![]() |
Poster
Film Tarzan Kota (1974)
dibintangi
aktor legendaris Benyamin Sueb
dan
Ida Royani
|
OTAK
bayi manusia, saat pertama lahir, otak paling lemah dibandingkan binatang. Ahli
neurologi menyebutnya otak ”prematur”. Butuh bertahun-tahun bagi bayi
menyempurnakan jaringan otaknya.
Otak
binatang sejak kelahiran sudah sampai ke tahap perkembangan lanjut. Bayi
manusia membutuhkan banyak waktu dan ”asupan” informasi demi mencapai otak
sempurna. Otak sempurna akan berengaruh kepada kematangan kemandirian berpikir
manusia.
Itulah
sebab, bayi manusia belum dilengkapi kecapakan berbahasa, gerak, dan perasaan
saat ia lahir. Dalam sejarah, selain Isa Al Masih Tuhan tidak salah menurunkan
mukjizatnya menciptakan seorang bayi mampu berbahasa sejak lahir.
Anda
bukan Isa Al Masih, seorang bayi tiba-tiba berkemampuan bercakap-cakap dengan
ibu yang belum lama melahirkan Anda. Itu sebab, nama Anda tidak tercatat dalam
buku-buku mukjizat para rasul, atau buku sejarah masa kini.
Belum
ada pula catatan sejarah berhasil menemukan seorang bayi, pasca keluar dari
perut ibunya, seketika mampu berjalan dan berlari laiknya pemain sepak takraw.
Jika
ada satu kemampuan bawaan bayi manusia sejak lahir, barangkali itu juga adalah
mukjizat setiap bayi seperti Anda, adalah menangis. Itupun para ahli masih
bingung, jenis pengetahuan (insting?) apakah yang mendorong bayi menangis
pertama kali lahir.
Kata
John Locke, filsuf empirisme Inggris, bayi dilahirkan ibarat kertas kosong.
Putih bersih di awal kehidupan, dan seturut pengalaman kertas itu bakal terisi
beragam informasi. Selama Anda menjalani lika liku kehidupan, selama itu pula
”kertas” kehidupan Anda terisi.
Tarzan,
manusia hutan dibesarkan komunitas gorila dikenal tidak mampu berbahasa.
Pengalaman hidupnya tidak dibentuk dari lingkungan manusia. Sehari-hari, karena
diajarkan cara berpikir dan berperilaku monyet, Tarzan lebih mirip monyet
daripada manusia.
Nanti,
seperti di filmnya, Tarzan mengenal bahasa setelah ia bertemu seorang perempuan
yang memperkenalkannya cara hidup versi peradaban manusia.
Film
Tarzan mengajarkan watak perilaku manusia dibentuk lingkungannya. Jangan takut,
Anda bukan Tarzan karena tidak hidup bersama seekor gorila. Warna warni
”kertas” kehidupan Anda ditentukan di komunitas apa, pendidikan apa, kebudayaan
apa Anda berada, bukan di komunitas gorila apa Anda hidup. Kata pepatah Arab,
sering-seringlah bergaul bersama penjual parfum, barangsiapa bergaul dengan
penjual parfum, ia akan kebagian baunya juga.
Ilmu
neurologi menerangkan otak manusia terdiri dari sekitar 100 miliar neuron.
Setiap neuron memiliki ribuan jaringan dengan neuron lain. Di antara satu titik
neuron dengan ujung neuron lain dipertemukan apa yang disebut ahli neurologi
sebagai sinapsis.
Di
miliaran jaringan sinapsis inilah ”bergerak” data kimia membuat jutaan sirkuit
informasi setiap waktu.
Uniknya,
jaringan sinapsis ini bakal tumbuh membentuk jaringan baru sesuai di lingkungan
apa Anda hidup. Tarzan, kemungkinannya memiliki jaringan neuron versi gorila
karena sehari-hari bergaul bersama gorila. Tarzan hanya mengenal ”bahasa” versi
gorila, bukan ”bahasa” manusia.
