![]() |
Seorang Bissu sedang melakukan ritual adat lengkap menggunakan pakaian adatnya |
DI
BULUKUMBA, Agnes menjadi nama favorit di lingkungan waria. Sudah menjadi
kebiasan para waria mencantol nama-nama artis beken sebagai tanda ”hijrah”
mereka.
”Hijrah”
di lingkungan waria bukan penanda perubahan di bidang agama, melainkan fenomena
khas para waria ketika memilih hidup atau berpenampilan perempuan dengan
mengubah identitas sehari-hari menggunakan nama-nama perempuan. Kebetulan, demi
sensasi, nama-nama artis diambil sebagai pilihannya.
Selain
Agnes, jangan tertawakan jika Anda menemukan seorang waria bernama Santi, atau
nama-nama semisal Bela, Syahrini, Claudia, atau bahkan Manohara, sementara tak
satupun paras mereka menyerupai artis bersangkutan.
Pemilihan
nama ini bukan tanpa sebab. Kadang dipilih berdasarkan ketenaran artis terkait.
Manohara misalnya, banyak dipilih berkat pernah mengguncang dunia hiburan.
Selain cantik, Manohara dipandang mewakili sisi ”seksi” yang kerap menjadi
tingkah dandan para waria.
Agnes,
saya duga menjadi beken dipakai para waria setelah dia sukses membintangi
Pernikahan Dini, sinetron kisaran tahun 2000-an dibintangi bersama artis awet
muda, Sahrul. Sebab lain Agnes dipakai sebagai nama pergaulan para waria,
karena Agnes artis segudang prestasi yang cukup mewakili spirit ”pemberontakan”
kaum waria.
Umumnya
di Bulukumba, waria lahir dari keluarga kelas bawah. Jadi bisa dipahami mengapa
Agnes dipilih mewakili nama mereka. Kecenderungan jiwa feminin dalam diri waria
sulit dimengerti komunitas terdekat mereka, yakni keluarga. Itulah sebabnya,
sebelum hijrah tidak sedikit waria mengalami konflik dalam lingkungan mereka
sendiri. Dalam konteks ini keadaan demikian sudah bisa menjelaskan
pemberontakan apa yang dilakukan para waria ketika memilih meninggalkan
keluarga dan memulai hidup mandiri bersama komunitas mereka.
Di
dunia waria, terkhusus di Bulukumba, para waria mengembangkan pola hidup khas.
Mereka menciptakan komunitas mandiri. Menciptakan dan menggunakan bahasa
pergaulan sendiri yang unik dan terdengar aneh. Bekerja membuka salon-salon.
Bekerja menjadi tukang make-up perkawinan, sering menjadi biduan di
panggung-panggung pernikahan, dan tidak jarang menjadi ”kupu-kupu” malam.
Pola
kehidupan di atas pelan tapi pasti menjadi kebudayaan tersendiri. Sebagai kaum
marginal, pola ini secara tidak langsung menciptakan keadaan psikologi yang
kokoh berkat saling menopang satu sama lain. Mereka sering terlihat saling
mengunjungi berkumpul bersama di hari-hari tertentu. Sesekali mereka menggelar festival sendiri sebagai ajang sosialisasi.
Keadaan ini mendorong suatu eksosistem dan strategi adaptasi bagi kaum waria
menghadapi stigma buruk di masyarakat.
Dalam
konteks sosial, waria sering mendapatkan perundungan. Di Bulukumba, mereka
dianggap sumber tulah. Nasib sial bakal dialami seseorang ketika bergaul
bersama waria. Mereka sering dipandang jijik dan rendah bagi sebagian orang.
Tapi,
pernah ada masa bagi sebagian anak muda SMA memiliki hubungan khusus dengan
seorang waria. Bagi anak SMA semacam ini waria tidak sama sekali berbahaya.
Mereka malah dianggap sebagai pihak yang mendatangkan untung. Itulah sebab,
sering kali para waria di Bulukumba memiliki ”anak kesayangan” yang ia
perhatikan layaknya seorang kekasih.
Bagi
anak SMA yang ”berpacaran” dengan seorang waria, perhatian dari mereka sering
ditranformasikan menjadi keuntungan membeli barang-barang dan diberikan uang
saku.
Sekarang,
dari amatan sederhana saya, apa yang saya tuliskan di atas nampak sedikit
banyak berubah. Terutama ketika Bulukumba mencanangkan perda syariat Islam
beberapa dekade lalu--mengakibatkan tidak ada lagi panggung ”elekton” yang
dinyanyikan biduan waria.
