![]() |
Judul Buku: Candide
Penulis: Voltaire
Penerjemah: Ida Sundari Husen
Penerbit: KPG
Tahun Terbit: 2016
Cetakan ke: Pertama
ISBN: 978-602-424-160-5
|
”Untuk apa dunia ini diciptakan?” tanya Candide.
”Untuk
menjengkelkan kita,” jawab Martin.
CANDIDE diam-diam adalah novel yang
jenaka, tapi juga dibubuhi ironi. Voltaire, penulis buku ini tentu punya maksud
tertentu mengapa ia menulis dengan banyak satire di dalamnya.
Cek per cek, ternyata buku ini adalah
wujud lain dari pandangan filsafatnya. Dicek lagi lebih dalam, buku ini bukan
menceritakan sembarang kisah. Selain menyiratkan kritikan terhadap Leibniz, Voltaire
dengan gaya menulis tempo cepat tengah mendedahkan suatu pemahaman berkaitan
dengan kosmologi bahwa dunia tidak seperti yang kerap diharapkan. Antara
idealitas dan realitas kadang saling memunggungi, bahkan meniadakan.
Candide dilihat dari satu sisi
seperti kisah petualangan Don Quixote karya Miguel Cervantes. Bahkan keluguan
karakter Candide—namanya saja sudah berarti lugu, mengingatkan saya kepada Schweik,
si tentara polos dan tolol ciptaan Jaroslav Hasek. Petualangan dan keluguaan
inilah yang banyak mewarnai kisah Candide. Uniknya, keluguan ini bukan keluguan
kacang-kacangan. Voltaire mendudukkannya dalam kaitannya dengan filsafat.
Filsafat seringkali dianggap
sebagai ilmunya orang-orang yang besar rasa ingin tahunya. Dalam fenomenologi,
barang siapa ingin berfilsafat ria, seseorang mesti berperilaku seperti
anak-anak kali pertama menyaksikan sesuatu. Polos plus takjub dengan fenomena
yang belum pernah disaksikan tiada duanya. Lantaran ketakjuban inilah filsafat
baru dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu.
Candide—sesuai namanya adalah murid
lugu dari Pangloss, si jenius filsafat yang hidup di dalam istana. Ia bahkan
disebut sebagai filosof paling hebat di seantero Imperium Suci Romawi. Mereka berdua
diibaratkan Socrates dengan muridnya, Platon, yang kerap berdiskusi mengenai
apa saja. Hanya saja, Candide dan Pangloss versi satire a la Voltaire.
Belakangan ketika jalan cerita semakin panjang, akan semakin tampak mengapa
Voltaire terkesan mengejek filsafat rasionalis melalui dua figur yang secara
ironi mempelajari filsafat.
Kisah petualangan Candide didorong peristiwa
yang sebenarnya tidak terduga. Ia ditemukan berciuman dengan Cunegonde, putri
seorang baron bernama Thunder-ten-tronch setelah tanpa sengaja berpapasan di
balik sebuah ruangan. Malang nasib mereka berdua. Pasca kejadian mesum itu,
Candide diusir dari istana tempatnya hidup, dan Cunegonde, yang digambarkan
cantik, rupawan, dan bertubuh montok, jadi korban amarah ibunya.
Pasca Candide terusir dari istana,
petualangannya tidak akan pernah dapat ia tebak. Semula ia menjadi tentara yang
membawanya ke dalam perang yang ia tak pahami seluk beluknya. Ia ditangkap dan
kemudian dibebaskan dari hukuman 2000 resimen karena dipandang raja sebagai
orang dengan kemampuan ahli metafisika. Kemudian ia melarikan diri dan sampai
di Portugis dengan sebelumnya berjuang dengan kapal yang karam. Di perjalanan
itu ia bertemu kembali Pangloss, guru filsafatnya yang ternyata menjadi
gelandangan. Di Lisabon mereka dihukum
otoritas setempat. Pangloss mati digantung sedangkan Candide masih beruntung diselamatkan seorang nenek dengan kisah pilu tentang sejarah hidupnya.
Paris, Peru, Portugal, Venezia,
Konstantinopel adalah garis panjang petualangan Candide. Ia digambarkan
Voltaire persis sebagai bidak catur yang bergerak tanpa kendali sama sekali.
Kemana mata angin nasib berembus ke sanalah Candide berada.
Tampaknya, ini bukan seperti petualangan
sungguhan yang digerakkan keinginan kuat mengembara. Alih-alih Candide adalah
ejekan jika dikaitkan dengan kehendak rasional manusia, sebab petualangannya banyak
didorong oleh faktor x di luar dari kenginannya.
Petualangan Candide yang
diombang-ambing peristiwa yang tak dikehendakinya merupakan antinomi bagi
filsafat yang menyakini segalanya telah diatur secara presisi. Tidak ada yang
melenceng sama sekali. Apa pun kejadiannya, entah keburukan atau sebaliknya,
semuanya adalah panorama takdir yang sudah diatur sebaik-baiknya.
Dengan kata lain, optimisme,
jantung dari filsafat yang melihat jagad raya sepenuhnya adalah kebaikan,
hanyalah secercah kilatan yang tidak menggambarkan kenyataan sesungguhnya.
Justru, Candide si naif, banyak menemukan pengalaman yang bersebarangan tidak seperti
diajarkan guru filsafatnya.
Petualangannya yang sesungguhnya
merupakan kisah pelarian dari satu marabahaya ke marabahaya lainnya, malah
membuka cangkang pemahamannya: pembunuhan, peperangan, pemerkosaan, eksekusi
mati, perbudakan, adalah satu sisi dunia yang tidak selamanya dapat dinafikan begitu
saja.
Dalam salah satu adegan
perjalanannya, Candide bertemu Martin, seorang penganut manicheisme, filsafat
tua Persia yang melihat alam semesta dikuasai dua kekuatan yang saling
bertentangan. Mereka berdiskusi mengenai kebaikan dan keburukan sampai
limabelas hari berturut-turut di atas kapal dengan kesimpulan seperti hari
pertama. Di sini dengan penggambaran macam demikian, filsafat bagi Voltaire
bukan usaha percakapan yang bertele-tele, tapi lebih mengedepankan tindakan
nyata.
Bagaimana mungkin tanpa putus
limabelas hari, diskusi hanya membawa kesimpulan yang tidak berkembang sama
sekali. Sia-sia belaka.
Candide, walau bagaimanapun secara
tidak langsung menarasikan betapa manusia terlampau lugu jika tidak menarik
pemahamannya di dalam kenyataan itu sendiri. Ibarat seseorang yang berdiri di
atas menara tanpa pernah tahu dengan pasti bentuk dan rupa pasir pantai
sesungguhnya.
Manusia mesti bergerak melalui
tindakannya, tanpa mesti terlarut dalam eksplanasi filosofis yang kelewat
panjang.
Setelah tiba di Istanbul dan
melewati duka lara di sepanjang perjalanan mereka, Candide, Martin, dan si guru
filsafat yang ternyata tidak mati, Pangloss, akhirnya menghentikan
diskusi-diskusi filsafat mereka.
”Mari kita bekerja tanpa banyak
berdiskusi…. Itulah satu-satunya cara agar hidup kita ini lebih tertanggungkan.”