![]() |
Genre: Comedy
Sutradara: Sy Gowthamraj
Penulis naskah: Bharathi Thambi
Pemaian: Jyothika, Hareesh
Peradi, Poornima Bhagyaraj
Durasi: 134 minutes
Studio: Dream Warrior Pictures
|
GURU, pahlawan tanpa
tanda jasa saya kira slogan berbahaya. Dia bisa menjadi alasan berkelit bagi
kekuasaan agar guru tetap diperlakukan seadanya. Guru tak mesti diperlakukan
khusus. Toh, dia mesti ikhlas bekerja. Pagi hingga sore tanpa pamrih mendidik ribuan
anak-anak negeri. Jika mengeluh dan meminta haknya dipenuhi ada slogan itu
tadi. Guru bukan siapa-siapa. Dia tidak mesti mendapatkan jasa balasan dari
pengabdiannya selama ini.
Nasib guru ditinjau
dari slogan itu cukup mengenaskan. Waktu dan tenaganya selevel dengan kerja
buruh pabrik. Pagi hingga sore, tanpa sekalipun menyisakan waktu bagi keluarga,
dia mesti berada di sekolah. Di dalam kelas
ia dituntut kreatif membaca gerak
gerik siswa, di hadapan sistem dia dibebani tumpukan embel-embel administrasi,
di mata publik gelagatnya dicibir berperilaku kasar mendidik anak, dan di
hadapan pemerintah hak-haknya banyak tidak diapresiasi.
Melihat siklus
kehidupan seorang guru cukup aneh. Di hadapan negara ia jadi objek kekuasaan
demi menjadi subjek kemajuan peradaban.
Banyak waktunya tercurah mendidik anak-anak orang lain, sementara di saat
bersamaan waktunya ”dirampas” demi mendidik keluarganya.
Dengan kata lain,
seorang guru teralienasi dari kehidupan intinya. Tanpa sadar ia menjadi objek
pekerjaannya sendiri. Mengajar, membuat
RPP, mengisi berkas administrasi, secara kontinyu membuatnya ”berjarak”. Ia
dekat, tapi jauh dari segi perhatian dan pendidikan keluarga.
Tapi, walaupun
demikian, siklus kehidupan guru menandai bagaimana ia kerap mengutamakan kehidupan
publik (pendidikan) daripada kehidupan pribadinya (rumah tangga). Ia rela
urusan keluarganya dinomorduakan demi kemajuan pendidikan. Orang rela
mengutamakan kehidupan banyak orang daripada kepentingan pribadinya, saya kira
orang yang memiliki kualitas keikhlasan luar biasa.
Ini yang membedakan
kualifikasi guru dari profesi lain. Ia sehari-hari berkecimpung di dalam ”dunia
manusia” yang memiliki beragam karakter, kepentingan, motivasi, kecenderungan
dan tingkat pemahaman berbeda. Di dalam lingkungan serba dinamis itu,
keikhlasan dan kesabaran adalah kunci.
Lalu, jika guru tidak
dapat ditandai atas jasanya, bagaimana guru mesti diapresiasi atas kerja
kerasnya mendidik ”peradaban”?
Saya berpikir,
satu-satunya cara mengapresiasi kerja guru tiada lain mengamalkan seluruh
didikan sang guru. Guru dihargai dengan cara kita berpikir, berperasaan, dan
beramal sesuai amanah ilmu yang diperoleh darinya. Apabila semua itu ingin
ditandai, saya kira itulah tandanya, tanda jasanya.
DUA hari ini netizen
dihebohkan pidato menteri pendidikan baru. Nadiem tidak banyak berbasa-basi.
Bahkan itu sudah ia ingatkan dari isi pidato awal. Inti pidato Nadiem berkisar
lima hal.
Pertama, soal guru
yang menjadi lokomotif utama penggerak generasi terdidik. Kedua, kecerdasan peserta
didik tidak diukur dari hasil ujian. Ketiga, guru mesti menekankan karya murid
tinimbang membebani murid menghapal isi pelajaran. Keempat dan kelima, guru
mesti menjadi pelaku aktif di dalam kelas, dan mesti memahami kebutuhan berbeda
setiap murid.
Isi pidato Nadiem
sebenarnya klise jika dibandingkan dengan isi pidato Jokowi di hari Guru tahun
2017. Terlebih lagi dari yang pernah dicanangkan Anis Baswedan dan Muhadjir
Effendy.
Satu-satunya
membedakan pidato Nadiem dibanding menteri sebelumnya adalah cara ia
disampaikan. Sehari sebelum resmi dibacakan, beredar video naskah pidatonya di
lini masa. Seolah-olah Nadiem ingin menandai bagaimana ia gesit memanfaatkan
media sosial. Satu ciri milenial dan teknologis yang menjadi latarbelakangnya
selama ini.
Pidato Nadiem di hari
guru besar kemungkinan akan berbeda jika diucapkan di hari pendidikan. Guru dan
pendidikan dua hal berbeda walaupun tidak bisa dipisahkan. Itulah sebab, tema
pidato Nadiem tidak bertumpu di atas
narasi besar pendidikan, melainkan kembali mengingatkan guru sebagai garda
depan yang sehari-hari berada di dalam kelas bakal menentukan arah pendidikan.