Jika
lingkungan Anda lingkungan tanpa ”bahasa”, jaringan sinapsis Anda bakal sulit
tumbuh. Kemungkinan otak Anda akan mengecil menjadi seperti kacang polong.
Sebaliknya, kalau hidup Anda penuh
”bahasa”, menurut ahli jaringan saraf otak, otak Anda akan ”ditumbuhi” jaringan
sinapsis. Semakin banyak ”bahasa” Anda
ketahui, semakin banyak serabut sinapsis muncul di otak Anda.
Tapi,
masih menurut ahli neurologi, sebenarnya perkembangan jaringan sinapsis
ditentukan dari ”baik buruknya” ”bahasa”
yang Anda terima. Jika Anda tiap hari menerima ”bahasa” dari orang-orang
berkeperawakan mirip gorila, ahli neurologi sudah pastikan, otak Anda akan
mengalami kerusakan permanen. Jaringan sinapsis otak Anda akan mengalami
malfungsi.
Otak
Anda bakal sehat kembali, masih menurut ahli otak, jika setiap saat Anda hanya
menerima ”bahasa” kebaikan. Hanya ”bahasa” kebaikanlah yang mampu
”menghidupkan” kembali kerusakan jaringan saraf sinapsis Anda.
Jika
sehari-hari Anda hidup bersama orang berkeperawakan mirip gorila, demi
menyelamatkan otak Anda dari kerusakan permanen, segera-lah meninggalkan orang
mirip gorila tadi. Ia hanya pandai ”berbahasa” kekerasan dan kebencian. Jika
tidak segera ditinggalkan, tunggu saja, pelan-pelan hidup Anda akan seperti
gorila, kejam dan sulit diatur.
Karena
itu menurut ilmu neurosains, otak adalah ”benda” paling canggih sekaligus
misterius. Ia sampai sekarang masih terus diteliti dan dikuak seiring
pertumbuhan jaringan sinapsis.
BAYI
sapi atau kuda, atau kerbau, atau jerapah, atau hewan mamalia lainnya sering
membuat saya takjub. Selang beberapa menit setelah lahir mereka sudah mampu
berjalan dan berlari. Banu, anak saya, di usianya sekarang –1 tahun 2
bulan—belum mampu berjalan.
Bagi
bayi mamalia, alam menyediakan waktu tidak lebih satu jam agar ia bisa
berjalan. Manusia bukan anak alam, kemampuan berjalan bayi manusia membutuhkan
waktu hampir satu tahun. Seperti Banu, jika tidak dirangsang, pertumbuhan
motoriknya membutuhkan waktu lebih lama.
Jika
Anda memelihara kucing dan sedang mengandung, perhatikan anak kucing setelah
dilahirkan. Gerombolan anak kucing Anda membutuhkan 9-12 minggu masa ”belajar”
menjadi kucing baik. Di masa ini, seekor anak kucing akan dididik lingkungan kucing.
Ia akan diajarkan ”norma-norma” kehidupan kucing.
Ingrid
Johnson, aktivis International Association of Animal Behavior Consultans,
menyebutkan saat rentang 12 minggu itu, kucing Anda akan belajar ”bahasa
kucing”. Di masa ini ”bahasa kucing” ditentukan dari pengalaman
”bersosialisasi” sesama kucing. Semakin ia bersosialisasi, semakin ia mengenal
”bahasa kucing”. Semakin ia mengenal ”bahasa kucing”, ia tumbuh menjadi kucing
peliharaan yang baik.
Inggrid
menjelaskan, jika selama masa ini anak
kucing tidak ”mendapatkan” teman bermain, ia akan tumbuh menjadi kucing tanpa
”bahasa kucing”. Kucing tidak mengenal ”bahasa kucing” akan tumbuh menjadi
kucing agresif. Lihat saja, kucing Anda bakal suka mendesis, senang meludah,
dan gemar mencakar, hatta sesama jenisnya.
Seandainya
Anda kucing, baik buruknya perangai Anda ditentukan di masa 3 bulan setelah
Anda dilahirkan. Jika sehari-hari Anda berperilaku buruk, agresif, dan suka
mengancam orang lain, seperti anak kucing Anda, kata Ingrid Johnson, masa 2
bulan belajar Anda tidak berjalan baik.
