![]() |
Judul Buku: Bertarung Dalam Sarung
Penulis: Alfian Dippahatang
Penerbit: KPG
Tahun Terbit: 2019
Cetakan ke: Pertama
ISBN: 978-602-481-100-6
|
PENDEKATAN saya dengan buku ini
tidak seperti buku-buku lain. Di toko buku, saya cenderung memilih buku karena
tema utamanya. Terkadang juga mencari unsur kebaruan dari buku-buku yang lebih
belakangan terbit. Atau mengejar karangan-karangan dari penulis-penulis yang
saya favoritkan—tapi seringkali semua itu gugur selama persediaan kantong
terbatas :).
Bertarung Dalam Sarung saya
pilih—dari sekian banyak pilihan—bukan karena alasan-alasan di atas, walaupun
ia tergolong judul baru dalam khazanah kesusastraan Tanah Air (Dari segi ini
bayangkan berapa banyak judul buku baru dicetak setiap harinya?).
Bertarung Dalam Sarung ditulis oleh
orang yang berasal dari daerah yang sama dengan saya: Bulukumba. Walaupun nama
Alfian Dippahatang sudah lebih dulu santer dikenal di jagad kepenulisan
Makassar maupun nasional.
Bulukumba, biar bagaimanapun adalah
semesta yang lain bagi saya. Saya lahir di tanah para expert pembuat Pinisi,
tapi merasa jauh dengan adat istiadatnya, budayanya, orang-orangnya. Saya
dibesarkan jauh di tanah rantauan. Sejak kanak-kanak Bulukumba hanyalah titik
kecil yang sering saya dengar dari percakapan orang tua. Di Kupang, Bulukumba
hanyalah nama asing .
Didorong motif kedaerahan itulah,
saya memutuskan berhak mengoleksi buku kumcer pertama Alfian ini. Barangkali
saja, sedikit banyak ada tradisi mayarakat Bulukumba diceritakan dalam kumcer
ini.
Akan menarik bagaimana melihat
hubungan penulis dalam melihat daerahnya sendiri melalui karya sastra. Terlebih
lagi, bagi saya, kebudayaan masyarakat Bulukumba merupakan dunia khas dengan
adat lokalitasnya. Dua hal ini, yakni sastra dan lokalitas, akan lebih menarik
jika dipertautkan.
Walaupun mesti diakui, dua buku
sebelumnya, Semangkuk Lidah dan Dapur Ajaib, adalah dua karangan awal Alfian,
namun tetap saja, Bertarung Dalam Sarung-lah yang lebih menarik perhatian saya.
Faedahnya bagi saya, langsung tidak langsung melalui sastra dapat membuka sudut
baru mengenai Bulukumba (dan atau Sulawesi Selatan) dari segi-segi fiksi yang
ditawarkan buku ini.
Sampai saya menulis ulasan ini,
belum semua kumcer BDS saya tuntaskan. Awalnya saya hanya melihat-lihat judul-judul
yang terpampang melalui daftar isi. Sembari dengan bebas berusaha menerka-nerka
bagaimana jalan ceritanya kelak. Nama penulisnya menjadi taruhannya di sini,
mengingat ada beberapa catatan penghargaan penulisan yang diraih pemuda asli
Bulukumba ini.
Akhirnya saya hanya sampai
menuntaskan 6 karangan pertama dan 1 judul yang saya pilih secara acak. Berturut dimulai dari karangan bertitel Ustaz
To Balo, Nenek Menerawang dan Ibu Memburu, Jangan Keluar Rumah Saat Magrib,
Kelong Paluserang dan Kebohongan Masa Kecil, Bukan Sayid, Mayat Hidup dan
Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata, dan pilihan acak tadi: Mayat yang
Menceritakan Kematiannya (dan dua cerita lain yang saya baca kemudian).
Sampai di sini mafhum akan segera
dipahami. Ulasan ini tidak akan keluar dari konteks cerita yang sudah saya baca
di atas. Artinya, jika disebut resensi, catatan ini bukanlah ulasan lengkap
mengenai keseluruhan isi buku ini. Biarlah tugas itu diambil alih
peresensi-peresensi lainnya. Toh ini hanya dilatarbelakangi kesukaan menulis
apa saja yang bisa saya tulis tentang buku-buku yang saya baca—walaupun tidak
semua buku, tentunya.
