INI waktu yang tepat untuk menyeduh
kopi setelah beberapa jam bermain bersama Banu yang belum lama pulas sambil
menetek. Ia pelan-pelan mulai menutup mata tanpa sedikitpun melepas hisapan
mulutnya dari payudara ibunya sampai akhirnya membuatnya benar-benar tandas
bersama hujan yang menggantung di atas mega seolah-olah tertutup kapas berwarna
abu-abu. Tadi pagi hujan benar-benar membuat kami bertiga seperti beruang kutub
yang kandas di atas dipan. Seolah-olah kami bertiga baru saja pulang berburu
dan menghabiskan tiga ton ikan salmon saat mereka bermigrasi kembali dari laut
ke sungai untuk beranakpinak. Kami jatuh tertidur setelah subuh mulai ikut
bergerak bersama jarum jam dan tiba-tiba di depan rumah terdengar bunyi klakson
mobil. ”Itu mobil sampah”, telinga saya menangkap suara Lola yang saya yakin
tidak sekalipun ia membuka mata saat mengucapkan kalimat itu. Bunyi klakson itu
membangunkan kami bertiga. Banu bersuara lirih dan saya bergegas menuju ruang
dapur mengambil sisa-sisa makanan yang membuat hidung menangkap udara pesing
dari dua tempat sampah tidak jauh dari kamar mandi. Di rumah kami sengaja
memisahkan sampah sehari-hari dengan popok banu yang bertumpuk bagai roti
berisi kacang giling. Saya percepat langkah dan di saat itulah saya menyadari,
mobil sampah itu membangunkan kami tepat pada pukul sembilan lewat setelah saya
melihat jam dinding saat mengangkut sampah ke depan rumah, mengambil kunci
pagar, dan kemudian membukanya. Hujan masih terus turun dan saya kaget melihat
penampilan menyeramkan tukang sampah yang lebih mirip pembunuh psikopat ala
film-film Hollywood dari pada penampilan tukang sampah umumnya. Bukannya
menggunakan seragam warna jeruk, ia justru menggunakan mantel hujan berwarna
hitam dengan tudung kepala yang nyaris menyembunyikan wajah aslinya. Jika saja
saat ia berdiri membatu menunggu seseorang membuka pagar menyodorkan sampah
diiringi petir berkilat-kilat di balik punggungnya, lengkaplah ia menyerupai
adegan film triller Hollywood yang menceritakan seorang pembunuh sedang
melakukan aksinya di saat hujan gelap terjadi. Saat saya menutup pagar
imajinasi saya malah dikuasai oleh sekelompok orang yang disebut Ku klux Klan
(KKK). Lagi-lagi karena tudung mantel tukang sampah yang datang lebih malas
dari tukang kredit itu. Maklum mantel menjadi benda paling sering saya saksikan
belakangan ini, ditambah sinetron-sinetron ala ”istri-istri teraniaya” Indosiar
yang mendahului filmya dengan pengakuan isi hati seorang perempuan dengan
menggunakan mantel bertudung menyerupai penyihir abad 18. Namun seketika saya
sadar Ku Klux Klan bukan fenomena bangsa ini seperti saat perkumpulan ini hadir
di Amerika sekitar satu abad lalu yang menggunakan jubah tudung tinggi dengan
ujung yang terlihat seperti nasi tumpeng. Tapi, tetap saja benih-benih rasialis
seperti menjadi ideologi Ku Klux Klan nyata sering ditemukan di Indonesia. Di
masa lalu, fenomena Ku Klux Klan pada akhirnya melahirkan figur seperti Malcom
X atau Martin Luther King yang bangkit mengorganisir kesadaran orang kulit
hitam. Di Indonesia tidak ditemukan kumpulan orang bejubah mirip Ku Klux Klan
denga ritual-ritual kelompok yang menyerupai acara keagamaan, malah di sini
tumbuh organisasi abal-abal disebut kerajaan dengan seragam menyerupai kostum
kerajaan Brunei Darussalam, yang sudah pasti tidak mungkin melahirkan figur
seperti Martin Luther King mengkonsolidasikan ketakutan, kekhawatiran,
kekesalan, ketimpangan masyarakat kulit hitam menjadi organisasi perlawanan.
