![]() |
Judul: Pesona Sari
Penulis: Sulhan Yusuf
Penerbit: Liblitera
Edisi: Pertama, 2019
Tebal: 530 hal
ISBN: 978-602-646-23-1
|
--Apresiasi
buku Pesona Sari Diri karangan Sulhan Yusuf
ALKISAH, seorang pria tampan
terpesona melihat cerminan parasnya di permukaan air. Ia lama termangu
seolah-olah paras yang ia lihat tiada bandingan sebelumnya. Dalam kisah sastra
Yunani klasik, cerita ini diabadikan dalam Methamorposes
karangan Ovid. Diceritakan lebih jauh, Narcissus, nama pria rupawan ini,
dikutuk dewa karena angkuh terhadap Echo. Ia menolak cinta Echo dan lebih
memilih mencintai sosok yang ia lihat di atas permukaan air, yang tiada lain
adalah dirinya sendiri.
Narsisme, nama penyimpangan mental
dalam psikologi diambil dari kisah Narcissus di atas. Barang siapa yang
terpesona dengan dirinya sendiri, memuja-muja secara berlebihan dirinya,
dikatakan mengidap narsisme. Kiwari, narsisme sangat gampang ditemui. Fenomena
selfie berlebihan adalah contoh mutakhir betapa masyarakat sekarang sadar tidak
sadar banyak mengidap mental disorder berupa narsisme.
Buku Pesona Sari Diri karangan Sulhan Yusuf ini, bukan bicara gejala
narsisme. Walaupun berpangkal kepada ”diri” sebagai dasar semua karya tulisnya,
di buku ini malah secara impilisit mengejek orang-orang pengidap narsisme.
Banyak orang terpukau dengan ”diri” fisiknya: paras rupawan, gaya hidup,
jabatan, harta dlsb., tapi lupa mengingat ”diri” nonfisiknya: jiwa, ruh, dan
akalnya. ”Diri” yang belakangan disebut ini, alih-alih diberikan perhatian
lebih, malah dilupakan oleh masyarakat mutakhir belakangan.
Problem mendasar tak kalah
dahsyatnya di masa sekarang adalah
masalah otentisitas diri. Banyak masalah di negeri ini yang disinyalemen karena
kegagalam masyarakat mengenal dirinya. Pemahaman atas “diri” kian runyam karena
kuatnya “otoritas kebanyakan” dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi individu.
Orang-orang hanya akan berarti jika ia bersama “massa” dominan dari pada menemukan
makna dari perenungan dirinya sendiri.
Dalam esai ketiga di buku ini,
Sulhan Yusuf menggunakan istilah unik mengenai
diri, yakni sari diri. Seringkali dalam percakapan kita mengenal istilah
jati diri. Istilah ini menunjuk kepada inti kepribadian manusia yang terbentuk
dalam waktu panjang. Sebagaimana pohon jati, inti kepribadian inilah yang
sejati, kuat, dan asli, karena membawa karakter dasar manusia. Seringkali ada
pertanyaan “siapakah engkau?”, atau ungkapan permenungan “siapakah aku?”, yang
keduanya sama-sama mencari tahu “jati” diri otentik seseorang.
Esai dengan judul Memberilah Dengan Sari Diri, lebih
metafor lagi dari istilah jati diri. “Sari diri” jika membaca esai ini
disimpulkan sebagai kemampuan manusia memberikan pemberian terbaik kepada calon
penerima. Dalam praktik beri-memberi, Sulhan menganjurkan berilah pemberian kepada
orang lain sebagaimana itu adalah dirimu sendiri. Posisikanlah orang lain
adalah dirimu yang layak mendapatkan hal terbaik. Sesungguhnya pemberian yang
layak, sama halnya bagaimana madu lebah menghasilkan rasa manis bagi lidah
pengecapnya.
Anjuran moral demikian banyak
ditemukan di hampir semua esai buku ini. Yang tidak kalah menarik adalah esai
berjudul Generasi Sofa dan Kentang.
Esai ini tanpa tedeng aling-aling mengkritik perilaku individual generasi
milenial. Mayoritas generasi sekarang adalah generasi digital native yang dibesarkan di tengah teknologi digital berupa
smartphone. Melalui smartphone, generasi milenial dapat ”berkeliling” dunia
walau tanpa kemana-mana. Sangat gamblang perilaku demikian dinyatakan Sulhan
sebagai generasi yang tinggal duduk di atas sofa sambil mengemil keripik
kentang dan telah merasa melakukan banyak hal melalui smartphonenya.
Generasi sofa dan kentang jika
bukan satire, malah dapat disebut ironi. Bagaimana mungkin dari segi usia
produktif, generasi milenial lebih banyak berdiam diri menekuri gawainya
berjam-jam tanpa henti. Ironi ini justru semakin terasa gaungnya jika generasi
sofa dan kentang diidentikkan dengan generasi yang emoh keluar dari zona
nyamannya. Saking nyamannya, generasi milenial justru menjadi generasi tanpa
tanggung jawab sosial.
Fenomena hijrah dialami hampir di
semua lapisan sosial belakangan ini, juga tidak luput dari nukilan buku ini.
Menariknya, konsep hijrah tidak semata-mata diartikan sebagai peristiwa perubahan
keimanan seseorang menjadi lebih religius belaka. Dalam salah satu esainya,
Sulhan Yusuf memberikan konsep lain dari hijrah berupa tonggak perubahan yang
terkait dengan perubahan tatanan sosial secara fundamental. Tujuan hijrah
sebagaimana Rasulullah melakukannya adalah pembangunan masyarakat egaliter dan
setara. Artinya, puncak hijrah seseorang seperti bagaimana nabi melakukannya
adalah revolusi sosial.
Nuansa kritis yang ditemukan dalam
esai bertemakan hijrah di atas dapat pula dijumpai pada esai lainnya. Dalam Sepak
Bola, Religiusitas, dan Spiritualitas, penulis mengangkat fenomena cara
masyarakat beragama dari tilikan religiusitas dan spiritualitas. Menurut
penulis, dua hal ini berbeda untuk mengatakan tidak saling memunggungi.
Religiusitas adalah doktrin agama yang diwarisi dari para nabi atau padri
agama, sementara spiritualitas adalah penghayatan doktrin agama yang dialami
pelaku agama itu sendiri. Religiusitas umumnya menampakkan dirinya dari
ciri-ciri fisik agama, sedangkan spiritualitas seringkali diukur dari akhlak
penganutnya.
Syahdan, Pesona Sari Diri memang
bukan bermaksud berkhotbah. Ia malah ditulis seperti orang yang sedang
mengobrol. Ringan, jenaka, satire dan kadang-kadang ironi. Karena gaya
bahasanya demikian, tidak ada kesan otoritatif dari teks buku ini untuk
memaksakan suatu pemahaman kepada pembacanya. Malah buku ini, diam-diam
mengajak pembacanya untuk melakukan satu hal yang luput dilakukan selama ini:
“Siapakah Aku ini?”
*Telah terbit di Harian Fajar, Minggu 21 Juli 2019