![]() |
Charles Darwin ( 1809–1882)
Seorang naturalis dan ahli geologi Inggris
Dikenal atas kontribusinya kepada teori evolusi
|
SAYA sedang membaca daftar 25 film
terbaik 2019 dari blog khusus mengulas perkembangan film terbaru lalu seketika
berpikir untuk menulis fenomena aneh bin ajaib beberapa minggu belakangan ini:
Keraton Agung Sejagad dan Sunda Empire. Setelah awal tahun 2020 dibuat heran
atas banjir Jakarta dan gempa di beberapa wilayah, tiba-tiba kita dibuat kaget,
bagai semut bermunculan dari dalam tanah, muncul gerombolan orang-orang yang
berseragam mirip tentara Spanyol di abad 18 dan mengaku-ngaku memiliki
kekuasaan seluruh dunia. Kali pertama saya melihatnya di layar kaca, alih-alih
membayangkan keberanian mereka seperti tentara kerajaan Inggris yang gagah
berani mengacung-acungkan bedil ketika Eropa masih menjadi lahan konflik,
mereka malah lebih nampak seperti seorang komandan Jepang di acara Benteng
Takeshi yang memimpin pasukan kelas pekerja menggunakan helm pengaman dan tidak
lama malah berakhir di sel penjara. Mereka yang dipimpin seorang raja dan ratu
ini, memang seperti kerumunan semut yang dipimpin seorang raja dan ratu
walaupun sarang mereka tidak disembunyikan di dalam tanah. Justru kerajaan yang
mereka buat didekorasi menyerupai kerajaan sesungguhnya. Tidak jelas apa tugas
mereka selain kepercayaan diri mengklaim sebagai kerajaan titisan dari masa
silam. Beberapa tahun lalu saat Jokowi mencalonkan diri menjadi presiden,
beberapa kawan saya banyak memberikan alasan mengapa pria asal Solo ini pantas
menjadi presiden. Satu di antara alasan itu berbunyi Jokowi sudah ditakdirkan
seperti diramalkan dalam babad Jawa sebelum kedatangan sosok pemimpin maha adil
dan jujur yang bakal mengambilalih kepemimpinan dunia. Saya bergidik kali
pertama mendengarnya oleh karena keyakinan itu diceritakan dengan cara tertentu
dan keberadaan pemimpin-yang-sebenarnya
itu menjadi tanda akhir dunia sebelum alam semesta betul-betul kiamat. Manusia
memang senang membangun kisah dan menjadikannya sebagai narasi keyakinan.
Beberapa waktu lalu, seolah-olah dunia memiliki bentuk baru setelah bermunculan
sekelompok orang yang membalikkan temuan sains dengan mengatakan dunia ini
seperti bidang datar. Narasi tentang dunia seperti ini di masa sekarang layak
dikatakan bodoh oleh karena sains sudah membuktikan bahwa dunia tidak
sesederhana dataran lapangan sepak takraw. Tapi apa boleh buat, orang-orang
seperti ini senang dengan narasi bumi datar seperti sama senangnya mereka
terhadap keyakinan di akhir dunia nanti seluruh bulu janggut mereka akan
dikonversi menjadi surat kepemilikan bidadari di surga kelak. Bagi masyarakat
suku-suku di sekitar sungai Amazon, seperti juga sapi bagi umat Hindu atau burung
elang bagi Mesir kuno, meyakini ular sebagai hewan suci. Sejarah asal-usul
kedatangan mereka di muka bumi diyakini berasal dari rahim ular. Di kawasan
sekitar sungai Amazon, Anda tidak akan berani mengemukakan pemikiran Charles
Darwin bahwa sesungguhnya kita berasal dari monyet, oleh sebab narasi Anda tidak cocok dengan kehidupan
mereka. Kera atau monyet lebih suka hidup di atas pepohonan yang tidak seperti
ular-ular di sungai Amazon yang banyak berkembang biak di dalam sungai. Jadi
narasi semacam sejarah asal-usul, kekuasaan, mitos, dan kerajaan, seperti
masyarakat yang hidup di sekitar sungai Amazon sangat dekat dengan cara hidup
mereka sehari-hari. Belakangan saya baru tahu, mengapa tetua suku-suku di
sekitar sungai Amazon meyakini ular
sebagai nenek moyang mereka selain daripada bentuk sungai Amazon yang
membentang panjang meliuk-liuk seperti ular raksasa. Dengan menceritakan ini
saya tidak ingin memaksa Anda untuk mengatakan orang seperti Ki Ageng Rangga
Sasana atau Totok Santoso Hadiningrat berasal dari ular atau hewan sejenisnya.
