![]() |
Pesona Sari Diri |
INI pengakuan belaka ketimbang sebuah prolog.
Altruisme. Semuanya dapat diasalkan
dari kata ini. Terma yang sulit berkompromi, tapi malah kerap menggembosi alam
bawah sadar saya. Setiap kali bersua dengan penulis buku ini, kata ini kerap
melesat mewarnai perbincangan kami.
Begitulah, kata ini adalah cara
pandang, sikap moral, dan sekaligus panggilan kemanusiaan bagi penulis buku
ini. Terma yang sudah menjadi airmata darah bagi Kak Sul, begitu ia akrab kami
sapa.
Tidak ada salahnya jika di sini saya ceritakan sedikit latar belakang kemunculan sebagian besar esai di buku ini.
Sekali tempo, kelas literasi sudah
berjalan setahun kurang lebih. Kelas ini awalnya digagas di mukim beliau. Di
perpustakaan pribadi beliau tepatnya. Seingat saya kelas perdananya dimulai
bertepatan 17 Agustus 2015 silam. Di hari kemerdekaan itu, kelas dibuka dengan
cara yang amat sederhana. Tidak lebih dari 10 orang.
Selang setahun, di angkatan kedua,
timbul gagasan membuat media cetak versi kelas KLPI. Tujuannya sederhana
belaka: saluran tulisan teman-teman di kelas menulis dan bisa menjadi bacaan
waktu senggang bagi mahasiswa yang menjadi sasarannya.
Tapi, bagaimana model, jenis, dan
gayanya belum begitu terang. Ide terlanjur dilempar, gagasan terlanjur dimasak.
Akhirnya, di titimangsa 24 Januari 2016 kali pertama, Kala, nama yang kami
sepakati, terbit. Terbitan perdana itu menayangkan dua esai sekaligus: Bersua Seno Gumira Ajidarma karangan
Sulhan Yusuf, dan Menulis itu Dua Hal,
tulisan saya sendiri.
Perlu digarisbawahi. Kala tidak
sepenampakan media cetak umumnya. Ia bukan zine media alternatif komunitas yang
kerap dibubuhi gambar, atau buletin dengan sejumlah halaman tertentu. Kala juga
bukan koran kampus versi pers mahasiswa. Kala hanya selebaran. Kertas HVS A4
yang dicetak landscape dengan print
seadaanya. Hasil keluaran itulah yang digandakan melalui fotocopi.
Selebaran yang tidak mentereng itu
cukup kami bagi-bagikan kepada teman-teman sekelas di KLPI. Kami biarkan ia
digandakan sebanyak-banyak oleh siapa saja yang kebetulan menyukainya. Menyebar
bak akar serabut rhizoma membentuk cabang-cabang baru, di mana pun dan kapan
pun.
Lalu, apa hubungannya dengan
sebagian besar tulisan-tulisan di buku ini? Di sinilah pangkal akarnya.
Terutama setelah terbitan Kala ke-9. Di halaman terakhir kami bersepakat
menyediakan kolom khusus bernama Unjuk Rasa. Kolom ini kami khususkan untuk Kak
Sul. Di kolom mini itu kami berikan akses sebebas-bebasnya bagi Kak Sul untuk
menulis apa saja. Seunjuk-unjuknya.
Terutama apa yang ia rasakan.
Di kolom itu walaupun bebas
memiliki tingkat kesulitan tertentu. Ini tantangan bagi Kak Sul berkaitan
bagaimana menuangkan gagasan dengan hemat kata-kata. Medium yang terbatas hanya
kolom kecil tidak lebih dari setengah halaman adalah sebabnya.
600 kata. Ini aturan bakunya. Lewat
dari itu tidak bakal cukup menempati kolom Unjuk Rasa. Saya sering kali
keteteran mengubah ukuran font untuk menyesuaikan panjang tulisan yang tidak
dimuat kolom. Memang beberapa kali ada tulisan Kak Sul yang melebihi
ketermuatan kolom. Ini menandai betapa pun dibatasi jumlah katanya, kebebasan Kak
Sul dalam menuangkan gagasannya sulit dibendung.
Sampai akhirnya Kala versi cetak
beralih medium menjadi online. Walaupun nampak masih sederhana, Kala versi
mutakhir ini rutin menerbitkan karya tulis teman-teman dari KLPI. Begitu juga Kak
Sul, setelah kolom Unjuk Rasa dibuatkan khusus versi onlinenya, tulisan beliau
rutin menyapa pembaca di tiap akhir pekan—hal yang sama ia lakukan di beberapa
media cetak dan online nyaris di waktu yang bersamaan yang juga diterbitkan
dalam buku ini.