Tinimbang mengkhayalkan pertistiwa itu malah kenyataannya dunia memiliki
leluconnya sendiri dengan menciptakan
raja-raja ilusionis seperti yang terakhir muncul dari kerajaan entah di mana
dengan gelar King Of the King. Di TVRI tempo hari, seorang pembicara bernama
Sudirman Said menjelaskan fenomena kemunculan si pembuat pesawat bernama
Chaerul yang ia kaitkan dengan semangat Scientific Temper. Saya menyaksikan
dengan seksama seperti seriusnya dua orang pembicara lainnya di dalam monitor
yang berasal dari Unhas dan seorang dari perwakilan organisasi guru. Saintifik
temper pertama kali diperkenalkan sahabat Soekarno, Jawaharlal Nehru dari India
sekitar tahun 60-an untuk membentengi masyarakat India dengan ilmu pengetahuan
dari kepercayaan takhayul yang banyak ditemukan saat itu. Saintifik temper
intinya merupakan cara pandang bagi seseorang yang melihat sesuatu fenomena
dengan pendekatan rasional dan ilmiah. Sekarang saintifik temper (perangai
ilmiah) banyak diadaptasikan orang-orang berpikiran terbuka di semua lini
kehidupan. Chaerul seorang montir pembuat pesawat disebut Sudirman orang yang
sedikit banyak menerapkan sikap perangai ilmiah saat membuat pesawatnya. Konon
semangat perangai ilmiah ini ”diambil” Nehru dari semangat kebebasan Imanuel
Kant, filsuf dua abad lalu yang terkenal dari slogannya berbunyi sapere aude!
Di luar negeri, seperti diceritakan Sudirman yang menyekolahkan anaknya di
Australia, memiliki suatu momen pembelajaran dengan mengundang pekerja
profesi di hadapan siswa-siswa untuk
menceritakan seluk beluk pekerjaaannya dan apa pentingnya bagi kehidupan umum.
Agar lebih mudah dipikirkan, bayangkanlah Anda sebagai orang tua siswa diundang
ke dalam kelas oleh sekelompok anak-anak untuk membicarakan profesi Anda. Biar
lebih mudah lagi pikirkanlah jika Anda di waktu sekarang berprofesi sebagai
supir mobil ekspedisi, yang berarti Anda mesti menceritakan pekerjaan Anda
dengan rincian dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Kemana Anda pergi
sehari-hari dan jam berapakah Anda pulang ke rumah? Dalam pekerjaan, mobil apa
yang Anda pakai? Barang apa saja yang Anda bawa? Tidakkah Anda capek
berkeliling dari satu daerah ke daerah lain? Dengan siapakah Anda bekerja,
tidak bosankah bersamanya setiap hari? Apakah Anda mempunyai seragam, berapa
gaji Anda, di mana Anda berisitirahat jika capai, untuk apa Anda bekerja,
berapa kali ban mobil Anda pecah, siapa atasan Anda? Saat menceritakan ini
semua sudah tentu tidak membuat Anda mesti berpikir panjang dan menyiapkannya
sejak Anda berangkat dari rumah oleh karena begitulah pekerjaan Anda
sehari-hari. Sekarang bayangkan jika profesi Anda dilihat dari pendekatan
saintifik temper seperti anak-anak sekolah di negeri Kanguru yang mengundang
Anda. Kemungkinan Anda akan mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Dengan
apa mesin mobil Anda dapat berbunyi? Mengapa orang-orang memerlukan barang yang
Anda bawa? Berapa kali putaran ban jika jarak pekerjaan Anda bisa menghasilkan
putaran ban sebanyak 329 kali dalam dua menit? Apakah mobil anda menggunakan
listrik atau mesin uap? Bisakah Anda menjelaskan kerja energi mobil Anda?
