![]() |
1984 |
AKHIRNYA, saya merasa agak lega
setelah berhasil menulis uraian film yang nyaris selesai, jika saja Banu tidak
segera bangun dan menyergap saat sedang menghadapi tuts laptop yang entah
mengapa demikian mengasyikan pagi ini. Kopi masih belum tandas sepenuhnya dan
resensi yang saya tulis sudah mencapai sekitar 700 kata saat Banu mengambil
alih pekerjaan ketikan melalui tangannya yang diacungkan di depan layar. Banu
baru saja bangun dan layar sampai saat ini masih jadi perhatian utamanya selain
setiap sudut rumah yang ingin ia jelajahi menggunakan kedua kakinya yang
semakin hari menjadi terampil menopang seluruh bobot tubuhnya. Banu, sejak ia
mulai bosan dengan sekeranjang mainannya, sudah kami antisipasi agar tidak
terpikat gawai yang semakin hari sulit dilepaskan dari dunia orang dewasa. Hape
cerdas yang hari demi hari kian membuat orang seperti anak ayam kehilangan
induknya dan membuat otak semakin mirip manisan kismis, sudah kami akali agar
Banu jauh dari benda pemecah umat itu. Alternatifnya, ia kami sediakan tontonan
melalui televisi lagu-lagu anak yang didownload melalui youtube setiap kali
gawai mengalihkan perhatiannya. Sampai sekarang, setelah sepulang dari
Bulukumba, Banu lebih menyukai lagu ”kukuruyuk” yang memperlihatkan
segerombolan ayam betina lari tungganglanggang menyigi rerumputan setelah
dilepas dari kandangnya. Ia mulai bosan dengan lagu berbahasa Inggris yang
berhasil mengajarkannya koor ”ha-ha” setiap kali seorang anak menyebut
nama-nama bagian bis yang diakhiri kata ”wa-ha-ha”. Ayam menjadi binatang yang
menarik minatnya setelah ia lebih suka menunjuk cicak ketika ia melihatnya
menempel di langit-langit rumah. Setiap pagi, saat di Bulukumba, bersama
kakeknya—yang dipanggil Ance—ia sudah berada di halaman di samping rumah yang
menjadi ”bengkel” kerja Bapak. Di situ hampir selusin ayam katai berkeliaran
bebas di sela-sela kayu dan besi-besi tua dan beragam alat pertukangan di
samping tiang pancang tali-temali jemuran. Kandang yang berjejer mirip
kerangkeng kecil sebagiannya diisi ayam katai lain yang masih dijinakkan.
Sisanya adalah ayam bangkok berdaging keras jika ia dijadikan opor ayam.
Melihat binatang kecil bergerak gesit dan berbulu emas dengan dua kaki yang
seperti dipangkas membuat Banu terperangah dan mulai menyukainya. Sejak saat
itu, setiap kali kami menyebut kata ayam, ia praktis mengacungkan tangannya
sama seperti ketika penyabung ayam melatih leher ayam aduannya menjadi tegak
berdiri. Gerakan itu berarti juga ia ingin segera berada di mana ayam-ayam itu
hidup saban hari. Kata ayam praktis membuat Banu otomatis terdorong selalu
ingin melihat ayam sebagai hiburan paginya. Otaknya seolah-olah sudah
terprogram ketika kata itu disebut. Kebiasaan ini demikian ia sukai sampai
akhirnya kami harus kembali ke rumah yang berarti tidak ada satu ekorpun ayam
berkeliaraan. Satu-satunya hewan berjenis unggas hanyalah burung pipit dan
jenis burungan bangau yang saban hari bertengger di kerumunan pohon putri malu
yang sudah menyerupai tinggi pohon klengkeng Thailand di tanah lapang sebelah
rumah. Konon tanah itu sudah dimiliki seseorang yang berdarah Thionghoa. Ayam
tetangga yang dikandang sedemikian rupa di depan rumah sebelah juga sudah tidak
kelihatan lagi. Besar kemungkinan ayam kampung itu sudah menjadi santapan di
saat lebaran haji tempo hari. Toh jika ada sisa kehidupan unggas dari sana
hanyalah kandang bambu berbentuk kubah yang tergeletak dibiarkan begitu saja.
