulan orang bejubah mirip Ku Klux Klan denga ritual-ritual kelompok yang menyerupai acara keagamaan, malah di sini tumbuh organisasi abal-abal disebut kerajaan dengan seragam menyerupai kostum kerajaan Brunei Darussalam, yang sudah pasti tidak mungkin melahirkan figur seperti Martin Luther King mengkonsolidasikan ketakutan, kekhawatiran, kekesalan, ketimpangan masyarakat kulit hitam menjadi organisasi perlawanan. Tinimbang mengkhayalkan pertistiwa itu malah kenyataannya dunia memiliki leluconnya sendiri dengan  menciptakan raja-raja ilusionis seperti yang terakhir muncul dari kerajaan entah di mana dengan gelar King Of the King. Di TVRI tempo hari, seorang pembicara bernama Sudirman Said menjelaskan fenomena kemunculan si pembuat pesawat bernama Chaerul yang ia kaitkan dengan semangat Scientific Temper. Saya menyaksikan dengan seksama seperti seriusnya dua orang pembicara lainnya di dalam monitor yang berasal dari Unhas dan seorang dari perwakilan organisasi guru. Saintifik temper pertama kali diperkenalkan sahabat Soekarno, Jawaharlal Nehru dari India sekitar tahun 60-an untuk membentengi masyarakat India dengan ilmu pengetahuan dari kepercayaan takhayul yang banyak ditemukan saat itu. Saintifik temper intinya merupakan cara pandang bagi seseorang yang melihat sesuatu fenomena dengan pendekatan rasional dan ilmiah. Sekarang saintifik temper (perangai ilmiah) banyak diadaptasikan orang-orang berpikiran terbuka di semua lini kehidupan. Chaerul seorang montir pembuat pesawat disebut Sudirman orang yang sedikit banyak menerapkan sikap perangai ilmiah saat membuat pesawatnya. Konon semangat perangai ilmiah ini ”diambil” Nehru dari semangat kebebasan Imanuel Kant, filsuf dua abad lalu yang terkenal dari slogannya berbunyi sapere aude! Di luar negeri, seperti diceritakan Sudirman yang menyekolahkan anaknya di Australia, memiliki suatu momen pembelajaran dengan mengundang pekerja profesi  di hadapan siswa-siswa untuk menceritakan seluk beluk pekerjaaannya dan apa pentingnya bagi kehidupan umum. Agar lebih mudah dipikirkan, bayangkanlah Anda sebagai orang tua siswa diundang ke dalam kelas oleh sekelompok anak-anak untuk membicarakan profesi Anda. Biar lebih mudah lagi pikirkanlah jika Anda di waktu sekarang berprofesi sebagai supir mobil ekspedisi, yang berarti Anda mesti menceritakan pekerjaan Anda dengan rincian dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Kemana Anda pergi sehari-hari dan jam berapakah Anda pulang ke rumah? Dalam pekerjaan, mobil apa yang Anda pakai? Barang apa saja yang Anda bawa? Tidakkah Anda capek berkeliling dari satu daerah ke daerah lain? Dengan siapakah Anda bekerja, tidak bosankah bersamanya setiap hari? Apakah Anda mempunyai seragam, berapa gaji Anda, di mana Anda berisitirahat jika capai, untuk apa Anda bekerja, berapa kali ban mobil Anda pecah, siapa atasan Anda? Saat menceritakan ini semua sudah tentu tidak membuat Anda mesti berpikir panjang dan menyiapkannya sejak Anda berangkat dari rumah oleh karena begitulah pekerjaan Anda sehari-hari. Sekarang bayangkan jika profesi Anda dilihat dari pendekatan saintifik temper seperti anak-anak sekolah di negeri Kanguru yang mengundang Anda. Kemungkinan Anda akan mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Dengan apa mesin mobil Anda dapat berbunyi? Mengapa orang-orang memerlukan barang yang Anda bawa? Berapa kali putaran ban jika jarak pekerjaan Anda bisa