Sampai sekarang, Unjuk Rasa masih
tayang. Tanpa pernah putus.
Begitulah kisahnya. Jika pembaca
menemukan penanda di akhir tulisan yang beralamat Kalaliterasi, sesungguhnya
semua itu awalnya berasal dari selebaran nan sederhana. Secarik kertas
bertendensi ideologis yang kemudian beralih wahana.
PESONA sari diri saya kira adalah
pembuktian. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada penulis sendiri. Ini
mungkin cenderung personal. Tapi, apa yang lepas dari personalitas? Tanpa
personalitas yang kukuh— suatu titik subjektifitas—semuanya bakal mudah
menguap. Saya kira beragam tulisan buku ini adalah energi luar biasa yang
dilambari dari kekuatan diri yang dahsyat.
Itulah sebabnya, esai-esai dari
buku ini tiada arti tanpa kemendasaran “diri”. “Diri” di sini tentu tidak
semata-mata entitas biologik belaka. Bukan pula sekadar hubungan fisiologis
yang menghasilkan gerak mekanik laiknya mesin. Namun, jauh dari tilikan
materialistik, “diri” adalah suatu asal tempat berpijak “kesadaran”. Titik
alamat yang menimbulkan keinsafan insani (cukup diri).
Maka, ketika keinsafan ini menjadi
aktual, beragam fenomena tidak lagi menjadi data-data indrawi yang berhamburan
di selaksa ruang waktu, melainkan berubah, bertransformasi, bergerak,
berpindah, dan berkembang dalam kemendasaran diri penulis. Melihat, mengamati,
merefleksi, dan menuangkannya ke dalam tulisan adalah buah dari semua itu.
Sudah jelas, beragam fenomena yang
ditangkap dari tulisan-tulisan di buku ini adalah suatu kerja kecendekiawanan
yang sesungguhnya. Tanpa bermaksud memberikan definisi ketat, dalam arti
general, penulis adalah seorang cendekiawan yang tidak serta merta pelipir di
tepian kejadian-kejadian belaka. Banyak contoh dari tulisan di buku ini yang
membuktikan bahwa penulis begitu peduli terhadap jatuh bangunnya apa yang
dikenal sebagai peradaban.
Dengan kata lain, kepedulian itulah
yang mendorong penulis menulis peradaban. Atau paling tidak sedang menyusun
bab-bab panjang demi lahirnya peradaban:
Peradaban
diri. Kiwari, problem yang tak kalah mendasar adalah masalah kemendasaran
subjek. Banyak masalah di negeri ini yang disinyalemen karena kegagalam
masyarakat mengenal dirinya. Pemahaman atas “diri” kian runyam karena kuatnya
komunalisme yang meringsek aspek-aspek kehidupan. Bukannya skeptis kepada
kekuatan kerja sama, hanya saja tanpa kemendasaran diri sebagai pijakan
keinsafan, kerja sama yang kerap menguat menjadi kolektifisme hanyalah kumpulan
massa yang beringas tanpa arah yang jelas.
Di bab awal bertajuk Sari Diri,
esai-esai yang terhimpun dibawahnya memiliki perhatian besar terhadap rusaknya
konsep diri. 31 esai ini nyaris tanpa pernah bergeser menyoroti problem-problem
kemanusiaan dengan memberikan percak-percik nilai positif dari mahluk yang
bernama manusia.
Bahagia, rendah hati, cinta,
kesederhanaan, kedermawanan, keihlasan adalah beberapa nilai-nilai utama yang
diangkat penulis menjadi rekomendasi bagi zaman yang serba berubah ini.
Syahdan, sehimpun esai di peradaban
diri Sari Diri, nyatanya adalah refleksi kuat penulis terhadap fenomena
menguatnya individualitas tanpa kepedulian, dan beringasnya komunalisme tanpa
penghargaan atas hak individu. Semua esai ini secara bolak-balik melihat dari
kedua sisi ini.
Itulah sebabnya, pembaca akan
banyak menemukan bagaimana penulis mendudukkan nilai keuatamaan manusia di atas
sebagai jalan keluar problematika kemanusiaan saat ini.