Mungkin ada pengaruh ekspektasi
awal saya mengenai buku ini. Sebab, saat membaca cerita Mayat Hidup dan
Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata, seketika rasa bosan menghinggapi. Sontak
pengalaman membaca saya tidak berkesan seperti saat membaca karangan-karangan
pengarang lainnya.
Cerita Mayat Hidup dan Bertobat Tak
Seperti Mengedipkan Mata dituliskan Alfian melalui dua kisah yang terpisah tapi
masih dalam satu cerita. Ketika dibelah cerpen ini menceritakan Rungka, seorang
anak hasil hubungan gelap ibunya, yang ingin menggali dan mengambil kembali
tubuh ibunya dari kuburan.
Diceritakan semenjak kepergian
ibunya, Rungka menjadi bulan-bulanan
Puto, ayahnya. Hampir semua pertengahan cerpen ini diisi ”dialog” Rungka dengan
Ibunya, yang diceritakan hanyalah tanya jawab tanpa saling terhubung lantaran
perbedaan dunia antara keduanya. Rungka sering datang ke makam ibunya, dan di
saat-saat itulah ia sering ”bercakap-cakap” dengan ibunya melalui sebilah bambu
yang ditancapkan di tanah kuburannya.
Kisah kedua, Alfian mengisahkan
latar belakang kelahiran Rungka. Ibu Rungka diceritakan berkeputusan bersetubuh
berkali-kali dengan Tamrin, saudara Puto secara diam-diam. Tindak gila ini
bermaksud agar Ibu Rungka dapat mempersembahkan seorang anak dari hubungannya
dengan Puto. Puto dikisahkan mandul, dan Ibu Rungka ingin memiliki momongan
dengan atas nama Puto tapi dengan mengambil benih dari Tamrin saudaranya.
Cerita Mayat Hidup dan Bertobat Tak
Seperti Mengedipkan Mata terlalu betele-tele dari segi dialog, dan terkesan
tidak alami seakan-akan betul-betul terjadi—ini yang membuat saya sebagai
pembaca merasa bosan. Dari segi ini, saya bertanya-tanya apakah ada seorang anak
yang bakal menggali kuburan ibunya setelah merasa tidak bahagia hidup bersama
ayahnya? Perbuatan tidak lazim ini, apa pun alasannya belum ada presedennya
dalam kehidupan nyata.
Cerita ini ditutup dengan ending
yang aneh untuk tidak mengatakan biasa-biasa saja apalagi jelek. Ukurannya
dapat dilihat dari Rungka yang begitu saja menginggalkan mayat ibunya ketika ia
mendengar suara Puto dari jauh yang memaki-maki entah untuk siapa. Jika
menimbang-nimbang dimensi psikis Rungka yang diceritakan sangat ingin membawa
pulang ibunya setelah menggali kembali kuburnya, seharusnya apa pun yang
terjadi ia tidak begitu saja meninggalkan mayat ibunya. Dalam cerita ia malah
mengabaikan perasaan cintanya kepada ibunya sendiri.
Keanehan kedua ditunjukkan dari
perlakuan Puto atas mayat Ibu Rungka yang ditinggal lari begitu saja oleh
anaknya. Puto tiba-tiba malah menendang
mayat Ibu Rungka, dan dinyatakan telah membunuh Tamrin. Dari sisi ini,
saya merasa janggal apa dasar utama perlakuan Puto atas pembunuhan Tamrin (di
sini saya tahu Alfian ingin menggiring imajinasi pembaca bahwa tindakan kasar
Puto karena mengetahui hubungan gelap Tamrin bersama Istrinya) dan sikap
kasarnya kepada mayat istrinya, mengingat disepanjang cerita ia bukanlah figur
utamanya. Apa hubungannya dari jalan cerita yang berkisah tentang harapan
Rungka untuk menemui mayat ibunya dengan sikap Puto yang kasar itu, yang malah
menjadi bagian ending ceritanya.
Yang juga mengganjal dari cerita
ini adalah tidak dinarasikannya sebab kematian Ibu Rungka. Ia dari awal sudah
diceritakan meninggal tapi tidak sama sekali ada petunjuk mengapa ia mati.