menghasilkan putaran ban sebanyak 329 kali dalam dua menit? Apakah mobil anda menggunakan listrik atau mesin uap? Bisakah Anda menjelaskan kerja energi mobil Anda? Apakah ada perbedaan waktu jika mobil Anda pulang dalam keadaan kosong dengan saat berpergiaan dipenuhi banyak barang? Berapa kecepatanya? Bagaimana pekerjaan Anda menyehatkan tubuh Anda? Bisakah Anda…bagaimanakah Anda…mengapa bisa… Di luar negeri pertanyaan semacam ini kemungkinan akan sering Anda temui karena paradigma pendidikan mereka sudah menerapkan sains sebagai alat kehidupan sehari-hari. Di dunia sosial ada tokoh bernama Auguste Comte—pendiri Sosiologi—yang pernah bermimpi bakal lahir suatu masyarakat yang lebih tertarik mencari tahu mengapa hujan dapat turun ke bumi daripada disibukkan menjawab apakah banjir adalah ulah manusia atau takdir Tuhan. Sekarang, saya mulai khawatir tidak mampu menahan tawa menyaksikan selingan video di jaringan whatsapp. Seorang pemuda menangis tersedu-sedu oleh karena musholanya dirusak segelintir orang di Minahasa Utara. Ia menangis sementara gerombolan orang-orang di sekitarnya berdesak-desakkan merekam kejadian itu menggunakan gawai dan sebagian yang lebih banyak lagi memenuhi area mushola dengan teriakan-teriakan takbir seolah-olah Perang Khandak bakal terjadi kembali. Ini sudah pasti bukan perkumpulan Ku Klux Klan seperti tersebar di Eropa yang mencari-cari penganut Yahudi atau orang berkulit hitam, melainkan segolongan umat Islam yang marah rumah ibadahnya dirusak. Coba bayangkan apakah pemuda dari kerumunan massa yang marah ini bakal kesulitan menjawab pertanyaan saintifik temper dari anak-anak yang bersikeras ingin tahu apa gunanya pekerjaan mengkafir-kafirkan orang yang tidak sealiran? Di depan kelas, ia mungkin akan lebih suka membayangkan siswa-siswa di hadapannya seperti umat Nabi Musa berabad-abad silam yang mesti dibebaskan dari pengaruh tukang sihir Fir'aun, yang membuatnya bersemangat mengemukakan dalil-dalil agama daripada memberikan penjelasan ilmiah mengapa agama dan sains alih bertentangan dan mesti bergandengantangan menyelesaikan problem kemiskinan umat manusia? Jika Anda menemukan orang semacam ini, menurut Auguste Comte orang ini masih membayangkan kita hidup di Abad Pertengahan. Ia merasa satu-satunya jalan demi menjawab semua persoalan adalah dengan menengok apa yang termaktub di dalam kitab suci dan membiarkan sains dan akal budinya berhenti sebelum bisa digunakan. Dari pada membayangkan si orang ini yang salah mengartikan kelas ilmiah sebagai majelis agama, bagaimana jika anak-anak di sekitar Anda selain diajarkan ilmu agama, Anda berikan juga soal-soal yang mesti dipecahkan menggunakan pendekatan saintifik temper. Jika Anda guru, coba bayangkan Anda adalah seorang ilmuwan yang sedang berusaha memecahkan suatu kasus melalui pertanyaan-pertanyaan saintifik bersama murid-murid di depan kelas, daripada berpikir seolah-olah Anda adalah nabi yang berhak menilai benar salahnya isi kepala orang-orang. Mungkin saja suatu waktu percobaan demikian bakal melahirkan orang seperti Chaerul atau Nehru dari kelas sederhana yang Anda ampu, dan malah bukan menciptakan pribadi halusinatif atau golongan pemarah yang berpikir merekalah wakil Tuhan paling absah. Tentu di pagi hari Anda tidak ingin pintu rumah Anda digedar-gedor seseorang seperti tukang sampah yang berlagak bagai psikopat versi Hollywood itu, hanya karena Anda berbeda keyakinan.