Langsung ke konten utama

Buku dan Kubu


BELAKANGAN saya kesulitan menemukan kenikmatan membaca buku. Alih-alih dapat menempuh waktu lama dalam membaca, saya seringkali keteteran dengan serbuan ”musuh” di dalam kepala saya. Ya, dunia maya masih menjadi peringkat pertama dalam daftar hal-hal yang harus ditinggalkan jika ingin menjadi pembaca yang tekun.

Musuh di kepala saya ini sudah ibarat racun, mengotori dan berkecambah sampai memengaruhi keinginan yang sulit dibendung. Gawai, benda tercanggih sekaligus terkutuk abad ini biang keroknya. Ia yang bertanggung jawab dari semua ini.  

Tapi, malangnya, walaupun menjengkelkan, tidak bisa dimungkiri representasi dunia lebih banyak nongol melalui layar kaca gawai. Urusan apa saja bisa ditemukan di atas mungil layar kacanya. Dari urusan ranjang artis ternama sampai soal-soal politik yang sontoloyo itu.

Pernah beberapa kali ingin melenyapkan perangkat canggih ini di liang jauh. Mengubur atau mengenyahkannya tanpa mesti dikenang lagi. Tapi apa daya, cara ini terlampau ekstrem mengingat sebagian kebutuhan komunikasi bertumpu kepada alat ini.

Saya bakal kehilangan komunikasi dengan lingkaran pertemanan yang berjibun itu: grup-grup yang hanya saya baca itu, teman-teman seorganisasi, rekan-rekan kerja, atau bahkan dengan istri sendiri. Hampir separuh dunia akan hilang jika gawai kita enyahkan.

Maka pilihannya hanya ada satu: mengurangi pemakaian gawai sebatas komunikasi belaka. 

Belakangan pilihan ini sulit saya jalankan oleh sebab kebiasaan membuka youtube. Youtube saat ini adalah semesta segala hal. Siapa pun bisa menjadi publik figur melalui konten-konten kreatif.

Bahkan tidak sedikit konten-konten menjual kekonyolan berupa menjadi pocong-pocongan kawe. Yang unik saya sampai berdecak kagum terhadap konten kreator yang tidak kehabisan ide yang kerjaannya mengejar-ngejar mahluk halus di tempat-tempat angker.

Itu konten-konten yang mampu membuat Anda tertawa sekaligus menjadikan Anda sebagai orang tolol.

Di Youtube Anda tidak perlu jauh-jauh ke Tanah Suci hanya untuk belajar agama. Atau bertahun-tahun nyantri di pesantren-pesantren. Cukup Anda mengikuti chanel ustadz-ustadz kekinian lengkap dengan perasaan bahwa mengikutinya Anda sudah masuk kategori orang beriman. Kalau konten-konten agama macam ini sudah mampu membuat perasaan Anda seinci dengan taman surga.

Tapi jika Anda masih bisa berpikir lebih dari 16 detik, pilihannya tidak rumit, menonton konten-konten yang banyak dibubuhi komentar-komentar religius itu akan membuat Anda di suatu waktu menjadi konservatif, atau sebaliknya, lebih moderat.

Dari sekian banyak pilihan itu, saya sering mengikuti kajian-kajian keagamaan yang diampuh Ustadz Miftah Rakhmat bertema Daqaiq Al Quran; suatu cabang ilmu Agama yang membahas kedalaman makna dan presisinya kata-kata yang dipakai Tuhan dalam Al Quran. Kajiannya lebih berisi dari model konten yang di atas tadi itu. Lebih berbobot karena mau kajian yang bagaimana lagi selain mengulik dan menimba air pemaknaan dari dalamnya samudra kata-kata Al Qur’an?

Sudah nasibnya, dunia maya banyak mengubah model dakwah masa kini. Saya beruntung dapat menikmati salah satu manfaat ditemukannya Youtube. Kajian-kajian yang dilakukan jarak jauh dapat segera saya nikmati tidak lama ditayangkan melalui dunia maya.

Menghabiskan bacaan dengan cepat adalah keistimewaan. Mengingat belakangan orang-orang menganut filosofi ”tidak apa-apa terlambat asal selamat” dianggap orang aneh. Buku-buku abad kiwari tidak pernah berhenti dicetak. Kecepatannya terpampang di etalase rak-rak toko buku secepat seekor tikus berkembang biak. Rasa-rasanya, belum membaca buku terbitan terbaru seperti manusia yang terlahir dari abad lalu.

Sehari-hari belakangan saya mesti membagi waktu dengan istri menjaga buah hati kami. Jika Lola berpergian keluar bekerja, saya harus rela tinggal di rumah mengurusi kebutuhan Banu, anak kami.

Semenjak kami dikaruniai anak, hampir semua kebiasaan kami berdua berubah drastis. Terutama saya yang kerap nongkrong di warung kopi. Sekarang, jangankan keluar untuk sekadar menulis sembari ngopi, bertemu kawan saja demi urusan tertentu harus disesuaikan dengan jadwal kami berdua.

Menjadi orang tua apalagi dikarunai seorang anak adalah pertarungan tersendiri dengan diri sendiri. Banyak hal yang mesti dinegoisasikan kembali terutama menyangkut kepentingan diri sendiri. Semenjak Banu hadir menjadi anggota baru keluarga mini kami, ia satu-satunya paling utama menjadi prioritas. Segala hal pekerjaan yang menyangkut kepentingan pribadi mesti ditunda demi Banu.

Buku adalah jendela dunia, tapi di hadapan Banu, ia tidak berbeda dengan perabotan rumah. Terpampang dan diam begitu saja. Banu adalah semesta lain. Keberadaannya mengubah segala hal, termasuk untuk membaca buku. Jika ingin memenangkan keduanya, saya harus mendahulukan Banu terlelap tidur lebih dahulu. Di waktu yang demikian singkat itu, membaca demikian berharga. Sialnya kenikmatan membaca tidak seperti saat Anda menikmati sepiring nasi goreng pagi hari. Kadar waktu saja tidak cukup. Lebih dari itu, malah. Fokus dan konsentrasi.

Di saat begini, saya memilih berbaring bersama Banu. Dengan buku sekubu bersamanya.
   

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...