Apakah ada perbedaan waktu jika mobil Anda pulang dalam keadaan kosong dengan
saat berpergiaan dipenuhi banyak barang? Berapa kecepatanya? Bagaimana
pekerjaan Anda menyehatkan tubuh Anda? Bisakah Anda…bagaimanakah Anda…mengapa
bisa… Di luar negeri pertanyaan semacam ini kemungkinan akan sering Anda temui
karena paradigma pendidikan mereka sudah menerapkan sains sebagai alat
kehidupan sehari-hari. Di dunia sosial ada tokoh bernama Auguste Comte—pendiri
Sosiologi—yang pernah bermimpi bakal lahir suatu masyarakat yang lebih tertarik
mencari tahu mengapa hujan dapat turun ke bumi daripada disibukkan menjawab
apakah banjir adalah ulah manusia atau takdir Tuhan. Sekarang, saya mulai
khawatir tidak mampu menahan tawa menyaksikan selingan video di jaringan
whatsapp. Seorang pemuda menangis tersedu-sedu oleh karena musholanya dirusak
segelintir orang di Minahasa Utara. Ia menangis sementara gerombolan
orang-orang di sekitarnya berdesak-desakkan merekam kejadian itu menggunakan
gawai dan sebagian yang lebih banyak lagi memenuhi area mushola dengan
teriakan-teriakan takbir seolah-olah Perang Khandak bakal terjadi kembali. Ini
sudah pasti bukan perkumpulan Ku Klux Klan seperti tersebar di Eropa yang
mencari-cari penganut Yahudi atau orang berkulit hitam, melainkan segolongan
umat Islam yang marah rumah ibadahnya dirusak. Coba bayangkan apakah pemuda
dari kerumunan massa yang marah ini bakal kesulitan menjawab pertanyaan
saintifik temper dari anak-anak yang bersikeras ingin tahu apa gunanya
pekerjaan mengkafir-kafirkan orang yang tidak sealiran? Di depan kelas, ia
mungkin akan lebih suka membayangkan siswa-siswa di hadapannya seperti umat
Nabi Musa berabad-abad silam yang mesti dibebaskan dari pengaruh tukang sihir Fir'aun,
yang membuatnya bersemangat mengemukakan dalil-dalil agama daripada memberikan
penjelasan ilmiah mengapa agama dan sains alih bertentangan dan mesti
bergandengantangan menyelesaikan problem kemiskinan umat manusia? Jika Anda
menemukan orang semacam ini, menurut Auguste Comte orang ini masih membayangkan
kita hidup di Abad Pertengahan. Ia merasa satu-satunya jalan demi menjawab
semua persoalan adalah dengan menengok apa yang termaktub di dalam kitab suci
dan membiarkan sains dan akal budinya berhenti sebelum bisa digunakan. Dari
pada membayangkan si orang ini yang salah mengartikan kelas ilmiah sebagai
majelis agama, bagaimana jika anak-anak di sekitar Anda selain diajarkan ilmu
agama, Anda berikan juga soal-soal yang mesti dipecahkan menggunakan pendekatan
saintifik temper. Jika Anda guru, coba bayangkan Anda adalah seorang ilmuwan
yang sedang berusaha memecahkan suatu kasus melalui pertanyaan-pertanyaan
saintifik bersama murid-murid di depan kelas, daripada berpikir seolah-olah
Anda adalah nabi yang berhak menilai benar salahnya isi kepala orang-orang.
Mungkin saja suatu waktu percobaan demikian bakal melahirkan orang seperti
Chaerul atau Nehru dari kelas sederhana yang Anda ampu, dan malah bukan
menciptakan pribadi halusinatif atau golongan pemarah yang berpikir merekalah
wakil Tuhan paling absah. Tentu di pagi hari Anda tidak ingin pintu rumah Anda
digedar-gedor seseorang seperti tukang sampah yang berlagak bagai psikopat
versi Hollywood itu, hanya karena Anda berbeda keyakinan.
Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...