Kitab Hammurabi



Code of Hammurabi atau Kitab Hammurabi
Sekujur sisinya diukir 282 peraturan
menggunakan bahasa Akkadia.
Prasasti ini sekarang menjadi koleksi Museum Louvre Prancis


KALI pertama saya mendengar Hukum Hammurabi yakni dari pelajaran sosiologi. Saat itu saya sudah duduk di kelas tiga sekolah menengah atas, dan seperti umumnya teman-teman saat itu, saya mulai berpikir masa SMA adalah masa ketika anak-anak seperti kami harus berhenti bersekolah. Setelah itu jika dinyatakan lulus, kami beranggapan bisa kemana saja termasuk pergi  ke terminal pasar menghabiskan waktu dan melakukan apa saja tanpa harus dibebani ini itu karena masih dianggap sebagai pelajar sekolah. Hukum Hammurabi diceritakan berasal dari masyarakat Mesir kuno Babilonia, begitu diceritakan guru sosiologi kami saat itu. Masyarakat Mesir kuno adalah masyarakat yang suka hidup di sekitar Sungai Nil karena tanahnya subur dan lebih lembab daripada tanah di pedalaman Afrika saat itu. Keadaan tanah di sekitar sungai ini sangat cocok untuk kehidupan binatang sejenis sapi atau domba karena ditumbuhi rumput-rumput hijau. Keadaan ini memungkinkan masyarakat untuk hidup menetap dengan mengandalkan peternakan dan bercocok tanam setelah hidup berpindah-pindah seperti generasi kehidupan masyarakat sebelum mereka. Guru kami mengatakan Hukum Hammurabi dibuat oleh seorang raja bernama Hammurabi untuk mengatur kehidupan manusia yang sudah mulai hidup secara bermasyarakat. Bagi para ahli, hukum ini adalah produk hukum tertua di dunia, yang pernah diciptakan manusia yang dipahat di prasasti setinggi delapan kaki di tengah keramaian yang disebut kota untuk mengimbau masyarakat agar selalu bertindak sesuai norma-norma kebaikan. Kalau tidak salah ingat, demikian pernah dikatakan saat itu, yang membuat saya membayangkan suatu kehidupan manusia yang suka berjalan-jalan melewati batu raksasa di pusat keramaian sambil bertelanjang dada seperti orang-orang Mesir kuno yang selalu menggunakan tudung kepala berkepala ular. Pelajaran ini bukan pelajaran sejarah, dan benar-benar dikatakan guru sosiologi kami, Ibu Suraedah, walaupun saya sendiri meragukannya, oleh sebab produk ”orang-orang terdahulu” saya pikir lebih pantas menjadi objek pembicaraan ilmu Sejarah. Saat itu Hukum Hammurabi muncul di lembaran kerja siswa, yang suka kami sebut LKS, yang membuat Ibu Suraedah senang membicarakannya dengan seringkali membuat pertanyaan-pertanyaan untuk kami jawab. Sosiologi adalah pelajaran yang mudah, begitu saya pikir saat itu, karena saya hanya tinggal menghapal dua atau tiga kalimat yang tertera di LKS jika Ibu Suraedah mengajukan pertanyaan, dan saya bisa menyampaikannya persis seperti apa yang ditulis dalam buku. Kadang-kadang memang tidak mesti harus sama seperti dalam buku, Anda hanya cukup mengetahui kata-kata kuncinya dan mampu melihat hubungan kata-kata itu dengan bunyi pertanyaan yang diberikan. Trik itu lumayan ampuh untuk pelajaran sosiologi dan itu membuat saya menjadi murid yang gampang diingat karena sering terpilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Ibu Suraedah. Saat naik kelas tiga, dan mesti berpisah dari teman-teman selama kelas 1 dan 2, merupakan masa-masa yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Saya sedih karena itu berarti kami akan saling berpisah dari teman sebangku sekaligus geng pergaulan di kelas selama ini. Teman yang paling saya ingat saat ini adalah  Asdar, kawan sebangku, dan kami memutuskan untuk tidak saling berpisah jika kami naik ke kelas dua nanti. Kesetiaan kami atas pilihan ini sama seperti kisah kesetiaan Lennie dan George  dalam Of Mice and Men karya John Steinbeck, walaupun mesti saya katakan di sini, kami sama-sama bersikukuh bahwa saat itu tidak ada di antara kami yang ingin seperti Lennie yang bodoh dan lugu. Sekarang Asdar telah berprofesi sebagai polisi, cita-citanya yang