Ketika Saya Mengutarakan Keinginan untuk Memelihara Burung



A.S Laksana
Sastrawan dan esais asal Semarang
Mantan wartawan Detik sebelum dibredel Orba

SETIAP benda dapat menyampaikan sesuatu. Laptop, meja, tisu, apel, kolam renang, teleskop, dll., dapat berbicara banyak dan beberapa di antaranya mampu membangkitkan kenangan. Tidak semua benda-benda di sekitar kita mengingatkan sekelumit pengalaman, walaupun tidak sedikit juga ada benda-benda yang terkait dengan masa lalu kita dan itu menarik untuk dituliskan karena mengingatkan kita kepada seseorang, ide, atau pengalaman-pengalaman unik. Jika Anda kehilangan ide menulis, seperti dikatakan AS. Laksana, benda-benda di sekitar Anda dapat menyampaikan sesuatu untuk mengilhami Anda agar dapat segera menulis. Setelah membaca esai Mas Sulak, saya segera teringat dan membuka file tulisan ini: Banu selalu antusias melihat ayam semenjak kali pertama ia diperlihatkan oleh Bapak. Kali pertama ia melihat ayam dengan jarak tertentu membuatnya seolah-olah menyadari ia bukanlah satu-satunya mahluk hidup di dunia ini yang mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Di rumah, kakek Banu memelihara Ayam sebagaimana ia pernah menjadikan burung perkutut sebagai peliharaannya. Dua puluh dua tahun lalu, setelah pulang sekolah seringkali saya duduk berjongkok menatap lama-lama perkutut-perkutut di dalam kandang demi melihat gerak-gerik mereka ketika saya lempari jagung. Saya agak lupa apakah di waktu ini saya sudah mengetahui bahwa perkutut dan merpati adalah dua jenis burung yang berbeda walaupun seringkali sulit saya bedakan. Di saat itu belum sekalipun saya melihat burung merpati dan hanya mengetahui perkutut memiliki bunyi yang khas dan hanya diam ketika saya mengamatinya. Saya pernah dibuat takjub ketika suatu siang sepulang dari kantor Bapak membawa seekor burung kakatua berjambul kuning dengan paruh berwarna hitam. Seketika burung perkutut yang dipelihara lebih dulu di dalam kandang di dekat pohon pisang menjadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan burung ini. Tingkah pendiam burung perkutut membuat saya bosan dan mau tidak mau membuat saya tidak mampu menolak mendengarkan suara khasnya ketika berbunyi. Tubuh burung kakatua dibawa Bapak lebih besar dari burung perkutut. Selain suka bergerak dan pandai bergantungan, bulunya putihnya demikian bersih dengan kaki hitam bersisik seperti sisik ikan. Saya belum pernah melihat burung kakatua sedekat itu kecuali seekor burung elang yang dipelihara oleh entah siapa di rumah sakit W. Z Johannes, Kupang, sekitar dua dekade lalu. ”Matamu mesti  diperiksa di rumah sakit,” kata Bapak saat saya diduga mempunyai kelainan mata. Saat itu saya masih duduk di sekolah dasar dan tidak ingin hidup selamanya menggunakan kaca mata seperti Ibu Bene, guru kelas 6 yang terkenal galak. Saat itu saya kira setiap orang menggunakan kacamata adalah orang yang galak.  Mamak kerap marah-marah menggunakan kacamata di rumah dengan menggunakan bahasa daerah yang sulit saya mengerti di usia sekecil itu. Setelah sepulang dari rumah sakit, mata saya dinyatakan sehat. Kesimpulan itu diambil  setelah saya diuji dan disuruh melihat beragam bentuk huruf dari jarak tertentu menggunakan kacamata khusus yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Sejak itu dan ketika mesti mendatangi rumah sakit W. Z Johannes, burung pemakan daging itu benar-benar nyata yang membuat saya seolah-olah akan segera sembuh pasca melihatnya. Setelah melewati gerbang dari atas tangki motor Suzuki saya melihat burung itu begitu tenang seolah-olah ia diinstruksikan untuk berdiri diam bagai patung. Warna bulunya yang kecokelatan dan ujung cakarnya yang melengkung membuat burung itu bagai penjaga yang siap menerkam jika ada seseorang yang berbuat usil. Dulu saya mengira lambang negara Indonesia diambil dari burung elang ini, dan bukannya burung garuda yang ternyata hanya sebagai burung legenda. Burung kakatua Bapak tidak lama dipelihara. Suatu hari ia seketika dapat lolos dari ikatannya dan membuat kami merelakannya hilang di balik pepohonan setelah kelimpungan mengejarnya sampai ke hutan di belakang rumah. Saat dipelihara saya sering memberikan apa saja kepadanya untuk menguji seberapa kuat kekuatan paruhnya, dan percaya kekuatan menggigitnya mampu memutuskan jari kelingking orang dewasa jika ia mau. Semenjak tinggal terpisah dari orangtua, ada masa saya ingin menjadi seperti Bapak dengan memelihara beberapa ekor burung perkutut. Sekarang saya sedang mempertimbangkan memelihara ayam setelah istri saya sama sekali tidak menggubris ketika saya mengutarakan keinginan untuk memelihara burung. Saya meyakini memelihara burung dapat menjadi alternatif membuat jiwa ini agak sedikit plong. Setelah Banu menyukai ayam, saya kira keinginan saya bisa sedikit terobati dengan menggantinya menjadi ayam saja, dengan catatan menganggapnya seakan-akan itu merupakan burung elang yang sedang malas saja utuk terbang di udara.