Itu mustahil dapat dipecahkan oleh ahli genetika beratus-ratus tahun dari
sekarang mengingat sama tidak masuk akalnya mengatakan bahwa dua orang ini
seorang raja dan mampu mengendalikan nuklir dari jarak jauh. Di grup whatsapp
yang beranggotakan da’i-da’i, seseorang dengan yakin mengirimkan beberapa
alasan mengapa fenomena ini muncul: Pertama ia mengatakan ini ada hubungannya
dengan motif ekonomi karena seragam ala militer yang mereka pakai tidak
diberikan secara cuma-cuma, melainkan diperjualbelikan seperti pengepul sarang
burung walet membelinya dari peternakan burung walet. Logika ini dapat kita
gandakan ke hal-hal semisal mereka membutuhkan kartu anggota kekaisaran, iuran
kelompok, rapat kerajaan, menyewa gedung kerajaan, perabotan dan souvenir
kerajaan, pernak pernik senjata, sampai tidak lupa perhiasaan yang mencerminkan
gemerlap perhiasaan raja-raja. Tidak mungkin semua ini mereka pinjam di museum
terdekat kecuali semua itu dibeli menggunakan uang. Kedua, orang yang mengirimkan
pesan singkat di WA menyebut fenomena ini berhubungan dengan keinginan
masyarakat yang menghendaki status sosial dengan cara instan. Di Jakarta,
sangat mudah menemukan ibu-ibu berkumpul di sudut-sudut kafe mal berkacamata hitam sembari bercerita tentang
kucing peliharaan mereka. Mereka ini tidak kalah mentereng dari artis-artis
sosialita yang senang mengoleksi tas dan sepatu hingga membutuhkan lemari
membumbung tinggi sampai ke puncak langit-langit rumah. Saya ingat figur Tikus
dalam buku ditulis Roanne van Voorst ”Tempat Terbaik di Dunia”. Suatu waktu
Roanne menginginkan dirinya berbelanja perlengkapan laptop ke mal dengan
mengajak Tikus. ”Saya tidak layak masuk ke tempat seperti itu, itu tempat
orang-orang kaya” begitu kurang lebih pengakuan Tikus karena merasa minder dan
inferior dengan tempat mentereng seperti itu. Saya kadang juga seperti Tikus,
kikuk ketika ingin memasuki gedung megah yang berisikan orang berpenampilan
necis dan berdasi, seperti sama khawatirnya saya berbicara dengan orang seperti
pemelihara kucing itu tadi, atau artis
pengoleksi tas-tas mahal. Kehidupan kadang tidak adil karena memelihara
orang-orang yang status sosialnya ditentukan dari barang-barang yang
dimilikinya dan mengucilkan orang-orang lapisan bawah yang dekil dan kumal.