Mungkin
Anda kurang bersosialisasi bersama kucing-kucing lain.
Kata
Ingrid, kucing agresif banyak ditemukan karena dilahirkan dan hidup sendiri.
Sesuai Ingrid, Anda agresif seperti kucing, karena Anda sulit menerima kehadiran
orang lain.
Ingrid
menulis tentang ”bahasa kucing” di bawah judul esai Tarzan Syndrome. Sindrom
Tarzan, istilah Ingrid kepada kucing-kucing yang belum mampu mengenal ”bahasa
kucing”. Bagi kucing yang tidak mengenal ”bahasa kucing” membutuhkan waktu lama
menjadi kucing baik.
Kucing
terkena sindrom Tarzan tumbuh menjadi kucing ”pemarah”, ”nakal”, ”susah diatur”
dan ”sulit bersosialisasi”. Seandainya kucing peliharaan Anda terkena sindrom
Tarzan, solusinya sederhana, tulis Ingrid, segeralah memperkenalkan kucing Anda
kepada kucing lain. Seperti Anda yang kesepian, kucing Anda hanya butuh teman
”bersosialisasi”.
”BUKAN
aku yang membunuhnya”, ia berkata dan melanjutkan, ”Ada harimau di dalam
tubuhku”.
Beberapa
teman saya mempunyai kemampuan ajaib jika tidak layak dikatakan aneh. Di antara
mereka bisa berubah menjadi macan atau harimau. Tentu bukan macan atau harimau
sesungguhnya. Hanya sifat dan keperawakannya saja. Transformasi itu pernah saya
saksikan ketika mereka menguji ilmu bela dirinya.
Ketika
mereka uji tanding, sambil berkeringat ada saat ruh binatang buas merasuki
tubuh mereka. Kadang ruh macan. Tapi, lebih sering harimau. Jika sudah begini,
mereka bakal mengaum-ngaum, mendesis, sampai menjulurkan cakar sambil
berkelahi. Saat inilah arena tanding semakin sempit akibat ”tingkah” aneh
mereka. Lebih aneh lagi, tidak disadari uji tanding bakal lebih mirip
pertunjukkan mistis.
Kata
mereka saat seperti itu kesadaran mereka lenyap entah kemana. Mereka hanya
mengikuti energi yang menggerakkan tubuhnya. Kebetulan saja selama ini energi
macan atau harimau kerap merasuki mereka. Makanya mereka menjadi seperti macan
atau harimau. Sayang, sampai saat ini saya belum pernah menemukan mereka
berubah menjadi gorila.
Lelaki
Harimau novel karangan Eka Kurniawan demikian menarik menangkap fragmen seperti
pengalaman mistis uji tanding di atas. Melalui Margio, tokoh utamanya, Eka
mengangkat wacana psikologi-mistis yang menjadi dasar terselubung—sekalipun
samar-samar—dari perilaku pembunuhan Margio atas Anwar Sadat.
Saya
tidak akan mengemukakan kepada Anda bagaimana jalan cerita Lelaki Harimau kali
ini. Itu urusan tukang ulik buku meresensi karangan sastra demikian. Sekalipun
begitu, Lelaki Harimau setidak-tidaknya melalui figur Margio sedang
mengetengahkan tegangan-tegangan dialami diri manusia di antara ekstrim
animaliti dan ideal kemanusiaan. Dua
sisi ini, kerap mengambil tempat dan membonceng di belakang kesadaran manusia.
Produk
panjang peradaban berupa kesadaran, dan ekses negatifnya berupa sisi binatang,
dalam cerita Lelaki Harimau, merupakan tempaan tekanan kehidupan berupa anomali
masyarakat, kehancuran keluarga, kekerasan fisik, kekecewaan, kegagalan cinta,
dan iming-iming harapan palsu, yang dialami tokoh utamanya melatarbelakangi
pembunuhan Anwar Sadat.
