![]() |
Jurgen
Habermas
Filsuf
cum sosiolog Jerman
Dalam
ilmu sosial dikenal sebagai penerus Critical Theory
|
RUMAH Hije lumayan besar untuk ukuran dirinya yang hidup sendiri saban hari sambil membuka kios kelontong di bilik kamar bagian kanan rumahnya. Jendelanya lebih sering terbuka dengan rang besi seukuran telunjuk orang dewasa dibandingkan pintu rumahnya.
Di situlah setiap kali ia bertemu pembeli bersama
angin yang masuk berasal dari tepi-tepi sungai Bialo. Bersisian dipisahkan dua
bilah daun jendela tepat menghadap pohon jambu monyet.
Konon,
rumah lumayan besar itu dibangun saudara laki-lakinya. Hije, tiga bersaudara
sebagai anak tengah. Belum genap satu tahun salah satu saudaranya meninggal
dikarenakan kanker paru-paru. Orang
sekampung merasa kehilangan, terutama Hije karena jika bukan saudaranya itu
rumah Hije tidak sekokoh sekarang.
Tidak
jelas betul kapan di jendela kiosnya itu dipasangi bel rumah. Yang pasti,
berbeda dari rumah umumnya, yang dipasangi bel tepat di pintu utama rumah, di
jendela itu, bel itu jauh lebih berfungsi, terutama bagi pembeli di kios Hije.
Telinga
Hije bakal sulit menangkap suara teriakan pembeli jika ia berada di dapur,
ruang belakang rumah saat ia membuat kue, hobinya itu. Hije penyandang
disabilitas. Ia bisu sejak lahir.
Itulah
sebab, bel rumah dipasang tidak jauh dari jendela kiosnya. Bunyi nyaring bel
kios lebih efektif dibanding suara siapa pun yang memanggilnya.
Walaupun
bel itu tidak cukup tinggi dipasang, kerap satu dua pelanggan saya dapati
menunggu lama sambil marah-marah. Bel sudah dipencet berkali-kali, sementara
dari tadi suara sudah dikencangkan melebihi suara angin.
Tapi,
tetap saja Hije kadang datang terlambat. Kadang ketika ia salat, pelanggannya
dibuat dongkol. Lama berdiri mirip narapidana meratapi nasib di balik jeruji
besi. Makanya, bagi pelanggan tetap Hije, mereka sudah tahu kapan waktu yang
pas buat berbelanja. Mereka seolah diam bersepakat, jangan datang di
waktu-waktu Hije salat.
Hije
sampai sekarang hidup sendiri. Di rumahnya tersimpan beberapa mesin jahit.
Kerap ketika mamak di rumah ingin menjahit sesuatu, selain kepada teman
dekatnya, ia akan pergi ke rumah Hije. Hije tidak menikah. Mamak, jika ke
Bialo, Barabba, desa kediaman Hije, pasti menyempatkan singgah ke kediamannya.
Sejauh
saya tahu, tidak banyak orang mampu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat
ketika bersama Hije. Mamak sejak kecil tumbuh bersama sepupunya. Bermain di
sawah di waktu musim panen. Mencari ikan di sungai Bialo, pergi ke pasar
membeli mainan...
Kala
sepindah dari Kupang, pertama kali melihat Hije, saya mengira Hije saudara
kembar mamak. Muka mereka berdua lumayan mirip. Hanya bentuk tubuh yang
membedakan mereka berdua. Dan, keperawakan Hije seperti orang galak.
Mamak
salah satu orang yang lancar berbahasa isyarat dengan sepupunya itu. Mungkin
karena dari kecil sering bermain bersama mereka saling menghapal bahasa isyarat
satu sama lain. Saya tidak tahu apakah Hije pernah belajar bahasa isyarat bagi
penyandang bisu. Atau pernah sekolah di sekolah luar biasa. Tapi saya yakin
seratus persen keahlian mamak menggerakkan tangan dan jarinya saat
berkomunikasi bersama sepupunya itu karena dipupuk pengalaman bersama yang
panjang.
Mamak
tidak pernah menceritakan keahliannya ini. Sekalipun ia juga tidak pernah
mengatakan tidak pernah belajar langsung mengenai bahasa isyarat bahasa orang
bisu.
Hije
kadang bersuara mirip erangan mempertegas isyarat tangannya. Mamak kadang
langsung paham apa maksud Hije. Saya sering merasa lucu ketika melihat saudara
sepupu ini saling berkomunikasi. Biasanya, di waktu-waktu tertentu mamak
menjadi penerjemah ketika Hije menyampaikan sesuatu kepada kami keponakannya.
Ketika
menjadi wartawan, saya pernah ditugasi meliput penyelengaraan ujian nasional di
salah satu sekolah luar biasa di Makassar. Awal peliputan lumayan lancar
setelah bertemu kepala sekolah dan beberapa guru saat wawancara.
Saya
juga berkeliling masuk di kelas mengambil beberapa gambar sambil berusaha tidak
menarik perhatian peserta ujian. Yang membuat saya kikuk adalah ketika saya
ingin mengambil keterangan dari salah satu peserta ujian, yang otomatis
penyandang disabilitas. Saya menunggu waktu istirahat. Mengamati calon
narasumber saya dari kejauhan. Tapi siapa yang bakal saya pilih. Di hadapan
saya realitas yang berbeda. Saya terasing dari lingkungan yang serba terbatas
itu.
