TERTAWA bukan saja sifat alami manusia. Dilihat dari aspek sosialnya, tertawa malah
dapat menandai kebudayaan masyarakat tertentu. Bangsa Mesir dan Persia,
misalnya, disebut bangsa yang humoris. Mereka bisa saja menyelipkan humor
sekalipun dalam keadaan marah.
Berbeda bagi bangsa Jepang dan Jerman yang cenderung serius dan kaku. Tertawa
bukan tradisi kedua bangsa ini.
Tidak
seperti Perancis, di Rusia orang-orang malah sulit melempar senyuman kepada orang
asing. Di negeri sendiri, bahkan senyuman bisa menandai keakraban walaupun
terhadap orang asing.
Begitulah
tertawa di beberapa bangsa-bangsa dunia, kadang menjadi perwakilan identitas
kolektif masyarakatnya.
Di
awal abad 20 dunia mengenal Charlie Chaplin, aktor seni peran yang
mengembangkan humor untuk menggambarkan kepelikan dunia. Lewat tertawa, humor
Chaplin ingin mengajak penontonnya melihat dunia melalui cara berbeda.
Dari
setting masyarakat industri melalui film semisal The Modern Time dan City Light,
Chaplin menciptakan sosok Tramp demi menunjukkan kontradiksi-kontradiksi kemanusiaan masyarakat industrial.
Lewat
karakter Adenoid Hynkel, Chaplin memeragakan humor gaya mengejek dalam
film The Great Dictator. Semua yang
pernah menyaksikannya tahu, dari film itu, sosok yang ia sasar adalah Adolf
Hitler, tokoh penyulut Perang Dunia ke 2.
Humor
Chaplin humor tanpa kata, tapi bukan berarti tanpa “bahasa”.
Melalui peran jenaka, bahasa humornya dapat ditangkap melalui gesture,
mimik, gerak-gerik, dan petingkahnya yang memanfaatkan tubuh sebagai teks.
Peragaan tanpa kata itu berhasil mengaduk sense of humor setiap
penontonnya.
Humor
a la Chaplin humor yang melibatkan dimensi kritisisme. Ia sebenarnya
tidak sedang bercanda. Malah, humornya berbau politis. Dengan cara demikian, Chaplin
memanfaatkan sense of humor pada setiap diri penontonnya agar menyadari
situasi kritis masyarakat.
Di
Tanah Air, guyonan apik dikawinkan dengan politik pada orang sekaliber Gus
Dur. Di tangannya politik bak permainan. Melalui humor Gus Dur
banyak membuka wawasan masyarakat ke dimensi-dimensi persoalan yang jarang
dilihat.
Sebagai teknik komunikasi, Gus Dur paham betul humor perangkat komunikasi paling jitu merangsang pemahaman lawan bicara agar menyadari betapa
kompleksnya suatu persoalan.
Konon
nilai spiritualitas manusia dapat diukur dari tingkat sense of humornya.
Semakin tinggi sense of humornya, semakin cerdas ia secara spiritualitas.
Sebaliknya, semakin rendah sense of humornya rendah pula tingkat
spiritualitasnya.
Kaitan sense
of humor dengan agama ditilik dari kemampuan sekaligus kepandaian seseorang memperluas dan memperdalam pemaknaan saat
mengartikulasikan nilai-nilai agama.
Sense
of humor juga menjadi semacam basis episteme yang meradikalkan pemahaman
menjadi lebih cair dan fleksibel. Melalui keadaaan ini, sense of humor-lah yang
membuat jiwa lebih ”ringan” menghadapi segala hal yang dianggap berat
dan baku.
Bahkan,
lewat sense of humor-lah, ego, yang seringkali menghambat perkembangan
spiritualitas manusia, dapat diturunkan tegangan dan derajatnya sampai kepada
level yang paling rendah.
Dengan
kata lain, humor adalah metode penyampaian yang dapat mentransformasikan
gagasan berat, baku, dan kaku ke dalam suatu model bahasa yang lebih cair dan
mengalir ke berbagai lapisan kesadaran dan kejiwaan.
Kisah-kisah
sufistik misalnya, adalah contoh bagaimana humor dan ajaran agama disandingkan.
Melalui kisah-kisah sufistik, agama kehilangan ”keangkerannya”. Di tangan para
sufi semisal Nasruddin Khoja, agama sebagai ajaran Tuhan nampak lebih ”ceria”, ”jenaka”,
dan ”terbuka” ketika disampaikan. Melalui kisah jenaka para sufi, agama malah
lebih mudah diterima ketimbang dengan cara lain.
Belakangan,
nilai pasar humor menjadi lebih tinggi. Di dunia hiburan, banyak acara televisi
memasukkan unsur humor. Humor di acara-acara itu tidak sedikit menjadi
ajang menaikkan rating dan pendapatan. Humor di dunia hiburan jika bukan
merangsang imajinasi berpikir masyarakat, malah sebaliknya membuat masyarakat
kehilangan dimensi kritisismenya.
Di
waktu bersamaan, humor sulit dipakai mencerna hal-hal serius. Politik,
dan bahkan agama, adalah dua sisi kemanusiaan kiwari dipandang haram
”diguyonkan”. Menguatnya konservatisme politik dan agama, membuat humor
dianggap melecehkan marwah agama dan politik.
Merebaknya
konservatisme, pada akhirnya membuat masyarakat kehilangan sisi ”kejenakaan”, ”keceriaan”,
dan ”keterbukaan” dalam mencerna
sesuatu.
Konservatisme
agama dan politik yang ”fiqih oriented” dan atau ”syariah oriented” membuat
segalanya kian sempit dan menyesakkan. Agama yang ”fiqih oriented” membuat
seseorang anti kepada keberagaman, cenderung menginginkan kebakuan dan kekakuan
pemahaman.
Imbas cara pandang seperti ini tidak akan ada dinamika dan kesegaran dalam
mengamalkan pemahamannya di dalam kehidupan yang serba cair ini.
Dunia
yang kehilangan kejenakaan dan keceriaannya, jika bukan menganggap humor
meremehkan persoalan, maka dianggap menista ide-ide sakral dan keyakinan yang
dikandung dalam apa pun. Padahal, agama kehilangan keceriaan akan menjadi
amalan muram, tradisi kehilangan kejenakaan membuat budaya menjadi kaku, dan politik kehilangan keterbukaan akan menjadi kekuasaan
totaliter.
So, jika hari-hari ini Anda mudah
marah kepada perbedaan, keragaman, dan keanekaan, jangan-jangan ada yang salah
dari diri Anda. Why so seriously!?