Menariknya,
setelah membunuh Anwar Sadat melalui gaya terkam harimau, ungkapan kutipan
Margio di atas, tidak sama sekali memberikan pemahaman terang berkaitan siapa
atau apa sisi dominan yang melatarbelakangi tindakannya? Dalam ilmu psikologi,
wacana ini semakin menguat ketika Sigmund Freud, mempermasalahkan ”kesadaran”
sebagai anak didik peradaban manusia dengan mengajukan tesis ”irasionalisme”
sebagai dasar fondasional sikap dan perilaku manusia.
Belum
ada waktu paten berapa lama manusia menjadi baik dididik peradaban. Seperti
Anda, saya juga bingung, jika 2 bulan dibutuhkan kucing menjadi baik, berapa
lama waktu tersedia bagi kita agar tidak menjadi kucing agresif dan sulit
diatur. Berapa lama waktu yang cukup bagi ”kesadaran” mengerti “bahasa”
peradaban manusia?
Tahun
1894 Rudyard Klipling menulis fabel berjudul The Jungle Book berisi kisah-kisah melukiskan hubungan dunia
manusia dan binatang. Salah satu cerita terkenal dari kumpulan kisah itu adalah
Mowgli, anak rimba dibesarkan srigala di pedalaman hutan lebat India. Seperti
kisah Tarzan, Mowgli tumbuh tanpa sekalipun mengenal kebiasaan kehidupan
manusia umumnya. Ia menjadi anak rimba
hidup bebas bersama binatang-binatang hutan lainnya.
Satu
abad lebih, di tahun 1995, scholar Indologi, Wendi Doniger O’Flaherty kali
pertama menggunakan istilah sindrom Mowgli melalui bukunya bertitel Other Peoples ‘Myths: The Cave of Echoes.
Kelak dalam dunia ilmu psikologi nama Mowgli dipakai mendeskrepsikan fenomena
anak liar akibat hambatan mental. Seperti Tarzan sindrom, anak-anak liar
terjadi karena perkembangan jiwanya terisolasi dari masyarakat, dan tidak
menemukan dunia sosialisasi yang baik.
1974,
aktor legendris Betawi, Benyamin Sueb, dengan jenaka memeragakan karakter
Tarzan dalam film Tarzan Kota. Jalan ceritanya mengadopsi (dengan sedikit
inovasi tentunya) karangan Edgar Rice Burroughs, si pencipta karakter Tarzan
dalam novelnya Tarzan of the Apes.
Karakter
Tarzan kota tidak seperti figur Tarzan ciptaan Hollywood bertubuh atletis dan
berhidung mancung, justru Tarzan versi Benyamin bertubuh gempal, tampil lucu,
dan ceria. Hanya saja, seperti Tarzan ”asli”, Tarzan Kota banyak mengalami kegagalan
beradaptasi ketika hidup di tengah modernisme perkotaan. Keliaran Tarzan di
tengah kota tidak berkutik hiruk pikuk peradaban kota.
Jika
Tarzan kota adalah olok-olok, mungkin sasarannya adalah modernisme itu
sendiri—yang notabene kehidupan kita sendiri. Kiwari, jika sindrom Tarzan, atau
sindrom Mowli dipandang sebagai kritik modernisme, maka sekarang, betapa
banyaknya kegagagalan kita mengenal ”bahasa” peradaban. Absennya pemahaman atas
”bahasa” peradaban, kurang lebih menciptakan kegagalan adaptasi banyak
komunitas masyarakat.
Politik,
ekonomi, pendidikan, seni, dan agama, saya kira dimensi kehidupan masyarakat
yang mau tidak mau mesti menyediakan wahana menangkap dan mengenal ”bahasa”
peradaban. Kegagalan atasnya, meminjam temuan Ingrid Johnson, hanya akan
melahirkan ”kucing-kucing” agresif. Kehidupan liar versi Tarzan, tanpa moral
toleran, tanpa empati.
Tentu
Anda tidak ingin menjadi gorila, bukan? Atau seperti Margio, dalam Lelaki
Harimau, yang membunuh ”peradaban” dengan berdalih: ”bukan aku yang
membunuhnya, ada harimau di dalam tubuhku!”.