Kekosongan sebab ini malangnya bukan menjadi jalan cerita yang saya yakini akan
lebih menarik untuk dikisahkan oleh karena pembaca dari awal sudah disuguhi
tokoh yang terlebih dahulu mati. Alfian justru bercerita mengenai dialog-dialog
antara Rungka dan Ibunya, serta Ibu Rungka dan Tamrin—yang dalam dialog ini
justru masih menggantung tentang apa alasan Ibu Rungka enggan bertobat, sesuatu
yang dikehendaki mati-matian oleh Tamrin dengan cara mendesaknya?
Satu hal yang juga tidak prinsipil
mesti dinarasikan secara langsung adalah adegan seksual Ibu Rungka dan Tamrin.
Bahkan di bagian mereka bersetubuh terkesan diceritakan vulgar dan merendahkan
perempuan. Alfian mungkin lupa, cerita dengan menyebut langsung suatu detail
peristiwa bakal mengurangi efek imajinatif pembacanya. Justru, saat Alfian
menceritakan adegan persetubuhan Ibu Rungka bersama Tamrin dengan spesifik
tertentu, alih-alih membuatnya menarik, malah sebaliknya, cenderung mesum
setingkat dengan cerita-cerita seksual di situs-situs cerita seks orang dewasa.
Hal lain lagi yang mesti
diperhatikan dari cerita ini adalah hubungan judul dengan isi dalamnya.
Sepanjang saya membaca kembali cerpen ini, saya malah tidak menemukan isyarat
satu pun mengapa Ibu Rungka enggan bertobat, padahal disebutkan dalam judulnya,
bertobat tak seperti mengedipkan mata. Lantas jika sebuat cerpen seringkali
menerangkan motif-motif para tokoh ceritanya, malah di cerita ini tidak ada
sama sekali satu pun motif yang menjelaskan seperti yang menjadi judul cerpen
ini.
Sebagaimana Faisal Oddang, Alfian
juga nampak memiliki obsesi memanfaatkan kekayaan budaya sebagai elemen penting
dalam setiap ceritanya. Beberapa nampak terasa semisal dalam cerita Kelong
Paluserang dan Kebohongan Masa kecil. Dalam cerita ini tradisi nyanyian
pengantar tidur anak yang sering dilakukan ibu-ibu Bugis- Makassar menjadi
salah satu adegan dalam cerita yang diangkat. Dengan kata lain, elemen
lokalitas dalam cerita ini bukan sekadar embel-embel yang menjadi ornamen dalam
cerita.
Berbeda misalnya dari beberapa
cerita yang saya baca di atas, unsur lokalitas malah hanya diberlakukan sebagai
tempelan belaka, alih-alih menjadi kekuatan ceritanya. Hal ini dapat dibuktikan
dari cara Alfian menyusupkan warna lokalitas hanya dari segi penggunaan diksi
belaka. Dengan kata lain, jika diksi lokal itu diubah dengan bahasa Indonesia
atau dihilangkan tidak akan mempengaruhi jalan isi cerita bersangkutan. Berbeda
misalnya, jika unsur lokalitas itu
dinarasikan menjadi bagian atau inti cerita, maka jika ia dihilangkan maka akan
dengan sendirinya mengubah dan atau merusak isi cerita itu sendiri.
Dalam hal ini jika nuansa lokalitas
menjadi jualan Alfian, menurut saya itu belum sepenuhnya disanggupi. Walalupun
akan kita temukan juga dimensi lokalitas di satu dua ceritanya, semisal Bertarung
Dalam Sarung yang memang tradisi sigajang laleng lipa’ menjadi tulang utama
ceritanya.
Hal yang sama juga ditemui dalam
cerita Bissu Muda. Malah bisa dikatakan cerita ini lumayan berhasil mengangkat
tradisi sebagai bagian penting narasinya. Dengan kata lain tradisi yang
mewakili unsur lokalitas dalam cerita ini hadir sebagai unsur intristik yang
menjadi batang tubuh ceritanya.