Maka
jadilah saya mewancarai seorang anak cacat. Menanyakan bagaimana perasaannya
menghadapi ujian nasional. Apakah ada kesulitan saat menjawab soal. Apakah ia
senang dapat mengikuti ujian nasional walaupun jumlah muridnya tidak seberapa.
Apakah ia senang bersekolah jauh dari rumahnya....
Orang
penyandang disabilitas sering diabaikan dari lingkungan sosialnya. Mereka kerap
mendapat perlakuan berbeda. Jika si penyandang berasal dari keluarga kelas
bawah, maka "penindasan" dialami dua kali lipat dari biasanya. Tidak
bisa dibayangkan belum kelar problem ekonomi, mereka diberikan lagi perlakuan
diskriminatif dan eksklusi. Mereka otomatis jadi kelompok paling rentan
mendapatkan perlakuan tidak adil.
Belum
lama, Jokowi memilih satu staf khususnya dari penyandang disabilitas. Ini kabar
gembira di samping ditemukan satu dua kasus mencuat penyandang disabilitas
ditolak setelah lulus seleksi pegawai negeri sipil. Sekolah yang semakin
eksklusif terhadap anak didik disabilitas. Fasilitas umum tidak ramah
disabilitas, dan hak-hak publik penyandang disabilitas yang belum diapresiasi
secara struktural dan kultural.
Hije
ketika ke pasar umum lebih sering menggunakan angkutan umum--pete-pete,
walaupun ia memiliki sepeda motor yang lebih sering terparkir diam di ruang
tamunya. Licin tanpa noda tanah di kedua bannya. Kemungkinan besar Hije mampu
menggunakan motornya meski demikian jarang yang menyaksikannya wara wiri di
jalanan perkampungan.
Saya
sering berpikir jika saja Hije memiliki anak, dengan sendirinya motor itu lebih
banyak dipakai anaknya. Tapi, kenyataannya Hije belum menikah satu kali pun.
Saya menduga di masa lalu, anak-anak muda malu jika bukan khawatir menikahi
seorang perempuan "pepe" mirip Hije. Atau para lelaki muda yang mulai
tumbuh jakunnya berpikir bakal kesulitan seumur hidup membina rumah tangga
lantaran sulit berkomunikasi dengannya. Siapa yang tahan kelak sehari-hari
menggunakan bahasa isyarat sambil menahan emosi kalau pengertian tidak dapat
saling bertukar.
Dari
sini bisa dibayangkan, bagaimana kedudukan sosial seorang penyandang
disabilitas. Apalagi ia seorang perempuan kampung yang hidup di tengah-tengah
budaya patriarki a la desa. Perempuan ketika tumbuh di dalam masyarakat
menjunjung tinggi laki-laki, kerap diberlakukan berlainan dengan dalih tradisi.
Orang
seperti Hije bakal tidak menikah sampai usianya berkepala lima. Keturunannya
terputus sampai di dirinya saja, menanggung hidup secara sendiri sampai tua. Ia
tidak dapat merasakan bagaimana hidup bersama sepasang anak, suami pengertian,
dan keceriaan berumah tangga. Praktis karena ia "berbeda" semua
pengalaman itu tidak pernah dirasakan.
Seandainya
Hije tahu, sekarang ada SIM khusus bagi penyandang disabilitas, bisa jadi ia
berani memacu kuda besinya tanpa takut dirazia karena persuratan tidak lengkap.
Setidaknya ia tidak perlu repot menunggu angkutan umum yang mulai jarang
beroperasi di kampungnya. Ia bakal lebih senang mengunjungi keluarganya, yang
tentu pasti bakal menyambangi sepupunya, siapa lagi kalau bukan mamak--orang
yang saya duga lebih mengerti berkomunikasi dengannya--ketika ada gosip-gosip
yang perlu mereka bicarakan.
Tidak
banyak saya ketahui tentang Hije selain kehidupan monotonnya: di rumah
menjahit--ia terampil menjahit--pesanan orang-orang, menjaga kios kelontong,
membuat kue, dan menunggu beras dari sawah yang dikerjakan orang, atau sesekali
ke pasar membeli kebutuhan jahit menjahit dan dagangannya.
Saya
ingat seorang filsuf cum sosiolog berbibir sumbing yang mengubah cacatnya
menjadi titik tolak refleksi filosofisnya. Sewaktu kecil ia kesulitan berkomunikasi
dengan orang lain akibat bentuk cacat mulutnya. Ia sering kali disalahpahami
alih-alih dimengerti ucapannya. Kelak karena itu ia menjadi pakar ilmu sosial
dengan tesis komunikasi sebagai diskursus pembebasan. Orang itu bernama Jurgen
Habermas, pemikir berpengaruh abad 20.
Hije,
atau pun penyandang disabilitas lainnya, bisa seperti Habermas yang mengubah
keterbatasannya sebagai palung keinsafan. Bukan malah menerima nasib apa adanya
belaka, tapi membuatnya selangkah lebih maju. Saya kira, Hije, dan orang
sepertinya di satu momen kehidupannya sudah menemukan titik balik kesadaran,
menciptakan peluang keuntungan di dalam kekurangannya. Buktinya, sampai
sekarang Hije hidup mandiri dan bebas menjadi dirinya sendiri.
Sesungguhnya
di dalam kesulitan terdapat kemudahan, begitu Tuhan nyatakan dalam kitab
sucinya. Camkan! Bukan "setelah" kesulitan, tapi "di dalam"
kesulitan terkandung kemudahan.
Selamat
Hari Disabilitas Internasional.