Apalagi
seiring diberlakukan perda Islam, Bulukumba menjadi lahan subur pertumbuhan
kelompok Islam tertentu yang memiliki pandangan kemanusiaan monolitik
mendeskreditkan keberadaan mereka.
Di
tambah lagi, ada beberapa spot publik di Bulukumba yang berubah yang otomatis
mengubah pola interaksi dan pergaulan para waria. Di tempat-tempat yang dahulu
banyak ditemukan waria, sekarang berubah menjadi ruang publik yang lebih
terbuka dan sepi.
Toh
sekarang, ketika banyak anak-anak muda mencari penghidupan menjadi penata rias
profesional—lengkap dengan alat make up berharga mahal, kursus kecantikan,
seminar, dan komunitas penata rias—mempengaruhi ladang pencarian para waria
yang lebih dahulu bekerja sebagai penata rias. Praktis pengaruh ini ikut
menyudutkan waria hanya menjadi pekerja salon sebagai tukang cukur belaka.
DALAM arena sastra, eksistensi perempuan bertubuh lelaki apik dinarasikan Pepy Al Bayqunie melalui Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki. Novel ini mengetengahkan pergolakan batin seorang bissu bernama Saidi. Ia sejak kecil mengalami transformasi pergolakan batin akibat tersisihkan dari keramaian masyarakat. Dari mata agama dan kehidupan sehari-hari, Saidi menjadi sosok terbelah. Ia terasing dan merasa tidak berharga sebagai manusia.
Identitas
gender yang mendua, membuat Saidi tersingkir dari lingkungan terdekatnya. Ia
tertolak dari lingkungan keluarga, dikecam agama, dan dihardik masyarakat.
Saidi, dalam kisahnya bakal bertemu komunitas calabai, yang akan memberikannya
warna dan identitas baru sebagai seorang bissu.
Faisal
Oddang melalui Sawerigading Datang dari Laut, sedikit banyak mengangkat eksistensi
kaum minoritas tidak terkecuali bissu yang mulai kehilangan panggung di
masyarakat. Di bawah judul Jangan
Tanyakan Tentang Mereka yang Memotong Lidahku, Oddang mengangkat kisah
percintaan dan pengkhianatan di antara dua bissu bernama Aku dan Upe.
Yang
membuat cerpen ini berbeda dari kisah percintaan umumnya –suka sama suka antara
bissu adalah tabu dan terlarang—adalah latar belakang sejarah Sulawesi Selatan
ketika setelah era 50-an. Di masa itu terjadi ”pemberontakan” PKI dan bissu
menjadi kaum minoritas ikut terseret pembantaian massal masa itu.
Bissu
di cerita itu, walaupun memiliki kedudukan khusus dalam masyarakat Bugis kuno,
tiba-tiba menerima kenyataan berbeda setelah rezim masyarakat berganti. Aku dan Upe di cerpen itu dikisahkan menjadi
korban dari narasi kekerasan berbasis negara. Mereka dinilai kaum tidak beragama dan
merupakan bagian dari golongan komunisme.
Bissu
adalah sekaum padri ”keagamaan” dalam tradisi lokal Bugis kuno yang memiliki
tugas khusus di masa kerajaan Sulawesi Selatan. Bissu diyakini suci dan mampu ”membaca” pesan
langit yang berasal dari Dewata. Di masa kerajaan, bissu bertugas melayani raja
sebagai penasihat yang dimintai pandangan ketika raja mengambil keputusan.
Karena fungsinya ini bissu bukanlah orang sembarangan, dan memiliki prosesi
khusus bagi seseorang saat terpilih menjadi bissu.
Bissu
adalah gender kelima dalam kebudayaan Bugis kuno. Bissu bukan laki-laki (urane), dan bukan pula perempuan (makunrai). Bissu juga bukan laki-laki
berperawakan perempuan (calabai),
atau sebaliknya perempuan berperawakan laki-laki (calalai). Bissu walaupun memiliki kemiripan dengan calabai, ia
tetap memiliki perbedaan khusus dengannya.
Bissu
bukanlah waria walaupun sekilas mirip. Berbeda dari waria kerap berbusana rias
mencolok, bissu memiliki busana khusus yang khas saat upacara-upacara adat.