selalu ia gadang-gadang sebagai profesi terbaik semenjak dari kelas satu. Asdar salah satu orang yang memiliki kepercayaan diri secara berlebihan bahwa masa depannya akan bisa bekerja di institusi kepolisian negara, dan ”mulut besarnya” itu sudah ia buktikan setelah berpisah cukup lama sejak kami lulus. Asdar sekarang tampak memiliki badan yang lebih berisi setelah saya melihat dan berteman dengannya melalui facebook. Ia sering saya lihat memasang foto-foto kala bertugas di jalan raya, atau sedang berpose di depan mobil sedan PATWAL nya. Naik ke kelas tiga IPS sama artinya kami tidak akan lagi menemukan pelajaran berisi angka-angka yang harus kami jumlahkan menggunakan rumus-rumus, atau simbol-simbol dalam ilmu fisika dan kimia, yang tidak kami pahami mengapa pelajaran seperti itu sangat disukai beberapa teman kami, seperti juga Nurlaela. Nurlaela adalah murid yang tanpa ragu selalu mengisi slot kursi di paling depan tepat di depan papan tulis berada. Nurlaela murid tercerdas di kelas kami. Ia bersama kecerdasannya seakan-akan diciptakan ke dunia seperti suatu amanah khusus demi menjawab setiap soal yang ditulis setiap guru di atas papan, dan selalu saja membuatnya mampu menjawab dengan benar. Ketika ini terjadi, hampir semua isi buku catatan kami, terutama pelajaran hitung-menghitung, adalah hasil kerja Nurlaela di atas papan. Saat itu terjadi, sebagian dari kami  dibuat seperti kerbau dungu yang hanya bertugas mencatat ulang hasil pekerjaannya di atas papan ke dalam buku catatan. Suatu waktu, Nurlaela mengeluh merasakan sakit di kepalanya saat mengikuti pelajaran matematika. Saat itu kami sedang mengerjakan soal yang sulitnya bukan main, yang diberikan Ibu Ros di atas papan. ”Jangan terlalu banyak berpikir, Laela,” kami mengingatkannya seperti koor lagu dari bangku paling belakang sambil terkekeh-kekeh bahwa otaknya sepertinya sudah aus. Kami mengira siang itu juga akan membuat Nurlaela tidak lama lagi menjadi gila karena terlalu keras menggunakan pikirannya. Peristiwa itu diam-diam membuat kami membatin ”ilmu matematika ternyata bisa menjadi penyebab sakit kepala dan pusing-pusing.” Kecerdasan Nurlaela tidak ada duanya di kelas saat itu, tetapi tetap saja setelah peristiwa sakit kepala itu membuat kami mulai khawatir otak yang dipaksa bekerja terlalu keras untuk bidang-bidang pelajaran tertentu, bukan saja membuat kepala kami akan sakit seperti Laela, tapi bisa membuat kami sinting. Kami takut mengalami kejadian yang lebih parah dari Nurlaela, yakni tanpa bisa kami kendalikan kepala kami tiba-tiba meledak membuat kaget seisi kelas karena bersikeras ingin memecahkan soal yang tidak satupun orang bisa menjawabnya. Kata orang Jerman hasil pendidikan adalah ”apa yang kita ingat setelah yang lain dilupakan.” Saya sekarang masih mengingat Hukum Hammurabi dan melupakan tabel zat dalam ilmu kimia, seperti saya mengalami kesulitan jika mengingat-ingat rumus-rumus matematika yang pernah saya dapatkan selama bersekolah.  Banyak yang saya pelajari hingga saat ini, terutama di masa sekolah, tapi tidak semuanya dapat saya simpan dengan baik. Ternyata ingatan bekerja secara politis oleh sebab Anda dapat memilih mengingat sesuatu jika selama sesuatu itu melibatkan emosi dan berkesan bagi Anda. Saya bisa mengingat Hukum Hammurabi karena otak saya begitu emosional menanggapinya sampai mampu membayangkan bagaimana keadaan pasar, kuil-kuil, padang pasir, rumah-rumah tanah, jalan raya, tenda-tenda, dan bagaimana cara orang berpakaian saat itu. Saya yakin, inilah sebab yang membuat Nurlaela merasakan sakit di bagian kepalanya. Ia berpikir sampai-sampai menggunakan emosi dan bersikeras ingin memecahkan soal yang sulitnya bukan main itu. Sebagaimana saya yang masih mengingat Hukum Hammurabi, sekarang ia pasti bakal mengalami kesulitan melupakan bunyi soal matematika yang ingin ia pecahkan saat 16 tahun silam.