Hal menarik dari Bissu Muda adalah
konflik yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini tegangan itu diwakili dari
konflik Suhdi sebagai bissu muda yang mesti mengemban amanah nilai-nilai bissu
dengan dorongan perasaannya yang menyukai seorang pria yang sebenarnya adalah
pantangan bagi seorang bissu. Dari sisi ini timbul pertanyaan, bagaimanakah
adat tradisi mendudukkan unsur intristik manusia berupa hasrat seksualiatasnya
yang sebenarnya manusiawi? Apakah ia mesti dikorbankan demi tegaknya kemapanan
adat atau sebaliknya?
Seperti pada umumnya karangan yang
mengedepankan nuansa lokalitas, hanya ada dua pilihan ketika ia diangkat dalam karya
sastra: mengafirmasinya atau justru menolaknya dengan cara melayangkan kritik
terhadapanya. Unsur lokalitas, baik adat istiadat, kearifan lokal, dan tradisi,
biar bagaimanapun adalah seperangkat ajaran yang bakal berhadap-hadapan dengan
kehidupan modern yang cenderung melihat tradisi sebagai dunia lama yang mesti
ditanggalkan di kehidupan kini dan masa
depan.
Kalau melihat beberapa pertimbangan
di atas, cerpen Bertarung Dalam Sarung adalah cerita yang sedikit banyak
berhasil memberlakukan tradisi sebagai sesuatu yang layak dikritik. Dengan kata
lain, cerita ini telah menjadi medium wacana
dalam mendudukkan tradisi di hadapan kaca mata orang-orang modern
melihat masa lalu.
Inti cerita Bertarung Dalam Sarung
adalah adegan pertarungan dua orang lelaki Bugis yang berusaha mempertahankan
harga dirinya melalui tradisi sigajang laleng lipa’. Tindakan ini didorong
kisah percintaan antara Cenning dengan
dua lelaki Bugis bernama Tarung dan Bombang. Kisah yang juga mengangkat tradisi
perjodohan ini berakhir dengan kematian dua lelaki Bugis.
Yang unik, gaya penuturan kisah ini
diutarakan melalui sudut pandang tokohnya yang berupa selembar sarung Bugis.
Sepanjang kisahnya, penceritaan sarung banyak mengutarakan keluh kesahnya
terhadap pilihan orang tua Cenning menjodohkan anaknya. Malangnya pilihan itu
harus diputuskan melalui adat sigajang laleng lipa’ untuk memutuskan siapa yang
layak mendapatkan anaknya. Dari perspektif ini, Alfian secara tidak langsung
mengajukan kritik terhadap tradisi yang dinilai tidak beradab ini.
Dengan kata lain, keluhan tokoh
sarung mempertanyakan cara Ibu Cenning menggunakan sigajang laleng lipa’ demi
memutuskan suatu keputusan, adalah juga mewakili perspektif yang lebih
manusiawi ketika menghadapi persoalan yang sama. Akhir cerita ketika dua lelaki
Bugis yang tewas saling tikam adalah kesimpulan bagaimana tradisi macam
demikian hanya menyisakan kekalahan bagi semua pihak. Dalam hal ini Cenning
tidak dapat menikahi pemuda pilihannya, begitu pula Ibu Cenning tidak dapat
mengawinkan anaknya dengan pemuda dikehendakinya, lantaran keduanya sama-sama
tewas mempertahankan harga diri.
Tradisi demikian ibarat kata
pepatah menang jadi arang kalah jadi abu. Begitulah intinya.
Kumcer Alfian Dippahatang ditulis
dalam jarak tahun yang tidak berjauhan (2017-2018) dengan tema tidak jauh dari
kebudayaan Sulawesi Selatan, yang karenanya memiliki sisi negatif berupa
minimnya ruang refleksi atas tema besar yang sering diangkatnya—yang belakangan
jadi tren bagi penulis-penulis yang memiliki latar kebudayaan unik (satu hal
penting jika ingin dilirik oleh dunia luar/internasional).
Walaupun demikian, sebagian besar
cerpen yang mendapatkan penghargaan dalam kumcer ini, minimal sudah bisa menjadi salah satu alasan
mengapa buku ini layak dibaca. Meskipun itu bukan jaminan kumcer ini
mendatangkan kepuasan bagi pembacanya.
***
Tayang sebelumnya di Kalaliterasi.com