Sharyn
Graham menulis esai menarik mengenai pengalamannya mengikuti upacara adat
seorang calon jamaah haji dipimpin bissu. Dalam esai berjudul Sulawesi's Fifth Gender (2007), ia
menulis walaupun Ibu Qadri beragama Islam, ia masih mengikuti kebiasaan lokal
melakukan upacara mengambil berkat di sebuah goa. Dalam esai itu, upacara adat
yang diperuntukan bagi kepergian haji ibu Qadri bukan dipimpin seorang ulama
atau kiai, tapi malah sekelompok bissu.
Kini
eksistensi bissu tidak lebih dari sisa-sisa peninggalan kebudayaan Bugis kuno.
Fungsinya hanya merawat benda-benda pusaka peninggalan kerajaan di rumah khusus
penyimpanan. Mereka di mata umum, tidak jauh berbeda dari kaum waria. Sering
dicibir dan didesas-desuskan sebagai
biang kerok nasib buruk dan orang musyrik.
BAIK waria maupun bissu adalah korban pertautan rezim pengetahuan dan kekuasaan. Adalah Michele Foucault yang menemukan bahwa di balik pengetahuan menyangkut wacana terpatri praktik kekuasaan di dalamnya. Atau dengan kata lain, setiap wacana pengetahuan (ilmiah/diskursus) adalah bentuk dari beroperasinya kekuasaan.
Hubungan
ini diteliti Foucault merentang jauh di belakang di era sebelum abad pencerahan. Ia mendaku
setiap era ataupun setiap zaman memiliki sistem berpikir sendiri yang
disebutnya episteme.
Episteme
inilah yang bakal menentukan cara berpikir masyarakat walaupun dihadapkan
kepada kasus yang sama. Menurut
Foucault, lantaran tiap zaman mempunyai dasar sistem engetahun yang
berbeda, maka kebenaran di tiap zaman adalah unik dan tidak memiliki kesamaan
dengan zamanya.
Sebagai
pakar sejarah, penelitian Foucault menemukan ekses negatif dari relasi
pengetahuan dan kekuasaan. Ekses negatif ini berupa pembelahan sistem
pengetahuan mengenai apa yang benar dan yang salah, apa yang normal dan tidak
normal, dan apa yang sehat dan yang sakit menurut rezim wacana kekuasaan saat
itu. Dalam tinjuannya, pemilahan ini bukan berarti tanpa tendensi selain dalam
rangka mengokohkan rezim kekuasaan saat itu.
Kekuasaan
menurut Foucault bersifat produktif dan positif alih-alih negatif, menekan, dan
menindas. Artinya, karena wujud kekuasaan tidak nampak, ia tidak bisa dipahami
serta merta dirasakan. Padahal menurut Foucault kekuasaan melalui rezim
pengetahuan bekerja melalui mekanisme kontrol dan pendisplinan tubuh.
Itu
artinya, ketika Foucault turut berbicara seksualitas dan kekuasaan, ikut di
dalamnya pula rezim wacana yang memproduksi pengetahuan mengenai apa atau siapa
yang normal dan tidak normal, siapa yang sehat dan tidak sehat, dan siapa yang
benar dan tidak benar.
Kategori
pengetahuan macam demikian dapat dilihat ke dalam bidang yang lebih luas
semisal bagaimana ilmu psikiatri mendefenisikan mental yang mengubah penanganan
orang gila. Defenisi penyakit menurut dunia kedokteran mengubah pendekatan
manusia terhadap pasien dengan isolasi, pengasingan, dan mengubah kelekatan
sosial.
Konsep sekolah mengubah arti terpelajar tidak terpelajar. Konsep
kesehatan mengubah makna tubuh, konsep kecantikan mengubah dan menghadirkan
salon, pola makan, diet, dan kursus olahraga. Defenisi agama mengubah makna
perbedaan, iman, kafir, dan melahirkan taklid buta.
Sebagaimana
penelusuran Foucault menyangkut praktik seksualitas di abad pertengahan, waria
atau bissu juga diketengahkan di dalam
formasi wacana sebagai kaum yang layak dilecehkan, diisolasi, dan dibiarkan
tanpa ada hubungan interaksi. Mereka menjadi golongan dilabelisasi berdasarkan
defenisi-defenisi yang diberikan kekuasaan atasnya.
Konsep
seksualitas dan keimanan yang secara
monolitik hasil diskursus kekuasaan, menjadi cara pandang masyarakat di dalam
menerima kehadiran mereka. Intinya, kelompok waria ataupun bissu, sulit keluar
dari objektivikasi kekuasaan. Mereka senantiasa dipandang rendah, menyimpang,
dan layak dikendalikan. Mereka tidak akan pernah diberlakukan layaknya manusia,
yang punya hak sama seperti golongan masyarakat lain.