Di halaman rumah, satu-satunya tanda kehidupan diisi jejeran bunga asoka, daun
kuping gajah, kamboja, lidah mertua, dan beberapa tanaman hias entah apa namanya
yang menyerupai rumput jepang. Dua hari lalu, pohon cabai yang berhasil tumbuh
setelah layu nyaris mati, membuahkan tiga biji cabai. Tentu saja saya seketika
mengambil langkah strategis sesegera mungkin dengan mengguntingnya di malam
hari dan menjadikannya penyedap ikan goreng dari pada mati membusuk seperti
pernah dilakukan sebelumnya. Tanaman ditanam sendiri dan buahnya dinikmati
sendiri bakal lebih subur kemudian hari jika tidak segera dihargai. Akibat
tidak memelihara ayam, yang berarti kami tidak dapat diingatkan melalui
kokoknya ketika pagi hari, kami ganti dengan kumpulan lagu-lagu anak berisi
ayam-ayam tadi itu. Aneh memang hal ini tidak membuat kami seperti orang yang
memiliki jiwa seni tinggi oleh karena kami lebih mirip peternak unggas yang
tiap pagi mendengar ”kokok-kotek” ayam melalui tv. Tapi, strategi ini lumayan
berhasil setelah sebelumnya membuat Banu mengacung-acungkan tangannya kepada
ayam-ayam elektronik di layar kaca tv. Belakangan kami menyadari ia memiliki
kemauan lebih dari sekadar melihat ayam dengan memukul-mukul layar tv
menggunakan tongkat bekas gantungan bajunya. Jika Banu beralih perhatian dan
ayam di layar kaca nampak berubah seperti hewan yang membosankan, satu-satunya
pilihan selain siaran TVRI bagi kami adalah sinetron Indosiar yang entah
mengapa menjadi tontonan yang mirip cara Orba mendoktrin warganya. Seperti
kisah novel 1984 karangan George Orwell, kisah murahan Indosiar itu tayang
nonstop tanpa jeda dari pagi hingga sore hari seolah-olah setiap orang
menginginkannya. Ceritanya entah dicomot dari mana: pengalaman istri-istri yang
diberlakukan semena-mena suami yang gemar berselingkuh dan pada akhirnya entah
bagaimana caranya Dewi Fortuna bakal membuat istri teraniaya menjadi pemenang
di akhir kisah. Takdir pada akhirnya, di kisah itu, akan berpihak selama
perempuan teraniaya bersabar hingga kantung matanya mengering. Dengan cara
klise kadang perselingkuhan suami diawali dengan cara yang sama di setiap
episode, si suami bakal tanpa sengaja menabrak seorang wanita sambil
menunduk-nunduk. Cara mereka ini membuat siapa pun tak perlu membaca kisah
kisah cinta seperti Romeo dan Juliet atau Laila dan Majnun oleh sebab untuk
jatuh cinta Anda tidak membutuhkan kegilaan. Seperti ditunjukkan perempuan
pelakor di sinetron itu, Anda—jika perempuan—hanya butuh sedikit tekat dan
keberanian terang-terangan merebut hati suami orang. Cara ini saya lihat cukup
ampuh membuat hati istri suami yang Anda rebut melongos dan kalah. Tentu
perilaku ini jarang kita temukan di dunia nyata, tapi jika Anda berminat coba
saja. Siapa tahu Anda berhasil dan seketika menjadi kaya raya berkat harta
benda suami yang berhasil Anda rebut. Sinetron ini saking sering diputar
membuat saya semakin yakin bahwa perempuan-perempuan teraniaya memang ada di
dunia nyata. Mereka sama tertindasnya dengan istri-istri di sinetron yang entah
sampai kapan akan berakhir. Perbedaannya cuma satu, kekerasan perempuan
teraniaya di dunia nyata tidak dimulai dari seorang pria yang tidak sengaja
menabrak seorang perempuan cantik yang kebetulan mantan pacarnya, yang
kebetulan baru saja berpisah dengan suaminya, yang kebetulan saling jatuh
cinta, yang kebetulan secara sembunyi-sembunyi memadu kasih di kafe-kafe
memanfaatkan waktu jam makan siang. Dan sialnya yang kebetulan saya saksikan sepenuh
hati. Sudah bisa ditebak bagaimana kelak jalan ceritanya. Saya mengambil remote
tv menyetel ulang lagu ”kukuruyuk” kesukaan Banu tanpa ayam, tanpa beban.