Peradaban
religi. Ketika agama menjadi politik dan politik menjadi agama, esai-esai
di bawah atap Teras Religiusitas malah berbalik arah untuk mengembalikan
semangat asal agama yang kian hari nyaris absen dalam kepublikan bangsa ini.
Kisah para nabi, sufi, ramadan,
natal, masjid, adalah beberapa persinggahan bagi pembaca untuk kembali meneguk
mata air spiritualitas agama. Beberapa esai ini sama halnya dengan esai-esai
yang berada pada bab sebelumnya, berpijak kepada soal-soal yang melanda manusia
beserta kehidupan bersamanya.
Perbedaan mencolok dari bab ini
adalah, pembaca akan menemukan perspektif khas penulis ketika berbicara agama. Melalui
gaya bercerita tanpa bermaksud bekhotbah, esai-esai di bawah tajuk ini ditulis
dengan jarak yang bisa dibilang dekat dari fenomena yang ditulisnya.
Satu hal yang tanpa disadari adalah,
ada beberapa esai menjadi tawaran dari penulis untuk menjalankan agama tidak sekadar
sebagai simbol belaka, melainkan ikut juga menghayati makna esoteris dari agama
itu sendiri.
Dalam esai Haji dan Pembebasan,
misalnya, di situ penulis secara eksplisit mendasarkan isi ceritanya kepada dua
pengertian agama: agama pribadi dan agama sosial. Di esai ini penulis
memproblematisir gelar haji yang sudah mentradisi bagi siapa saja yang
berpulang haji. Apakah makna haji bagi agama personal seseorang? Apakah haji
menjadi kewajiban disematkan sebagai gelar seseorang di ranah agama sosial?
Apakah ada hubungannya gelar haji yang menjadi simbol agama sosial dengan
kesalehan individu di ranah agama personal?
Jika motivasi pertanyaan ini
diperluas, secara tidak langsung esai-esai di tajuk ini layak dijadikan bahan
refleksi mengingat gejala keberagamaan hari ini yang ketat di wilayah esensial
tapi sangat tidak fungisional bagi kontribusi kemanusiaannya.
Peradaban
masyarakat. Dirangkum dalam sehimpun bab Beranda Publik, penulis banyak
mengulas dunia politik, fenomena anak muda, sepak bola, masalah perkotaan, dan
tentu saja tema literasi.
Di bab ini penulis menempatkan
perhatiannya lebih dekat ke soal-soal keseharian sebagai seorang warga negara.
Sering kali bahkan dengan nada humor—hal yang sering ditemukan di obrolan
warung kopi—penulis mengulas soal pemilihann kepala daerah, misalnya, dengan
bebas tanpa mencederai pihak lain. Jika dikaitkan dengan wacana demokrasi, dari
tulisan yang tersebar dari bab ini (dan juga bab lainnya) nampak memang penulis
sedang menggunakan hak politiknya. Namun berbeda dari orang kebanyakan, hak
politik ini—dalam hal menyampaikan pendapatnya—tidak dilakukan dengan cara
serampangan, melainkan dinyatakan melalui opini dengan medium tulisan.
Kebebasan berpendapat dari penulis,
seperti yang tampak dari esai-esainya ini, cukup longgar membicang apa saja,
terutama kepada hal-hal yang menjadi bahan perbincangan umum. Ini mempermudah
dari caranya menuangkan gagasan dan perspektifnya. Apalagi penulis memiliki
interes politik yang sama sekali berbeda dari cara pandang politik kiwari dan
bukan menjadi partisan dari kelompok politik tertentu. Satu-satunya interes
politik penulis jika itu dapat disebut demikian adalah betapa ngototnya penulis
membangun peradaban yang dilambari nilai universal kemanusiaan.
Dari sisi ini, dapat dipahami
mengapa literasi menjadi satu-satunya induk pengabdian penulis yang belakangan
menjadi lebih intens digelutinya. Bukan karena semata-mata tercengang dengan
data-data belakangan yang menempatkan bangsa ini dalam angka literasi yang
rendah, tapi sekaligus juga sebagai bagian dari kritiknya terhadap keadaan saat
ini.
Tidak berlebihan jika dari sisi ini
kecendekiawanan penulis kerap terasa. Kepeduliannya yang besar kepada plus
minusnya keadaan masyarakat saat ini hanyalah satu tanda kecendekiawanan selain
dari kritisismenya yang dituangkan dari esai-esainya ini.