Nadiem, dengan kata
lain sedang berbicara tentang sosok pahlawan. Figur merdeka yang bakal
menentukan nasib masa depan banyak orang.
DIA datang tanpa
banyak bersuara. Ia melihat banyak keanehan di sekolah tempatnya bakal
bertugas. Sekolah orang tidak mampu itu ibarat lingkungan pasar: murid merokok
dan beberapa melompat pagar, kelas amburadul, siswa-siswi berlarian tak karuan
di halaman.
Guru-gurunya? Jangan
tanya. Ketika Geetha Rani kali pertama datang, guru-gurunya nongkrong di ruang
guru asyik bersolek. Beberapa mengajar mendengarkan lagu dari headset sementara murid-muridnya
dibiarkan bermain. Bahkan, guru-guru lelakinya malah keluyuran lari dari tugas
mengajar.
Geetha Rani,
perempuan guru dalam film Raatchasi (2019), tidak main-main. Ia adalah guru
baru sekaligus kepala sekolah ditugaskan di sekolah karut marut. Setelah
mengamati keadaan buruk sekolah dipimpinnya, ia melakukan perubahan seketika.
Melihat keadaaan ini,
bagi guru bermental kerupuk, sudah pasti bakal keok di hari pertama bertugas,
dan mencari cara dipindahkan secepatnya. Tapi tidak bagi Geeta. Seakan-akan
menepis anggapan masyarakat sekitar sekolah, ia malah bersemangat mengubah
keadaan yang semula tidak mirip sekolah itu.
Dia pelan-pelan tapi
tegas, mengubah seluruh kebiasaan buruk sekolah. Pertama ia membiasakan
siswa-siswa mesti berkumpul setiap pagi sebelum masuk kelas. Kedua, ia
menertibkan guru-guru bermasalah. Sebagiannya ia ”paksa” meng-upgrade
pengetahuan belajar-mengajarnya. Ketiga, ia merenovasi gedung sarana prasarana
sekolah. Keempat, ia membuka kelas minggu bagi anak-anak tidak sekolah ikut
belajar di akhir pekan. Kelima, ia meroling setiap guru menjadi kepala sekolah
harian di hari-hari berbeda. Keenam, ia mengundang orang tua murid membicarakan
ide-ide perbaikannya. Intinya, Geetha Rani sedang melakukan perubahan
besar-besaran nan mendasar di sekolah dipimpinnya.
Usaha revolusioner
Geeta di sekolah seketika merebak seantero kampung. Sekolah dikenal sarang
anak-anak nakal, murid keluarga miskin, dan guru malas, seketika diketahui
banyak perubahan.
Tak disangka tindakan
perbaikan Geeta membawa soal lain. Banyak pihak berkepentingan gerah atas gaya
tegas kepemimpinannya–termasuk guru-guru di sekolah. Geeta dianggap banyak
mengubah bukan saja keadaaan sekolah, tapi situasi status quo sosial-politik di
daerah sekolah itu berdiri.
Saya tidak perlu lagi
membicarakan jalan cerita film Kollywood ini (film berbahasa Tamil yang
membedakan dengan Bollywood, film berbahasa Hindi). Tapi perlu saya katakan
premis film ini tidak jauh berbeda dari film sejenis Taare Zameen Par (2008),
Dead Poets Society (1989), atau Freedom Writers (2007), yang menempatkan peran
signifikan guru mengubah penyelenggaraan pendidikan jauh lebih baik.
Seperti dua fim ini,
Raatchasi dengan klise tapi begitu bersemangat mendudukkan peran ”sendirian”
seorang guru, dari tindakan ”lokalnya” mengubah kebiasan buruk belajar di
sekolah menjadi kembali bersemangat dan humanis.
Geetha Rani
menciptakan kebiasan dan pendekatan baru dalam proses belajar mengajar. Dari rumahnya, sepulang dari sekolah, dia
menyusun strategi apa untuk mengubah eksosistem sekolah yang ideal. Pelan-pelan
perubahan itu bakal mempengaruhi kehidupan sosial sampai di luar sekolah. Ini, saya kira adalah salah satu pesan
utamanya. Peluru pendidikan diciptakan di dalam kelas, dan bakal ”meledak”
kelak ketika mereka berkiprah di dunia yang lebih luas.
Pelan-pelan adegan
demi adegan film ini mengisi imajinasi saya tentang sosok guru diidealkan
Nadiem. Guru yang disebutnya tidak mesti menunggu perintah dari ”atas”, guru
yang mengutamakan karya siswa, guru yang pandai berinovasi di dalam kelas, guru
yang menemukan pendekatan baru belajar mengajar, guru yang mengajak diskusi
kelasnya, guru yang mesti menemukan bakat murid, guru yang….
Selamat
Hari Guru, pahlawan tanpa tanda jasa.
--Telah tayang 25 November 2019 di Kalaliterasi.com