Karena ketidakadilan inilah anggota kerajaan Sunda Empire dan Solo Sejagad Raya
menciptakan narasinya sendiri dengan membuat simbol-simbol sosial yang
menandakan suatu kekuasaan tertentu. Dalam suatu foto saya melihat Ki Ageng
Sasana—”penguasa” Sunda Empire—nampak pede menggunakan seragam hijau pekat
mirip seorang jenderal. Satu-satunya saya ingat dari itu adalah warna baret
yang ia kenakan menyerupai tentara keamanan PBB yang pernah saya saksikan dalam
film Dunia Sophie, dan sosok Wiranto ketika Soeharto masih sehat wal alfiat
menjadi presiden orang tua kita. Di belakang Soeharto, di seragam Wiranto,
tersemat di dada kirinya kotak-kotak mini seolah-olah menyerupai bendera
negara-bangsa yang dijejerkan seperti saat kita melihatnya di sampul atlas saat
dulu kala. Saya yakin pangkat jasa perang dipakai Ki Ageng Sasana seperti
ditunjukkan Wiranto ketika menjadi panglima ABRI, adalah palsu belaka yang bisa
didapatkan di pasar loak. Tapi apa boleh buat, ia mendaku mampu mengendalikan
kekuasaan dunia dan banyak yang memercayainya sebagai sosok dengan status
sosial tertentu. Seorang filsuf pernah mengatakan sudah tabiat manusia
menyenangi masa lampau sampai ia patut disebut mahluk aquarian. Saat ini sangat
sulit menemukan orang yang memiliki hobi mengoleksi prangko beralbum-album
selain karena prangko sudah tidak diciptakan lagi, dan juga dunia lebih mudah
terhubung melalui surat elektronik. Banyak orang setelah terbuai iklan suka
menganti androidnya menjadi jauh lebih canggih karena berpikir dunia akan terus
maju ke depan meninggalkan masa lalu. Orang seperti ini tidak seperti para
pengoleksi prangko yang menyimpan kenangan masa lalunya dengan cara
mengoleksinya seperti museum menyimpan benda-benda purba. Para pengikut
kekaisaran macam Sunda Empire dan Solo Sejagad Raya dikatakan pengirim pesan WA
tadi seperti pengoleksi perangko yang merindukan suasana kerajaan seperti masa
lalu. Dari poin ketiga ini membuat saya bertanya-tanya, apakah sebegitu
romantiskah cara kita berpikir untuk menyukai dan menghendaki kehidupan ini
berputar ke masa lalu? Kalau memang demikian, mengapa kita tidak sekalian saja
mengembalikan masa ini sampai di zaman Nabi Nuh, tepat saat ia selesai membuat
perahu raksasa, dan membiarkan orang semacam ini tenggelam saat banjir bandang
tiba sebelum meraka merasuki pikiran kita di layar kaca? Saya dibuat seperti
anak kecil yang tak tahu apa-apa ketika menonton sesi Ki Ageng Rangga Sasana
berbicara di forum ILC mengenai Sunda Empire yang diklaimnya sudah berdiri
sebelum Firaun membangun piramid dan mati dikubur di dalamnya. Anhar Gonggong,
sejarawan yang ditangkap kamera saat Rangga Sasana berbicara hanya semringah
tahu bahwa ocehan Rangga ini tak lebih dari bualan belaka. Roy Suryo yang
sempat menyangga sejarah PBB diceritakan Rangga Sasana disebut tidak paham
sejarah. Perbedaan orang bodoh dan orang cerdas dilihat dari betapa seringnya
orang bodoh mengatakan semua hal yang tidak ia ketahui dibanding orang cerdas,
yang menyampaikan sedikit dari yang ia ketahui. Terlalu berlebihan mengatakan
raja gadungan ini bodoh kecuali di saat ia sedang berbicara seolah-olah yang ia
sampaikan merupakan bagian dari sejarah yang hilang yang semua itu membutuhkan
kecerdasan tersendiri untuk berkibul. Dengan kata lain, Rangga Sasana sedang
memeragakan prinsip kebohongan bahwa satu kebohongan hanya dapat diterima
dengan benar jika ia mencipatakan kebohongan yang lain. Itu artinya, di
sepanjang ia kita berikan waktu berbicara mengenai keyakinannya, sama artinya
kita memberikan ia kesempatan untuk menyusun mata rantai kebohongan. Nahasnya,
kebohongan kadang sering kali mengembangbiakkan kebodohan melalui cara yang
tidak pernah kita sadari, seperti cara kita mendengar bualan dungu semacam ini
tanpa menurunkan mereka dari panggung pemberitaan.
--sudah terbit di Kalaliterasi
dengan judul Bagaimana si Raja dan si Kaisar Membodohi Kita