Pesona
Peradaban. Ini adalah bab akhir dari Pesona Sari Diri. Di bab ini pusatnya
adalah idealitas kemanusiaan. Banyak kisahnya dipulangkan kepada sosok-sosok
agung dan puncak. Ibarat cermin, di bab inilah tempat refleksi pembaca mencari
perbandingan parasnya. Apakah pembaca selaras dengan figur-figur ideal dalam
bab ini atau malah sama sekali tidak memiliki kecocokan terhadapnya.
Manusia, dalam pendekatan psikologi naratif dinyatakan sebagai kisah. Setiap manusia memiliki kisahnya masing-masing. Laiknya kisah, manusia mengalami tiga babakan episode: pembuka, pertengahan, dan penutup. Dalam babakan episode ini, setiap perilaku manusia bakal menentukan seperti apa ending kisahnya. Baik buruknya, tergantung bagaimana ia mendudukkan narasinya.
Narasi yang baik ketika ia berpijak
kepada idealitas tertentu: entah sosok sejarah, budaya, agama, atau politik.
Tanpa itu, kisah jiwa manusia bakal mengembara tanpa visi dan misi.
Di bab ini, pembaca ibarat
menemukan jangkar kapalnya. Ia menjadi pengikat jiwa agar memiliki jalan kisah
ideal. Dari Muhammad sampai Ali bin Ali Thalib, Muhammad Iqbal sampai Ali
Syariati, Khomeini sampai Tjokroaminoto, bahkan dari Ahok sampai Rocky Gerung
adalah panorama idealisasi paras kemanusiaan.
Seperti bab pertama, di bab
terakhir ini menghimpun 31 esai. Namun tidak saja tokoh besar yang dikenal umum
sebagai figur-figur ideal, di bagian ini akan kita temukan bagaimana penulis
menangkap seperangkat idealitas dari orang-orang dekatnya yang telah banyak
memberinya pengaruh positif bagi diri penulis. Ini wajar saja, sebab penulis
bukan lagi melihat aspek-aspek kemanusiaan di dalam diri tokoh-tokoh besar
saja, tapi menyadari pula setiap manusia terkandung hal yang sama, sekali pun
itu adalah orang terdekatnya.
SUATU waktu saya terlibat percakapan
dengan penulis, di tempat yang sering disebut tempat persemadiannya—dikenal
sebagai TB Papirus. Singkat cerita saya coba bertanya mengapa Kak Sul tidak
mengambil jalan seperti orang-orang yang sudah cukup modal sosial: mencalonkan
diri menjadi calon legislatif. Saya tahu, di Bantaeng, kampung halamannya,
beliau sudah dianggap sebagai tokoh yang aktif memberdayakan masyarakat. Jika
dihitung-hitung beliau punya kans besar jika berminat menjadi anggota parlemen
di daerah. Pertanyaan saya ini iseng saja mengingat waktu itu sedang musim
pencalonan. Hanya untuk menambah bahan percakapan saja.
“Sekarang saya ibaratnya sedang
menyiapkan jalan pulang, Bung Bahrul.” Begitu jawaban Kak Sul saat itu. Seperti
biasa jawaban ini langsung disambung dengan candaan khasnya.
Dari situ saya semakin paham apa
yang dimaksudkannya dengan altruisme itu. Semakin kesini, sikap moral Kak Sul
semakin mempertegas kedudukannya sebagai seorang wise. Ini-lah yang membedakan Kak Sul dari sikap kebanyakan orang.
Ketika semua orang sibuk mencari panggung membesarkan nama, citra, dan harta,
ia malah memilih jalan berlainan: suatu jalan yang hanya bisa ditempuh dengan
semangat altruisme itu tadi.
Lalu apa yang dimaksudkannya dengan
“jalan pulang” itu tadi? Saya tidak pernah mengejarnya melalui pertanyaan
tambahan. Seketika saja saya bisa menangkap kata bersayap yang sering ia pakai
dipercakapan-percakapannya itu. Cukuplah saja saya kutipkan penggalan syair Lagu Seruling sufi cum penyair
Jalaluddin Rumi di bawah ini:
Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan. Tuturnya, “Sejak daku tercerai dari indukku rumpun bambu, Ratapku membuat lelaki dan wanita mengadu. Kuingin sebuah dada koyak disebabkan perpisahan. Dengan itu dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta. Setiap orang yang berada jauh dari tempat asalnya. Akan rindu untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya.
ALTRUISME. Semuanya dapat diasalkan
dari kata ini. “Jalan pulang” melalui kata-kata.