Langsung ke konten utama

Kebodohan itu Abadi



Albert Einstein. 
Fisikawan pengembang Teori Relativitas.
Kata Einstein Perbedaan genius dan kebodohan adalah
kegeniusan itu terbatas 


SETELAH mendapatkan kabar kemenangan AC Milan atas Udinese akhir pekan kemarin, kesenangan saya jadi terancam dan diringsek kabar dari Bandung ini. Mesti saya akui, Milan kian hari semakin surut dari hati saya, walaupun memang sebenarnya masih ada sebagian diri ini yang ingin diakui sebagai milanisti. Tapi tetap saja, sumber masalah pagi ini bukan berasal dari nasib Milan yang angin-anginan. Rasa-rasanya saya ogah saja membaca isinya. Untuk kasus ini, membaca headline judul saja daripada isinya sudah lebih dari cukup untuk mengatakan ada masalah kian akut dari cara orang memahami dan mempraktikkan agama. Tapi yang namanya manusia yang tertarik kepada sesuatu yang belum dijangkau kepalanya, mendorong saya menggerakkan jempol membuka tautan ini. Tidak membutuhkan waktu lama jaringan otak saya menangkap inti pesan Tirto ini, kecuali saya merasa dibawa kembali kepada masa-masa ketika agama lebih banyak menginspirasi orang untuk saling membantu dan menopang. Saya pernah membaca suatu ulasan As Laksana bahwasannya golongan pertama dan paling cepat menempuh perjalanan menuju neraka adalah orang yang memelihara kebodohan dengan segenap jiwanya. Membaca berita ini saya bisa langsung saja menambah kedalam daftar “orang-orang yang cepat masuk neraka” kepada pengambil kebijakan macam ini di nomor urut kedua. Orang macam ini bukan saja bodoh, tapi sekaligus menunjukkan bahwa kebodohan mereka telah menodai bagaimana cara mereka menjalankan keimanan. Saya terkekeh, tidak bisa dibayangkan fungsi “lazimnya” masjid di batok kepala mereka. Itu artinya masjid hanya bisa dipakai sekadar salat berjamaah belaka, dan jika ada tugas lain dari itu barangkali hanya bertugas menyediakan acara buka puasa bersama jika musim Ramadan datang. Toh, jika ada fungsi masjid menyangkut “hidup-mati” seperti ini, tiada lain hanya berupa pengumuman di subuh hari bahwa seorang hamba Allah bernama Fulan bin Fulan telah meninggal dunia akibat infeksi saluran kencing. Kadang saya berpikir jika revolusi sosial benar-benar terjadi, orang semacam inilah yang pertama-tama digantung oleh massa rakyat di lapangan alun-alun. Sesekali mungkin ada yang melemparkan batu atau tai untuk memastikan, kelak mereka jika masuk neraka dalam keadaan bau dan berlumuran tai. Coba bayangkan, selain bergelimang dosa orang macam ini malah masuk neraka tanpa mandi sekalipun. Anda barangkali masih mengingat mengenai sekelompok orang yang salat di jalan terbuka sementara masjid mereka paksa alihfungsikan menjadi hanya sekadar tempat kencing dan tidur belaka. Patut dicurigai jangan-jangan majelis keagamaan macam MUI telah dialihfungsikan menjadi badan tukang gusur. Saya ingin mengatakan bisa jadi MUI di Bandung adalah “kakitangan” segerombolan massa yang pernah mencoreng sejarah perubahan sosial Tanah Air melalui aksi jalanan yang lebih mirip nomor serial sinetron televisi. Tapi, di negeri ini Anda tidak berwenang apalagi punya hak mencela majelis keagamaan macam MUI. Memang aneh, mereka kita yakini bukan Tuhan yang otomatis mahluk manusia yang berdaging dan bisa saja berdagang untuk mencari keuntungan. Ini sebenarnya secara tidak langsung memberikan kita peluang untuk mengkritiknya selama sepak terjang mereka atasnamakan sebagai manusia yang bisa saja salah. Kenyataan lapangan berbeda, kita sudah terlanjur khawatir mendapatkan kutukan ketika semua itu dilakukan oleh sebab mereka kita anggap sudah seperti raja-raja di masa silam yang dialiri titisan darah dewa-dewa. Seolah-olah kita ini sedang hidup di masa Socrates yang tengah berkeliling di pasar-pasar mencari cara mengubah pasar menjadi forum dialog, tapi takut jika dewa-dewa di puncak gunung Olimpus segera mengirimkan petir bagi kita sebagai sasarannya. Seandainya kisah Socrates tidak pernah terjadi di mana bukan ia yang diwajibkan meminum racun cemara, dan sebaliknya yang dijatuhi hukuman mati adalah pemuka dewan, barangkali kita tidak akan menemukan orang-orang bodoh dan gila seperti Don Quixote yang menggunakan kekuasaannya tanpa tahu resep pakai. Masalah kita hari ini, sebagian besar dari kita terlanjur menerima mereka dan dengan senang hati menganggap mereka layak menduduki jabatan strategis macam ini. Kata mereka, ini sudah takdir Tuhan!

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...